SEBAGAIMANA banyak sungai di Indonesia, Sungai Musi di Palembang sedang dalam keadaan tak baik. Salah satu penyebabnya adalah perubahan lahan basahnya untuk dijadikan lahan berbagai kepentingan ekonomis. Akibatnya, fungsi ekologis sungai berubah. Pada gilirannya, tak hanya lingkungan alam yang terdampak tapi juga manusia di sekitarnya.
“Bukan tidak mungkin dalam lima tahun ke depan, masyarakat di lahan basah Sungai Musi mengalami krisis pangan dan tidak punya pendapatan lagi dari hasil alam. Infrastruktur seperti pembangunan jalan dan rumah mungkin sulit untuk dicegah, tapi sebaiknya menggunakan tiang seperti yang dilakukan masyarakat di masa lalu,” ujar Dr. Yulian Junaidi dari Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, dikutip mogabay.co.id, 8 Mei 2024.
Baca juga: Sungai yang Membangun Peradaban di Sumatra
Sungai Musi merupakan urat nadi kehidupan di Palembang dan lebih luas, Sumatera Selatan, sejak lama. Ukurannya yang lebar membuat kapal dari laut (sekitar Teluk Bangka) mudah masuk ke Palembang yang jauh dari pesisir. Banyak kapal dagang, entah dari Jawa, Madura, Bali, Sulawesi dan negeri-negeri lain di luar Nusantara mengunjungi pelabuhan Palembang dengan membawa beras, garam, kain dan beragam komoditas lain. Itu berlangsung sejak era Sriwijaya hingga Kesultanan Palembang.
“Kerajaan Palembang adalah salah satu kerajaan yang sangat penting, dan sungainya termasuk yang terbesar di pulau ini,” catat William Marsden dalam History of Sumatra.
Untuk menunjang perniagaan di wilayahnya, kesultanan mengeluarkan mata uang logam (lempengan timah) kecil. Uang yang mirip uang Tiongkok itu disebut Pitis. Namun untuk kas, kesultanan menyimpan uang dolar Spanyol.
Baca juga: Jejak Peradaban di Sepanjang Sungai Batanghari
Sekitar 1810-an, saat Marsden berkunjung, Palembang cukup berbau Jawa. Menurutnya, para penguasa Kerajaan Palembang saat itu dan mayoritas penduduk kota berasal dari Pulau Jawa. Beberapa orang menyebut itu tak lain akibat dari penaklukan awal oleh penguasa Majapahit beberapa abad sebelumnya.
Selain dengan Jawa, Palembang terkait pula dengan Banten. Senjata tradisional Kujang yang berasal dari budaya Sunda dan Banten juga dikenal di daerah Palembang dan Lampung. Marsden mencatat, pada tahun 1596 seorang raja Banten jatuh di hadapan Palembang, sebuah kota pemberontak di Sumatra yang sedang dikepungnya.
Keluarga Badaruddin adalah penguasa kesultanan di zaman William Marsden. Marsden menyebutnya sebagai Ratu Akhmet Bahareddin. Ia ditempatkan oleh Belanda atas takhta Kesultanan Palembang sekitar 1780. Anak sulungnya menjadi pejabat dengan gelar Pangeran Ratu.
“Kekuasaan raja tidak terbatas oleh batasan hukum apa pun,” catat Marsden.
Baca juga: Timah dan Tuan Besar
Marsden juga menyebut bahwa bangsawan-bangsawan bawahannya sering tidak taat dalam melaksanakan perintahnya, termasuk dalam hal setoran pajak. Meski begitu, sultan tetap kaya biarpun tanpa pemasukan berupa pajak atau setoran dari rakyatnya yang bisa dipungut para bawahannya di daerah-daerah.
Kekayaan sultan datang dari keuntungan berdagang lada dan timah (terutama yang terakhir) yang begitu besar. Selain itu, berasal dari bea cukai atas barang dagangan yang diimpor, yang dipunguti para syabandar.
Palembang dan Jambi pada abad ke-17 adalah daerah pengasil lada. Bersama cengkeh dan pala, lada menjadi komoditas utama yang diburu para pedagang Eropa.
Keuntungan luar biasa dari perdagangan lada membuat kongsi dagang Belanda Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) begitu ingin memonopoli lada di Palembang. Cara yang ditempuhnya adalah mengeluarkan larangan perdagangan lada dengan pihak luar.
Baca juga: Perebutan Tambang Timah yang Menghancurkan
Keadaan itu dimanfaatkan Sultan Abdul Rahman. Menurut Merle Calvin Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200–2008, Sultan Abdul Rahman (1662-1706) dan VOC berusaha saling menjaga hubungan baik. Lada yang didapat VOC dari wilayah Kesultanan Palembang itu tidak ada separuhnya. Sisanya disembunyikan dari VOC dan dijual secara ilegal.
“Abdul Rahman sendiri berpartisipasi dalam perdagangan liar ini, yang menjadi sumber utama kekayaannya,” kata Ricklefs.
Setelah masa pemerintahan Abdul Rahman di Palembang, keturunan Ratu Akhmet Bahareddin yakni Sultan Mahmud Badaruddin II berkuasa. Keadaan pun berubah. Tanpa VOC dan belum tegaknya pemerintah kolonial, raja masih bisa berdagang dengan pihak asing manapun tanpa gangguan.
Selain lada, sumber kekayaan Kesultanan Palembang adalah timah. Timah yang diperdagangkan di Kesultanan Palembang terutama berasal dari Kepulauan Bangka, yang juga wilayah kekuasaan Kesultanan Palembang. Pertambangan timah di Bangka sewaktu zaman VOC banyak diusahakan oleh orang-orang Tionghoa, yang telah masuk ke Bangka sejak lama. Hingga kini di masa Republik Indonesia, Pulau Bangka dan Belitung tetap sebagai penghasil timah.*