Masuk Daftar
My Getplus

Melacak Jejak Kerajaan Panai di Tanah Batak

Benarkah nama sungai, daerah, dan marga Pane, berkaitan dengan Kerajaan Panai di Sumatra yang masih menjadi misteri?

Oleh: Risa Herdahita Putri | 18 Jul 2019
Relief di Biaro Bahal yang merupakan bagian dari candi-candi Padanglawas, Sumatra Utara. (Perpusnas RI).

Sekira menjelang akhir milenium pertama masehi, muncul Kerajaan Panai di Sumatra bagian utara. Sepertinya ia kerajaan penting karena Kerajaan Cola di India dan beberapa kerajaan lain di Nusantara menyebut namanya dalam dokumen resmi mereka.

Panai pertama kali diketahui lewat Prasasti Tanjore yang berbahasa Tamil dari tahun 1030. Prasasti ini dibuat Raja Rajendra Cola I dari Colamandala di India Selatan. Di dalamnya disebut bahwa Panai yang dialiri sungai merupakan salah satu yang digempur sang raja selain Sriwijaya. Penyerbuan Cola telah menaklukkan juga Malaiyur, Ilangasogam, Madamalingam, Ilamuri-Desam, dan Kadaram.

Tiga abad kemudian nama Panai kembali muncul dalam Nagarakertagama, kakawin dari Kerajaan Majapahit karya Mpu Prapanca. Sebutannya sedikit berubah menjadi Pane. Ia disebut sebagai bagian dari negeri di Sumatra yang berada di bawah pengaruh Majapahit.

Advertising
Advertising

Baca juga: Meninjau Kembali Wilayah Kekuasaan Majapahit

Menurut Keram Kevonian, pengajar di EHESS (Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales), Paris, Panai menjadi salah satu dari dua kerajaan yang tak dicatat Marco Polo. Padahal, penjelajah asal Venesia itu sempat menyusuri pesisir Sumatra pada 1292.

"Mungkin karena Panai letaknya di daerah yang tak dikunjunginya," tulis Keram dalam "Suatu Catatan Perjalanan di Laut Cina dalam Bahasa Armenia", termuat di Lobu Tua Sejarah Awal Barus.

Sumber-sumber Tionghoa pun tak memuat informasi keberadaan kerajaan Panai. Bahkan tak ada dalam catatan Ma Huan, penerjemah resmi yang mendampingi Laksamana Cheng Ho ke Nusantara pada abad ke-15.

“Bukan berarti Kerajaan Panai ketika itu telah hilang,” jelas Keram.

Pasalnya, pada era Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dari Kesultanan Aceh, Kerajaan Panai kembali disebut-sebut. Dalam suratnya kepada Jacques I, sultan mencatat Pani sebagai jajahan Aceh di Pantai Timur Sumatra.

Nampaknya, menurut arkeolog Rumbi Mulia, Panai telah berhasil melepaskan kewajibannya, mungkin berupa upeti kepada Kerajaan Cola setelah digempur pada awal abad ke-11. Pada masa berikutnya kerajaan itu justru menampakan perkembangannya secara mandiri. Panai melakukan pembangunan besar-besaran di negaranya. Kini diyakini kompleks percandian di Padang Lawas adalah salah satu peninggalannya.

Baca juga: Misteri Kerajaan Panai di Sumatra

Sayangnya, di antara peninggalan itu belum ada yang menyebutkan nama raja atau yang mendukung kerajaan itu sebagai sebuah struktur politik mandiri. Baru kemudian ditemukan prasasti yang menyebut nama Paṇai.

Prasasti Panai tak memiliki angka tahun yang absolut. Ia menggunakan aksara Kawi akhir dan berbahasa Melayu Kuno. Pada dua baris terakhirnya, dikisahkan seorang tokoh mendirikan suatu daerah (bhumi). Daerah yang dimaksud kemungkinan adalah Pannai.

Ada kabar dari prasasti itu, seorang pejabat desa bergelar kabayan diberi tugas yang berkaitan dengan bangunan suci agama Buddha. Bangunan suci itu diduga sebagai pendarmaan tokoh hinan dan haji. Sementara tokoh kabayan, sebagai seorang pesuruh, disebutkan membawa sesuatu yang tak jelas dalam prasasti, kepada semua orang yang tinggal di Paṇai.

Baca juga: Serbuan Cola ke Sriwijaya

"Adanya gelar haji menunjukkan kalau Pannai adalah kerajaan kecil," tulis Rumbi dalam The Ancient Kingdom of Panai and the Ruins of Padang Lawas (North Sumatera).

Meski namanya masih disebut hingga masa berikutnya, kemerosotan Kerajaan Sriwijaya sejak abad ke-13 serta hilangnya kekuasaan atas kawasan selat, pasti ikut melemahkan Padang Lawas-Panai.

Pasalnya, menurut Rumbi, dengan disebutkannya Kerajaan Pannai sebagai salah satu yang ditaklukan Raja Rajendra Cola I dalam penyerbuannya ke Sriwijaya memunculkan dugaan kerajaan ini adalah salah satu anggota mandala Sriwijaya.

Penghasil Kamper

Menurut Lisda Meyanti, peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, kemungkinan pada masa lampau Padang Lawas lebih subur dibandingkan sekarang. Karenanya Kerajaan Panai sangat kaya akan hasil hutan, khususnya kapur barus dan ternak. Belum lagi hasil perut buminya seperti emas.

"Hanya masyarakat yang kaya dan makmurlah yang mampu membangun candi," tulis Lisda dalam "Prasasti Panai: Kajian Ulang Tentang Lokasi Kerajaan Paṇai" termuat di Jurnal AMERTA.

Dalam catatan perjalanan berbahasa Armenia, Nama Kota-Kota India dan Kawasan Pinggiran Persia, Pane disebut sebagai nama pelabuhan di mana banyak kamper bermutu.

Keram menjelaskan kamper bersumber dari dua pelabuhan, yaitu Barus yang ditulis Pant’chour di pantai barat, dan P’anes atau P’anis yaitu Panai di pantai timur.

Baca juga: Jejak Peradaban Barus

Kedua pelabuhan itu saling membelakangi. Letaknya satu garis, memisahkan sumbu Sumatra secara tegak lurus. Daerah yang paling kaya dengan kamper terletak di antara keduanya, di Bukit Barisan.

Menurut Keram untuk mengekspor kamper dalam jumlah besar pada abad ke-12, Panai mesti berhubungan dengan daerah-daerah yang terletak di perbatasan bagian hulu Sungai Barumun, di Padang Lawas. Sungai ini mengalir ke utara hingga ke pantai timur Sumatra dan bermuara di Selat Malaka.

Namun, sewaktu Melaka dan Aceh berkembang pada abad ke-16, navigator Arab Sulayman al-Mahri mengenal sebuah pelabuhan saja untuk kamper di seluruh Pulau Sumatra, yaitu Fansur. Ia tidak mencatat Panai atau apapun yang bernama mirip.

Sementara Tome Pires, pejelajah asal Portugis, malah meletakkan Kerajaan Arcat sebagai bawahan Aru di daerah yang diduga bernama Panai pada zaman sebelumnya. Dalam Suma Oriental, dia menulis Aru sebagai penyedia sejenis kamper yang kualitasnya lumayan. Sebagian dari barang dagangan itu beredar di Minangkabau sedangkan sebagian lainnya dibawa ke Panchur seperti zaman dahulu.

Baca juga: Ekspansi Raja Cola sampai Sriwijaya

Kerajaan di tanah Batak itu pun seakan sepenuhnya terlupakan. Catatan mengenainya belum lagi ditemukan.

Namun nama Panai masih tersisa dalam berbagai bentuk. Ia menjadi sungai, distrik, dewa kuno orang Batak, dan nama marga di Batak.

Sungai Batang Pane ada di utara sebagai anak Sungai Barumun, dan bermuara di Selat Malaka. Sepanjang sungai inilah berdiri kompleks percandian Padang Lawas. 

Lalu ada Kecamatan Pane di Simalungun, timur Danau Toba. Rumbi mencatat bahwa menurut legenda, raja di wilayah itu bersatu dengan roh suci yang disebut parpanean. Setiap akan membuat keputusan penting sang raja selalu berkonsultasi dengan si roh. Dia pun menjadi raja yang sukses dan menamai daerahnya “Pane” untuk menghormati sekutu rohnya.

Mitologi Batak juga mengenal Pane na Bolon sebagai dewa yang menguasai dunia tengah, tempat manusia tinggal. Adapun marga Pane termasuk kelompok Suku Batak Angkola di Tapanuli Selatan.

Namun, Keram masih ragu: "tidak tentu apakah semua tempat ini berkaitan dengan sebuah kerajaan yang dulu bernama Panai."

TAG

Batak

ARTIKEL TERKAIT

Siapa Penembak Sisingamangaraja XII? Berdebat dengan TB Simatupang Sebelum Sersan Pongoh ke Petamburan Kolonel Junus Jamosir Digunjing Setelah G30S Junus Samosir, D.I. Panjaitan, dan G30S Perang Saudara di Tapanuli Pejuang Batak Ganti Nama di Tengah Perang D.I. Pandjaitan Cari Jodoh di Tengah Perang Orang Batak Jadi Jenderal Melanchton Siregar, Guru yang Bergelar Kolonel Tituler