Pemimpin Ideal ala Jawa
Seorang pemimpin harus memiliki delapan watak dewata. Separuhnya saja terwujud sudah sangat bagus.
Kadipaten Pakualaman mempunyai beberapa model kepemimpinan yang menjadi acuan para adipatinya. Itu terkandung dalam naskah koleksi Perpustakaan Pakualaman yang merangkum masa pemerintahan Paku Alam I hingga Paku Alam IX. Dari beberapa model kepemimpinan, ajaran asthabrata mendapat perhatian khusus dari para pujangganya.
Ada 12 teks yang diciptakan untuk menjelaskan konsep asthabarata, yaitu Baratayuda, Pawukon saha Serat Piwulang, Sestra Ageng Adidarma, Kempalan Serat Piwulang, Sestradisuhul, Piwulang Warna-warni, Slawatan Langen, Pradapa, Dasanama saha Pepali, Kyai Adidamastra, Asthabrata Panca Candra saha Dongeng Kancil, Slawatan Melayu, Asthabrata Panca Candra saha Narpa Candra.
Ajaran asthabrata terinspirasi dari Kakawin Ramayana. Meski ide cerita datang dari India, penulisannya di Jawa sudah ada paling tidak sejak masa Kerajaan Kadiri. Isinya mengenai teladan kepemimpinan yang disampaikan Rama kepada adiknya, Barata. Model kepemimpinan dalam ajaran itu didasarkan pada sifat delapan dewa penjaga mata angin (Lokapala).
“Mereka adalah Batara Indra yang bijak bestari, Yama yang adil dan cerdas menegakkan hukum, Surya yang cermat dalam keuangan, Candra yang memesona dan berkepribadian memikat, Bayu yang tak mudah terhasut, Kuwera yang demawan, Baruna yang bersahaja, dan Brama yang pintar bersiasat,” kata BRAy. Atika Purnomowati Suryodilogo, peramaisuri Paku Alam X, dalam diskusi buku Ajaran Kepemimpinan Asthabrata Kadipaten Pakualaman, di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Kamis (12/4).
Baca juga: Perbedaan Negarawan dan Politikus
Meski terinspirasi dari karya yang sudah ada, versi Pakualaman berbeda. Istri Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta itu mengatakan, asthabrata Pakualaman menempatkan Batara Wisnu sebagai pertapa untuk menggantikan Batara Kuwera. Wisnu sengaja dihadirkan untuk memberikan keseimbangan karakter keduniawian sang raja.
“Raja harus punya keunggulan sifat dunia dan rohani,” lanjutnya.
Karena perpaduan itu, membuat idealisasi seorang pemimpin versi Pakualaman lebih rumit. Alasan ini pula yang membuat para adipati di Pakualaman memprakarsai penciptaan teks dengan gambar artistik para dewa yang sudah dikenal luas. Lukisan artistik ini dinilai akan lebih menguatkan pesan. Dampaknya, pembaca akan menerima pesan itu secara reaktif.
“Tampaknya ini berkaitan dengan etos sestradi. Artinya, rasa yang tinggi merupakan sarana yang nyata menggapai makna kehidupan sempurna,” kata Atika.
Di Pakualaman, ajaran asthabrata dalam bentuk teks, telah disalin terus-menerus dari aksara Jawa ke aksara Jawa sejak masa Paku Alam II sampai Paku Alam V. Sementara itu, menurut Sri Ratna Saktimulya, pada periode Paku Alam VI hingga Paku Alam VIII, tak diketahui apakah teks itu ada atau tidak.
“Kami belum menemukan. Ini menjadi PR (pekerjaan rumah) kami,” kata kepala jurusan Sastra Nusantara Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada itu.
Baca juga: Pemimpin Ideal ala Sunda
Selanjutnya, pada periode Paku Alam IX, teks mulai dialihaksarakan dari huruf Jawa ke huruf latin. Karya itu pun diterjemahkan dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia. Pada masa ini pula, K.B.P.H Prabu Suryodilogo, Paku Alam X yang ketika itu masih menjadi putra mahkota, bersama timnya memaknai teks dan menerbitkannya dalam sebuah buku.
“Sejak dulu putra mahkota diwajibkan tahu tentang asthabrata,” jelas Sri Ratna.
Kendati begitu, seorang pemimpin tak mudah menerapkan delapan watak dewata itu. Menurut Sudibyo, dosen Sastra Nusantara Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, delapan watak itu bisa saja diterapkan secara situasional.
“Separuh saja terwujud sangat bagus. Mungkin seperti Sukarno. Dia menarik, karismatik, karena pesonanya dikagumi banyak orang,” kata Sudibyo.
Baca juga: Kriteria Pemimpin Ideal Menurut Konghucu
Lebih lanjut, Sudibyo menekankan, ajaran ini lebih untuk mengatur pribadi sang raja. Karenanya di tengah budaya Islam tak ada penolakan meski asthabrata memakai dewa-dewa Hindu sebagai teladan.
“Selama ini dalam empat kerajaan Jawa tidak pernah terdengar penolakan. Karena ini hanya untuk mengatur moralitas sang raja. Rakyat hanya akan merasakan imbasnya,” ujar Sudibyo.
Di masa sekarang, ajaran ini sepatutnya diterima ketika rakyat tengah menyambut Pilkada dan Pilpres. “Indonesia bakal menggelar 171 Pilkada langsung tahun ini. Tahun berikutnya, berlanjut kepada pemilihan anggota legislatif dan presiden. Konteksnya tepat untuk mengkaji kembali hasil pemikiran para pujangga Jawa ini,” pungkas Sudibyo.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar