GEMERLAP lampu-lampu di daratan Malaysia terlihat indah dari geladak kapal KRI Dewaruci 19 Juni 2024 malam. Dalam pelayaran di Selat Malaka itu, Dewaruci yang dinahkodai Letnan Kolonel Rhony Lutviadhani kerap bertemu kapal-kapal niaga besar. Selat Malaka saat ini masih jalur pelayaran antar-bangsa yang sangat ramai.
Mulanya, laut cukup tenang dirasakan dari atas Dewaruci yang terus meluncur ke arah utara. Namun, hujan kemudian datang hingga subuh. Bahkan, dini-hari 20 Juni 2024 badai terasa di kapal.
Hujan dan badai sudah berlalu pada 20 Juni 2024 pagi. Matahari perlahan muncul menggantikan gelap. Dewaruci makin menjauh dari perairan Kerajaan Malaysia dan mendekat lagi pada daratan Sumatra.
“Posisi sudah di Tanjung Balai, Asahan,” terang Kapten Yudi Dwi Saputra di ruang navigasi KRI Dewaruci sekitar pukul 06.35 pagi ini.
Dewaruci berarti sudah berada di perairan Sumatra Utara. Dalam pelayaran itu, kapal berjalan dengan kecepatan 10 knot dalam cuaca yang makin cerah. Jarak kapal dengan daratan Sumatra sekitar 17 km.
Daerah Panai sudah dilewati pagi ini. Melewati Panai ibarat ziarah sejarah pelayaran kuno dalam “Muhibah Budaya Jalur Rempah” (MBJR) ini selain juga ziarah terkait dengan sejarah TNI Angkatan Laut (TNI AL).
Baca juga: Melacak Jejak Kerajaan Panai di Tanah Batak
Jalur Kapur Barus
Panai tak bisa dilepaskan dari kapur barus atau kamper, benda kebutuhan penting manusia sejak zaman baheula. Di Indonesia, kapur barus merupakan barang penting dalam kehidupan berumah tangga. Antara lain untuk mengawetkan pakaian atau barang-barang berbahan kertas dari kekejaman rayap dan sebangsanya.
Sumatra merupakan penghasil kapur barus. Benda ini dihasilkan di sisi baratnya, di daerah bernama Barus. Selain itu, juga dihasilkan di sisi timur Sumatra yang bernama Panai.
“Kedua pelabuhan ini saling membelakangi dan terletak di satu garis yang memisahkan sumbu sumatra secara tegak lurus,” tulis Keram Kevonian dalam “Suatu Catatan Perjalanan di Laut Selatan Dalam Bahasa Armenia” di buku Lobu Tua, Sejarah Awal Barus.
Baca juga: Misteri Kerajaan Panai di Sumatra
Panai yang dimaksud terletak di Kabupaten Labuhan Batu, Sumatra Utara. Di dalam kebupaten ini terdapat tiga kecamatan dengan nama Panai: Panai Hilir, Panai Tengah, dan Panai Hulu.
Panai merupakan daerah yang dulu diserang Rajendra Cola dari Colamandala, India. Panai juga disebut-sebut sebagai daerah yang diincar Majapahit setelah Sriwijaya runtuh.
“Diperkirakan bahwa kerajaan Panai menjadi bagian dari kerajaan Sriwijaya di Sumatra pada tahun 1000 M. Schnitger, misalnya, menyebutkan bahwa nama ‘Pu-ni atau Po-li’ dalam sumber Cina,” tulis Nugroho Notosusanto dkk. dalam Sejarah Nasional Indonesia 2: Zaman Kuno.
Eksistensi Panai telah disebut dalam Prasasti Panai di Kompleks Candi Biaro Bahal yang –oleh para ahli– dianggap tinggalan Sriwijaya. Lisda Meyanti lewat tulisannya di Jurnal Amerta, “Prasasti Panai: Kajian Ulang Tentang Lokasi Kerajaan Panai”, menjelaskan bahwa prasasti itu terkait dengan bangunan suci yang disebut biaro dan pemimpinnya adalah haji.
Baca juga: Biaro-Biaro Padang Lawas dan Kerajaan Panai di Sumatra Utara
Saat itu, Panai merupakan salah satu bandar di pesisir timur Sumatra Utara yang terhubung daerah pedalaman melalui sungai-sungai yang berhulu di pedalaman dan berhilir di pesisir timur. Panai juga tergolong dalam kawasan Melayu.
“Kalau di daerah Melayu, top masuk, panjangnya 30-40 meter,” catat Nasrul Hamdani, sejarawan Balai Pelesatarian Wilayah II Sumatra Utara.
Top adalah sebutan untuk kapal dengan bobot 30-40 ton di kawasan Sumatra Utara. Seperti di tempat lain, sungai adalah jalur peradaban manusia. Beberapa kerajaan penting di dunia biasanya dilalui sungai.
Kerajaan Panai disebut Kerom Kevonian sebagai kerajaan pedagang yang terkait dengan perdagangan internasional sekitar abad ke-12, baik yang di Barus maupun di sekitar Labuhan Bilik. Selain itu, Kerajaan Panai dikenal sebagai penghasil kamper. Hingga abad ke-17, Labuhan Bilik yang berada di Selat Malaka merupakan jalur perdagangan rempah-rempah.
Jalur Penyelundupan
Jauh setelah era perdagangan rempah, Panai di Labuhan Bilik punya sejarah yang terkait dengan TNI AL. Di masa revolusi kemerdekaan Indonesia, daerah Labuhan Bilik adalah daerah penyelundupan. Daerah itu dipilih menjadi basis penyelundupan oleh Lie Tjheng Tjoan alias John Lie yang memimpin penyelundupan itu. Pelaut AL keturunan Tionghoa itu memimpin kapal The Outlaw yang digunakan untuk menyelundupkan persenjataan bagi perjuangan revolusi.
“Setelah recruting ABK selesai maka kapal mulai memuat alat perlengkapan militer lengkapan kapal seperlunya: senjata-senjata otomatis, peluru 1000 pon dan perlengkapan kapal seperlunya. Dimuat di Pulau Pisang Johor untuk dibawa ke Labuan Bilik. Kapal The Outlaw memakai bendera Inggris,” kata John Lie dalam memoarnya di buku Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan IV (1991).
Penggunaan bendera “Union Jack” oleh John Lie bertujuan untuk kamuflase demi menghindari penangkapan dari patroli AL Belanda. Kebetulan, John Lie pernah bekerja untuk Angkatan Laut Inggris di Persia waktu Perang Dunia II. Namun dalam perjalanan, mereka sempat ganti bendera Kuomintang ketika menyeberangi Selat Malaka.
Baca juga: John Lie Si Penyelundup yang Humanis
Suatu kali, kapal The Outlaw hendak memasuki sebuah teluk lalu muara Labuan Bilik. Namun, di situ ia bertemu pesawat terbang Belanda yang terbang dari Polonia, Medan. Beruntung, pesawat itu tak bisa terus membuntuti kapal yang dinahkodai John Lie itu. Maka kapal The Outlaw pun lolos dan bisa merapat di Labuhan Bilik.
“Pada pukul 10.00 The Outlaw masuk dan tibalah di Labuan Bilik dengan selamat, kemudian kami menurunkan barang-barang dan diserahkan kepada Bupati Usman Effendi beserta Komandan Batalyon Abu Samah,” catat Mayor John Lie.
Ketika pensiun dari AL, John Lie berpangkat Laksamana Pertama. Setelah pensiun, John Lie menghabiskan waktunya dengan kegiatan filantropis. Atas keberanian dan jasanya dalam upaya-upaya penyelundupan nan heroik di sekitar Selat Malaka semasa revolusi, John Lie diangkat menjadi Pahlawan Nasional Republik Indonesia.*