Masuk Daftar
My Getplus

Awal Mula Meterai di Indonesia

Bea meterai pertama kali diberlakukan Belanda sebagai upaya untuk mengisi kas negara yang menipis imbas invasi Spanyol. VOC kemudian memberlakukan bea meterai di Hindia Timur.

Oleh: Amanda Rachmadita | 12 Sep 2024
Penampakan meterai dagang yang pernah berlaku di Indonesia. (Belasting & Douane Museum/www.bdmuseum.nl).

Meterai elektronik atau e-meterai sempat ramai disorot masyarakat seiring dibukanya pendaftaran seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) beberapa waktu lalu. Tak sedikit yang mengeluh proses pendaftaran CPNS terkendala karena sulitnya akses mendapatkan e-meterai. Kelangkaan kuota e-meterai terjadi karena para pendaftar CPNS diwajibkan untuk membubuhkan meterai elektronik pada dokumen persyaratan.

Kewajiban untuk membubuhkan e-meterai pada surat lamaran dan surat pernyataan diri ini pula yang menyebabkan para pendaftar CPNS ramai-ramai mengakses portal pembelian meterai elektronik milik Perum Peruri. Banyaknya orang yang mengakses portal pembelian materai elektronik ini sempat membuat portal tersebut tak dapat diakses. Kendala e-meterai mendorong Panitia Seleksi Nasional (Panselnas) untuk memperpanjang masa pendaftaran seleksi CPNS. Mulanya, pendaftaran CPNS berlangsung hingga 6 September 2024, kemudian diperpanjang hingga 10 September 2024.

Penggunaan meterai dalam suatu dokumen telah menjadi hal yang umum dilakukan oleh masyarakat di masa kini. Selain kerap dipandang sebagai alat validasi keabsahan suatu dokumen penting, meterai juga berfungsi sebagai alat pembayaran pajak atas dokumen yang dapat digunakan sebagai alat bukti atau keterangan.

Advertising
Advertising

Baca juga: 

Bermacam Pajak Era Kolonial

Menurut sejarawan Inggris, Stephen Dowell dalam A History and Explanation of the Stamp Duties, Belanda merupakan negara pertama yang memberlakukan bea meterai tahun 1624. Kala itu kondisi keuangan Belanda tengah carut marut imbas invasi Spanyol. Perlawanan yang dilancarkan Belanda terhadap serangan tersebut memakan biaya sangat besar. Cadangan kas yang semakin menipis membuat para pejabat pemerintah mengerahkan seluruh kemampuan dan idenya untuk menemukan serta menerapkan metode-metode baru dalam pemungutan pajak. Di sisi lain, pemerintah juga telah menaikkan setiap pajak yang dibebankan kepada masyarakat hingga mencapai titik tertinggi.

Namun, pajak-pajak yang telah dibebankan itu masih belum cukup untuk memenuhi keperluan negara, dan kini mereka kehabisan akal. “Dalam keadaan seperti ini, para pejabat pemerintah itu menawarkan, melalui dekrit publik, hadiah untuk penemuan pajak baru yang bermanfaat bagi pendapatan negara dan tidak membebani warganya,” tulis Dowell.

Sayembara itu menarik perhatian masyarakat. Sejumlah orang berlomba-lomba merancang sebuah cara untuk membantu pemerintah meningkatkan kas negara. Salah satu di antara mereka muncul dengan ide mengenai bentuk pajak baru dengan menggunakan kertas bermeterai. Pada saat itu, Belanda telah menggunakan dua stempel yang berbeda, yakni stempel besar dan stempel kecil –stempel besar untuk dokumen pemerintah, sementara stempel kecil untuk dokumen lain.

Idenya adalah agar pemerintah menerbitkan lembaran-lembaran kertas yang dibubuhi cap stempel –stempel besar atau stempel kecil– dengan harga yang telah ditentukan untuk setiap jenis kertas, dan penggunaannya, sesuai dengan kepentingannya, dari salah satu jenis kertas tersebut untuk semua surat-surat permohonan, dokumen-dokumen legal, kontrak-kontrak, dan sebagainya, harus diwajibkan bagi warga negara.

Baca juga: 

Jejak Direktorat Pajak

“Ide ini kemudian diadopsi oleh pemerintah Belanda, dan metode baru perpajakan dengan bea meterai yang telah terbukti berhasil, tidak lama kemudian diperkenalkan di Prancis, lalu Inggris. Begitulah asal mula bea meterai. Sayangnya, nama penemunya tidak disebutkan,” tulis Dowell.

Tak hanya diadopsi oleh negara-negara Eropa, aturan bea meterai juga diterapkan VOC. Surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad, 12 September 1921, melaporkan bahwa peraturan tentang meterai pertama kali diperkenalkan di Hindia Timur pada 29 September 1767. Peraturan ini hampir merupakan salinan dari peraturan op het middle van 't Klein-Zegel mengenai stempel meterai kecil yang berlaku di Belanda pada saat itu. Pajak yang dipungut dari peraturan ini disesuaikan dengan isi dan sifat dokumen.

Kendati bea meterai telah diterapkan sejak abad ke-18 di Hindia Timur, penerapan peraturan ini masih belum maksimal. Oleh karena itu, pada 1817, pemerintah kolonial Belanda mengumumkan sebuah peraturan baru “pungutan bea meterai kecil di Hindia Belanda”, yang mulai berlaku pada 1 Januari 1818 di Jawa dan Madura. Beberapa bulan berselang, aturan ini diterapkan secara luas ke berbagai daerah.

Menurut peraturan ini, meterai senilai 2 gulden akan dikenakan pada delapan belas surat permohonan yang diajukan oleh masyarakat, termasuk permohonan pengampunan hukuman, pengesahan, dispensasi hukum utama, untuk otorisasi membangun anjungan atau rumah singgah di tepi sungai, membangun jembatan, tembok dan pagar, saluran pembuangan dan pipa air, bazaar atau pasar, dan lain-lain.

Kemudian biaya 0,50 gulden akan dikenakan pada surat permohonan yang dikirimkan kepada Pemerintah Agung dan beberapa otoritas terkemuka. Sementara biaya sebesar 0,25 gulden akan dikenakan untuk permohonan yang diajukan kepada otoritas yang lebih rendah.

Bea meterai sebesar 0,25 hingga 1 gulden juga akan dikenakan pada dokumen-dokumen peradilan. Bea meterai juga dikenakan pada akta pengangkatan pegawai negeri. Besaran nilainya dihitung berdasarkan gaji tahunan yang melekat pada jabatan, “sehingga seseorang yang berpenghasilan 30.000 gulden per tahun harus membayar bea meterai sebesar 300 gulden untuk akta pengangkatannya. Sementara seseorang yang berpenghasilan 15.000 gulden bea meterai yang dibebankan adalah 100 gulden. Untuk mereka yang penghasilannya mencapai 5.000 per tahun bea meterainya adalah 30 gulden. Sedangkan pegawai yang pendapatannya hingga 300 gulden per tahun akan dikenai bea meterai 2 gulden, dan di bawah 1 gulden,” tulis Bataviaasch Nieuwsblad.

Bea meterai juga dikenakan untuk dokumen pengangkatan seseorang sebagai pengacara maupun notaris. Mereka akan dibebankan biaya sebesar 50 gulden untuk bea meterai. Selain itu ada pula bea meterai khusus untuk surat utang, obligasi hipotek, akta penjualan dan kepemilikan, akta sewa, syarat-syarat pernikahan, surat wasiat, kontrak penjualan, asuransi, iklan, wesel, kuitansi, hingga faktur.

Seiring berjalannya waktu aturan-aturan mengenai bea meterai terus diperbarui. Seperti yang terjadi pada Ordonansi Meterai 1886 yang hanya mempertahankan sedikit sekali bea proporsional yang dapat dihitung dengan mudah, yang hanya dikenakan pada dokumen yang disiapkan oleh atau dengan kerja sama pegawai pemerintah dengan jabatan dan kedudukan tertentu. Sementara itu, bea meterai proprosional atas akta pengangkatan yang sebelumnya dibebankan kepada para pegawai negeri dihapus pada 1906 sebagai kompensasi atas kewajiban pegawai negeri untuk membayar bea paten, yang dibebaskan hingga akhir tahun 1905.

Peraturan mengenai bea meterai masih terus mengalami evaluasi. Hal ini yang mendasari diterapkannya peraturan baru mengenai bea meterai tahun 1921. Mengacu pada peraturan tersebut, semua surat permohonan dan dokumen yang jenis maupun namanya tidak tercantum dalam peraturan terbaru akan dikenakan bea meterai sebesar 1,50 gulden. “Ini adalah sistem yang sangat sederhana. Setiap orang yang membuat dan menandatangani dokumen yang akan digunakan sebagai bukti atas suatu tindakan, sekarang atau nanti, mengetahui bahwa ia harus membubuhkan meterai senilai 1,50 gulden pada dokumen tersebut; hal yang sama juga berlaku untuk orang yang mengajukan surat permohonan,” tulis Bataviaasch Nieuwsblad.

Baca juga: 

Perilaku Wajib Pajak Tempo Dulu

Tak hanya mengatur tentang biaya bea meterai, peraturan ini juga menjelaskan secara rinci mengenai tata cara menggunakan meterai pada dokumen. Dalam Bataviaasch Nieuwsblad, 13 September 1921, dijelaskan untuk penggunaan meterai tempel –yang menurut Pasal 8 hanya dapat digunakan untuk dokumen-dokumen tertentu, seperti wesel, kuitansi, akseptasi, surat-surat berharga, dan sebagainya– cara penggunannya dengan membubuhkan meterai tempel pada dokumen dengan tanda tangan harus ditulis dengan tinta berwarna jelas dan di atas meterai sehingga tanda tangan muncul sebagian di atas dokumen dan sebagian di atas meterai. Jika aturan ini dilanggar, dokumen itu tidak hanya dianggap tidak sah tetapi pemilik dokumen juga dapat dikenai denda sebesar 100 gulden.

Tujuan dari ketentuan ini untuk mencegah pencopotan dan penggunaan kembali meterai tempel yang telah digunakan. Oleh karena itu, bila ada warga yang sengaja membubuhkan meterai tempel yang telah digunakan pada suatu dokumen, maka ia dapat dihukum dengan hukuman maksimal empat tahun penjara atau denda sebesar 300 gulden. Sementara bila seseorang tak membubuhkan meterai tempel pada setiap lembar dokumen yang dianggap penting, maka ia bisa didenda sebesar 100 gulden.

Yang menarik, kendati peraturan mengenai meterai ini telah muncul pada 1920-an, aturan mengenai tata cara membubuhkan meterai tempel pada dokumen masih berlaku hingga saat ini.*

TAG

meterai voc

ARTIKEL TERKAIT

Daeng Mangalle dan Konspirasi Melawan Raja Thailand Kisah Pejabat VOC Dituduh Korupsi tapi Malah Dapat Promosi Ambisi van Goens Membangun Batavia Baru di Ceylon Kisah Dua Anak Gubernur Jenderal VOC yang Bermasalah Nepotisme Sudah Terjadi Sejak Zaman VOC Kembali ke Sunda Kelapa Bermula dari Nazar Anak Yatim Piatu dan Terlantar pada Masa VOC Asal Nama Wakatobi Tanpa Pajak, Palembang Kaya