Prapanca, Pujangga Majapahit yang Diasingkan
Pujangga ini dipecat dari istana. Namun, karyanya kini menjadi salah satu rujukan terpenting sejarah Singhasari dan Majapahit.
Tahun saka gunung gajah budi dan janma, Bulan Aswina, hari purnama. Siaplah kakawin pujaan tentang perjalanan jaya keliling negara.
Segenap desa tersusun dalam rangkaian, pantas disebut Desawarnana. Dengan maksud, agar Baginda ingat jika membaca hikmat kalimat.
Terdorong cinta bakti kepada Baginda, ikut membuat pujasastra berupa kakawin, sederhana tentang rangkaian sejarah desa. Apa boleh buat harus berkorban rasa, pasti akan ditertawakan.
Demikianlah Prapanca mencatat dalam kakawin Nagarakrtagama, atau yang aslinya berjudul Dešawarnana. Karya yang ditulis enam abad lalu itu merupakan gudang pengetahuan sejarah Singhasari dan Majapahit. Secara umum, isinya menceritakan perjalanan Hayam Wuruk dan rombongan ke Lumajang. Dia juga menyelipkan informasi soal kondisi politik era Hayam Wuruk dan kisah-kisah raja masa Singhasari.
Prapanca sempat menorehkan kisahnya dalam naskah itu. Dari penuturannya diketahui bahwa karya itu ditulis oleh pujangga yang dibuang dari istana.
Baca juga: Sebuah upaya agar naskah kuno Desawarnana mudah dipahami anak-anak muda
Menurut sejarawan Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, sebagai putra pembesar agama Buddha, sejak kecil Prapanca sering menghadap raja di istana. Kemudian dia menggantikan ayahnya sebagai dharmmadyaksa kasogatan atau ketua urusan agama Buddha di Majapahit. Dia ikut serta mengiringi baginda ke Lumajang pada bulan Badra 1281 Saka (Agustus-September 1359 M).
Tak diketahui pasti kapan Prapanca tak lagi menjabat dharmmadyaksa kasogatan. Namun, Nagarakrtagama menyebut jabatan itu dipegang oleh Rengkanadi yang tinggal di luar benteng istana sebelah selatan. Sementara dharmmadyaksa kasaiwan (pendeta Siwa) adalah Hyang Brahmaraja yang tinggal di luar benteng istana sebelah timur.
Baca juga: Asthabrata, konsep pemimpin ideal ala Jawa yang terinspirasi Kakawin Ramayana
Prapanca meninggalkan istana karena hinaan kaum bangsawan (adyah). "Gelar dyah hanya digunakan oleh putra raja dan raja," tulis Slamet. "Mungkin sekali, hinaan yang dideritanya berupa celaan terhadap sikapnya oleh baginda."
Slamet berpendapat Sri Rajasanagara mungkin percaya kepada fitnah seorang bangsawan terhadap sang pujangga. Dalam pupuh 97 dan 98, Prapanca menggunakan kata winada dan cinela yang berarti dicacat, dicela. Dia memandang dirinya sebagai orang yang tercela.
Baca juga: Sikap pujangga terlihat dari karyanya: mengabdi kekuasaan atau melawan penjajahan
Prapanca kemudian bertapa di Desa Kamalasana. Di lereng gunung itu hidupnya tak mudah. Dia kikuk hidup di desa. Tempat tinggalnya begitu jauh dari kota, di mana baginda berada. Dia merasa sedih dan kesepian. Teman-temannya telah melupakan dan segan mengunjunginya.
Prapanca menyelesaikan Nagarakrtagama pada bulan Aswina 1287 Saka (September-Oktober 1365). “Mudah-mudahan baginda suka menerimanya dan ingat kepada penciptanya yang telah lama bertekun menggubah kakawin,” catat Prapanca dalam pupuh 94.
Prapanca juga menulis, dirinya merasa rugi tak lagi bisa mendengar kata manis. “Yang dimaksud dengan kata manis (ujar arum, red.) ialah sabda Baginda Sri Rajasanagara,” jelas Slamet.
P.J. Zoetmulder dalam Kalangwan menyebut Prapanca masih berharap Sri Baginda tak melupakan baktinya. Dia masih tetap setia-bakti kepadanya meski telah dipecat dan menyepi ke desa yang membuatnya tak nyaman.
“Dapat ditafsirkan bahwa penciptanya sama sekali tidak menaruh dendam terhadap baginda,” tulis Slamet. Dia juga tak berharap kakawinnya menyebar luas apalagi sampai ke istana.
Menurut Slamet, maksud Prapanca membuat Nagarakrtagama untuk mendoakan agar Sri Rajasanagara tetap berkuasa di negaranya. Karya untuk memuja junjungannya itu kini menjadi salah satu sumber terpenting penelitian sejarah Majapahit dan Singhasari di tengah terbatasnya sumber tertulis dari masa itu.
Baca juga: Fiksi dalam Babad Tanah Jawi berkaitan dengan mitos dan kebenaran simbolis
Tambahkan komentar
Belum ada komentar