Masuk Daftar
My Getplus

Sungai yang Membangun Peradaban di Sumatra

Muncul dan berkembangnya peradaban di Sumatra dimulai dari aliran sungai. Namun perannya terlupakan dalam penulisan sejarah.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 30 Apr 2021
Pemandangan Sungai Musi dan Kota Palembang dari atas. (ImajiePro/Shutterstock).

Berbagai peradaban muncul di sepanjang aliran sungai. Termasuk Kadatuan Sriwijaya yang awalnya dimulai dari permukiman di Daerah Aliran Sungai Musi, mulai dari muara hingga hulunya.

“Jauh sebelum Sriwijaya lahir sudah ada permukiman di DAS Musi,” kata arkeolog Bambang Budi Utomo atau akrab disapa Tomi, dalam diskusi daring berjudul “Budaya Hindu Buddha di Pulau Sumatra” yang diadakan Balai Arkeologi Sumatra Utara, Rabu, 28 April 2021.

Advertising
Advertising

Sungai menjadi pintu masuk budaya luar ke Sumatra dan berbagai tempat lain di Nusantara. Mulanya dibawa para pedagang yang masuk ke pedalaman untuk mencari komoditas perdagangan. Jalurnya lewat sungai-sungai besar, seperti Sungai Musi, Batanghari, dan Kampar.

“Kebudaan India yang masuk ke Sumatra diwujudkan dalam bentuk arca, bangunan-bangunan suci, juga prasasti,” jelas Tomi. 

Baca juga: Jejak Peradaban di Sepanjang Sungai Batanghari

Sumatra telah tercatat lama dalam berita Tiongkok. Disebutkan ada sebuah tempat bernama Mo-lo-yeu.

Mo-lo-yeu ini identik dengan Pulau Sumatra, bukan nama kerajaan,” kata Tomi. 

Di pulau Mo-lo-yeu terdapat beberapa pusat kekuasaan. Berita Tiongkok menyebutnya dengan Shi-Li-Fo-Shih (abad ke-7–11), Chan-pi (abad ke-8–13), To-lang-po-hwang (abad ke-7), ada pula di Kota Cina (abad ke-11–14), Panai (abad ke-11–14), Dharmasraya (abad ke-13–15). Semuanya berada di dekat sungai, seperti Shi-Li-Fo-Shih berada di DAS Musi, Chan-pi di DAS Batanghari, To-lang-po-hwang di DAS Tulangbawang, Kota Cina di lembah Sungai Deli Pantai Timur Sumatra, Panai di lembah Sungai Panai dan Barumun, serta Dharmasraya di hulu Batanghari.

“Pusat-pusat pemerintahan ini pada suatu masa muncul sebagai kekuatan politik yang besar,” kata Tomi.

Salah satunya pada 682 muncul Kadatuan Sriwijaya di Shih-li-fo-shih. “Populer dengan sebutan kerajaan, tapi nama yang spesifik sebetulnya kadatuan,” jelas Tomi.

Komunitas Hindu dan Buddha Awal

Namun, kemunculan Sriwijaya bukanlah pertanda pertama masuknya budaya India ke Sumatra. Pasalnya, kata Tomi, sebelum Kadatuan Sriwijaya lahir, sudah ada komunitas pemeluk Hindu dan Buddha di Palembang. 

Buktinya keberadaan Arca Sakyamuni yang ditemukan di Bukit Siguntang, Palembang. Kemungkinan, kata Tomi, Sang Sakyamuni dulunya berdiri di puncak bukit yang suci itu.

Arca Sakyamuni berlanggam sekira abad ke-6 M. Dari penggambaran pakaian arca, nampak pengaruh seni antara Gupta dan post-Gupta. 

“Sriwijaya baru lahir abad ke-7. Artinya sebelum abad ke-7 sudah ada komunitas yang menganut ajaran Buddha,” jelas Tomi. 

Baca juga: Inilah Akta Kelahiran Sriwijaya

Berdasarkan arca itu, Tomi memperkirakan, aliran Buddha yang dianut adalah Hinayana. “Mungkin ini satu-satunya arca pemujaan para penganut ajaran Hinayana yang pernah ditemukan,” kata Tomi.

Pada abad ke-7, Sriwijaya sudah berupa permukiman yang tertata dengan baik. Bangunan-bangunan religi di tempat yang tinggi dengan pusatnya di Bukit Siguntang, permukiman di tepian Sungai Musi, dan Taman Sriksetra ditempatkan di kawasan berbukit dan berlembah di barat laut kota Sriwijaya.

“Jadi orang tidak asal bertempat tinggal,” kata Tomi.

Menurut Tomi, kota Sriwijaya dapat berkembang berkat daerah pedalaman. Kawasan pedalaman di daerah kaki Pegunungan Bukit Barisan merupakan penghasil komoditas perdagangan, seperti hasil bumi, hutan, dan tambang.

Baca juga: Raja Sriwijaya Membangun Taman Kota

Komoditas itu dibawa melewati aliran sungai ke Palembang untuk dipasarkan. Palembang menjadi muara banyak sungai yang mengalir dari pedalaman, yakni Sungai Musi, Keramasan, Ogan, dan Komering. 

“Di Palembanglah bertemu sungai-sungai ini, sehingga di Palembanglah para pedagang berkumpul menjadi pasar, lama-lama daerah itu menjadi maju,” jelas Tomi.

Permukiman di Lahan Basah

Permukiman masa Sriwijaya dibangun di sepanjang aliran sungai. Dari berita Tiongkok diketahui kalau orang-orang di Sriwijaya berdiam di perahu dan di rumah panggung di rawa-rawa. Mereka hidup dengan mencari ikan dan berdagang.

Bukti permukiman di lahan basah ini ditemukan di Situs Air Sugihan di pantai timur Palembang. Penelitian Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) pada 2008 menemukan sisa-sisa permukiman di lahan berawa dari awal abad masehi.

Terdapat 74 situs yang ditemukan di kawasan Air Sugihan. Situs itu diperkirakan berasal dari periode awal masehi, sekira abad ke-1-2 dan terus berlanjut sampai abad 12-13, yakni periode akhir Sriwijaya.

Baca juga: Pendahulu Sriwijaya

Permukiman itu diperkirakan cikal bakal atau pendahulu Sriwijaya. Secara keruangan situs-situs yang ada di dekat muara berusia lebih tua. Semakin ke hulu semakin muda. 

Di sana ditemukan sisa permukiman berupa tiang pancang dari kayu nibung. Dari jenis-jenis temuannya, kata Tomi, masyarakat yang dulu tinggal di kawasan ini memiliki hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, serta daerah lain di Nusantara.

“Sebelum Sriwijaya lahir sudah terbentuk jaringan perdagangan Guangdong-Palembang, Persia/India-Palembang, dan Palembang-Kalimantan Barat,” jelas Tomi. 

Mengembangkan Sayap

Melalui sungai pula, balatentara Sriwijaya menyerang Kota Kapur di Bangka. Mereka datang melalui Sungai Musi kemudian menyeberang ke Selat Bangka dan masuk ke Sungai Menduk. Penaklukkan Sriwijaya atas Bangka itu dibuktikan oleh temuan Prasasti Kota Kapur (686 M). 

Menurut Tomi, keletakan strategis Kota Kapur dengan hasil tambang timah dan sumber air bersihnya menjadikan tempat ini disinggahi kapal-kapal yang berlayar dari dan ke Jawa. “Bangka terletak di jalur pelayaran, yang seolah menghalangi jalur masuk atau keluar Palembang,” jelas Tomi.

Baca juga: Penaklukkan Sriwijaya di Pulau Bangka dan Jawa

Secara geografis Kota Kapur berhadapan langsung dengan Selat Bangka. Pada selat ini bermuara juga Sungai Upang, Sungsang, dan Saleh dari daratan Sumatra.

“Karena sumber daya alam, timah, dan keletakannya yang strategis maka Sriwijaya menguasainya,” jelas Tomi. 

Penelitian yang dilakukan Tomi telah menemukan sebuah dermaga di kaki bukit Kota Kapur. Dermaga itu ditemukan di tepian Sungai Menduk.

“Rupanya dulu sungai ini adalah teluk yang besar di Kota Kapur, tempat berlabuh kapal-kapal dagang,” kata Tomi. 

Baca juga: Prasasti Kutukan Sriwijaya di Wilayah Taklukkan

Timah kemungkinan menjadi daya tarik Kota Kapur. Komoditas ini diekspor ke berbagai kawasan Nusantara dan Asia Tenggara. Timah ini merupakan salah satu bahan campuran untuk membuat arca perunggu yang marak dilakukan pada abad ke-8–9. 

“Sejak zaman Sriwijaya sudah menambang timah untuk keperluan membuat arca,” kata Tomi. 

Didukung pula oleh berita Tiongkok abad ke-7 bahwa komoditas perdagangan Sriwijaya di antaranya timah. Sementara di Asia, timah hanya ditemukan di Myanmar, Semenanjung Melayu, dan Kepulauan Bangka Belitung.

Melupakan Sungai

Peran sungai begitu penting dalam perkembangan peradaban Nusantara, khususnya di Sumatra. Namun, dalam penulisan sejarah kedatangan luluhur baik menurut tradisi maupun modern (sampai 1970-an), peran sungai nyaris dilupakan. 

“Di sejumlah suku bangsa di pedalaman Sumatra, sungai tak disebut sebagai salah satu faktor penting dalam proses datangnya para leluhur,” catat Gusti Asnan, sejarawan Universitas Andalas dalam Sungai dan Sejarah Sumatra. 

Misalnya, dalam sejarah tradisional Minangkabau. Menurut Asnan, mitos kedatangan leluhur versi mereka lebih mementingkan arti laut.

Baca juga: Dua Rute Migrasi Leluhur Nusantara

Dikisahkan leluhur masyarakat Minangkabau terdampar ketika banjir besar Nabi Nuh terjadi. Mereka mendarat di sebuah daratan kecil yang kemudian diketahui sebagai puncak Gunung Marapi. Setelah permukaan laut surut, para leluhur mendirikan permukiman pertama di kaki gunung itu.

Demikian pula dalam penulisan sejarah modern mereka, baik yang ditulis orang Belanda, Indonesia, maupun orang Minangkabau. “Peranan sungai dalam proses kedatangan moyang suku bangsa itu tak disinggung sama sekali,” jelas Asnan.

Orang Kerinci juga mengaitkan kedatangan moyang mereka dengan banjir besar Nabi Nuh. Mereka memulai sejarah kedatangan leluhurnya dengan lautan yang luas.

Sementara di dalam tradisi Batak, mitosnya menyebut kalau leluhur mereka berasal dari langit. Leluhur batak turun ke bumi pertama kali di Gunung Pusuk Buhit di Pulau Samosir.

Baca juga: Kisah Tanah Kuno Leluhur Barus

Arti penting sungai bagi perkembangan kebudayaan masyarakat Sumatra terkuak lewat penelitian arkeologis dan kajian linguistik. Berbagai temuan arkeologis ditemukan di kawasan hulu dari sungai-sungai, seperi Panai, Roman, Kampar, Batanghari, dan Musi. 

“Sungai-sungai besar ini menghubungkan pantai timur Sumatra dengan wilayah pedalaman,” jelas Asnan.

Pun dari penelitian dialek yang ada di dalam bahasa Minangkabau, seperti dialek Payakumbuh atau Limapuluh Kota, diketahui kalau dialek yang dipraktikkan penduduk di kawasan hulu Sungai Kampar merupakan dialek tertua di Minangkabau. Artinya Limapuluh Kota, yang ada di kawasan sebelah timur Minangkabau, merupakan daerah yang lebih dulu ditempati.

“Sungai ternyata juga punya peran yang besar dalam kemunculan permukiman dan penyebaran penduduk Pulau Sumatra,” jelas Asnan.

Baca juga: Riwayat Para Firaun di Lembah Sungai Nil

 

TAG

sriwijaya sumatra

ARTIKEL TERKAIT

Westerling Nyaris Tewas di Tangan Hendrik Sihite Mayor Bedjo Kobarkan Api dan Darah di Tapanuli Perang Saudara di Tapanuli Bandit Medan Berjuang dalam Perang Kemerdekaan Parkindo Tolak Kutuki PRRI Jenderal Pertama di Sumatra Selatan Pamer Kemewahan Hasil Jarahan Inoue Gila karena Murni Menumpas Gerakan Aron Insiden-insiden Gerakan Aron