Perilaku Wajib Pajak Tempo Dulu
Rakyat di kerajaan agraris lebih taat pajak ketimbang di kerajaan maritim. Namun, tetap ada upaya menghindari pajak.
Akhir Maret biasanya menjadi saat paling riweuh bagi wajib pajak orang pribadi. Inilah tenggat waktu terakhir pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Jika telat melapor, wajib pajak akan terkena denda atau hukuman bui. Tapi ancaman itu belum berhasil meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Sudah tiga tahun terakhir, sejak 2018, target pelaporan SPT gagal terpenuhi.
Perilaku wajib pajak beraneka ragam. Ada yang patuh dan taat membayar pajak dengan melaporkan SPT. Banyak pula yang enggan atau tak tahu mengisi SPT. Akibatnya target capaian pajak dari pemerintah pun sulit terwujud. Perilaku wajib pajak ini juga terjadi pada tempo dulu.
Pajak telah dipungut dari rakyat sejak masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha berdiri pada abad 5–13 M. Pajak masa itu memiliki pengertian pungutan teratur terhadap hasil bumi yang dihasilkan petani.
Sejarawan Ong Hok Ham dalam “Pajak dalam Perspektif Sejarah” termuat dalam Prisma No. 4, 1985, menyebut pajak lebih sering ditarik di kerajaan bercorak agraris ketimbang maritim. “Bagi rakyat di daerah-daerah agraris, keterikatan mereka kepada penguasa sangat kuat,” sebut Ong.
Rakyat di kerajaan agraris sangat bergantung kepada penguasanya. Sebab, pencaharian mereka berasal dari tanah. Dan tanah adalah milik raja. “Sedangkan rakyat hanya berhak menggarap dan mengelola saja,” catat Djoko Dwiyanto dalam “Pungutan Pajak dan Pembatasan Usaha di Jawa pada Abad IX–XV Masehi”, termuat dalam Humaniora I/1995.
Baca juga: Sumber Pemasukan Kerajaan Kuno
Konsepsi raja refleksi para dewa juga memperkuat kepemilikan tanah itu. “Rakyat percaya bahwa raja perwujudan kebaikan, dan raja mesti berbuat baik,” ungkap Soemarsaid Moertono dalam “Dulu, Kedudukan Wajib Pajak itu Terhormat”, termuat dalam Prisma No. 4, 1985. Sebagai timbal baliknya, raja berhak menuntut kepatuhan dari rakyatnya. Termasuk dalam hal penarikan pajak. Ini berbeda dari tradisi di wilayah maritim.
“Di kerajaan-kerajaan maritim rakyat tidak dikenakan pajak, baik dalam bentuk kerja paksa atau rodi,” sebut Ong. Keadaan ini berlangsung setidaknya sampai abad ke-17. Alasan ketiadaan pajak karena rakyat di wilayah ini tak sepenuhnya mendasarkan kerjanya pada tanah. Pemasukan kerajaan pun tak mengandalkan hasil tanah, melainkan lebih kuat dari hasil perdagangan.
Di kerajaan agraris, rakyatnya cenderung patuh membayar pajak. Dwiyanto mencatat ada empat jenis pajak: tanah, perdagangan, orang asing, dan keluar-masuk wilayah. Soemarsaid menambahkan, di setiap desa kerajaan agraris terdapat pembayar pajak yang disebut cacah. Mereka memiliki objek pajak yang berbentuk lungguh atau tanah garapan.
Besaran pajak bergantung pada keputusan raja. Ada pemungut pajak pada tiap desa. Mereka bertugas mencatat dan mengumpulkan pajak dari rakyat. Rakyat biasanya membayar pajak sesuai dengan ketentuan. Kepatuhan mereka membayar pajak bukan saja karena konsepsi pengabdian kepada raja berarti juga pengabdian pada dewa, melainkan juga karena mereka kesulitan dalam menyembunyikan objek pajaknya.
Baca juga: Pejabat Pajak Menyeleweng
“Dan tanah tidak dapat hilang atau disembunyikan,” tulis Ong. Karena itulah, mau tak mau, suka tak suka, mereka harus membayar pajak.
Kepatuhan rakyat membayar pajak pun berbanding lurus dengan perlakuan raja pada rakyatnya. Raja menempatkan pembayar pajak di tempat terhormat di desanya masing-masing. “Mereka memperoleh hak-hak istimewa tapi sekaligus para warga inti desa harus menunaikan kewajibannya sebagai penanggung beban pembiayaan negara,” terang Soemarsaid.
Tapi ini bukan berarti tak ada perilaku mangkir sama sekali. Dwiyanto mengungkap peristiwa mangkir bayar pajak di kerajaan agraris pernah terjadi dalam kasus seorang yang bernama Dhanadi. Semula orang ini dianggap orang asing sehingga harus bayar pajak. Tapi pengadilan memutuskan dia warga setempat. “Oleh karena itu dia menolak membayar pajak,” tulis Dwiyanto.
Keadaan jauh berbeda tersua di kerajaan maritim. Ong mencatat, saat pajak mulai berlaku di kerajaan maritim pada abad ke-17, banyak wajib pajak melarikan diri atau menyembunyikan hartanya.
“Di daerah-daerah maritim yang menjadi sumber kehidupan rakyat beranekaragam seperti uang, emas, dan barang-barang dagangan lainnya, yang kesemuanya bisa disembunyikan, sehingga mereka bisa menghindar dari kewajiban membayar pajak,” terang Ong.
Soemarsaid juga menguatkan keterangan Ong. Menurutnya, ketika itu ada ungkapan yang berkembang luas di Jawa: “Inggih, mboten kepanggih”. “Mereka menyatakan akan membayar pajak, tapi ternyata mereka lari tatkala ditagih oleh bekel,” ungkap Soemarsaid. Bekel adalah petugas desa yang memungut pajak.
Baca juga: Minang Menolak Bayar Pajak
Peluang menghindari pajak pun relatif lebih terbuka di wilayah maritim. Mereka bisa kabur ke wilayah pedalaman yang belum terjamah kerajaan lainnya. “Sehingga aparat perpajakan tak dapat menjalankan tugasnya seefisien mungkin,” lanjut Soemarsaid.
Pada masa kolonial dan tanam paksa (1830–1870), perilaku wajib pajak di beberapa wilayah Jawa menjadi lebih frontal. Masa ini pemerintah kolonial memungut pajak tinggi dari rakyat. Tapi timbal baliknya sangat minim untuk kehidupan rakyat. “Pemungutan pajak itu telah membawa implikasi sosial politik berupa munculnya pemberontakan-pemberontakan petani hampir sepanjang abad XVIII hingga awal abad XX,” tulis Ong.
Di Sumatera, keadaannya serupa. “Pada umumnya rakyat di daerah-daerah maritim itu menentang secara gigih kewajiban tersebut, sehingga ketika harus memulai usaha-usaha perkebunan di Sumatera terpaksa mendatangkan kuli pekerja dari Cina atau dari Jawa,” tambah Ong.
Memasuki masa negara modern, pajak memiliki fungsi alat pemerataan dan kesejahteraan penduduk. Bersama itu pula kategori wajib pajak pun berubah. Tapi perilakunya masih mirip: ada yang sering mangkir, ada yang patuh.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar