Masuk Daftar
My Getplus

Kerajaan Karo Itu Ada

Karo dianggap sebagai Batak oleh banyak orang. Padahal keliru. Dulu pernah ada Kerajaan Karo.

Oleh: Petrik Matanasi | 29 Jun 2024
Perairan Belawan di Selat Malaka dilihat dari geladak KRI Dewaruci, 20 Juni 2024. (Petrik Matanasi/Historia)

MATAHARI masih bersinar terang pukul 06.10 sore tanggal 20 Juni 2024 di perairan Belawan, Medan, Sumatra Utara. Pada sore yang cerah ini, KRI Dewaruci sedang bergerak ke arah utara mengitari Selat Malaka. Beberapa kapal dagang dan kapal nelayan terlihat di sisi kiri Dewaruci.

Belawan dikenal sebagai pelabuhan penting di sekitar Medan. Ibukota Sumatra Utara itu merupakan kota di Republik Indonesia paling ramai di kawasan Sumatra. Sejak lama hingga kini Medan menjadi daerah niaga penting di Indonesia bagian barat.

“Medan itu ada di pertemuan Sungai Bapura dan Sungai Deli,” kata Nasrul Hamdani, sejarawan dari Balai Pelestarian Kebudayaan II Sumatra Utara.

Advertising
Advertising

Sebagaimana di banyak tempat di Indonesia, sungai-sungai juga jalur peradaban di Sumatra Utara. Namun beberapa sungai yang dulu bisa dilewati kapal dengan bobot 30 hingga 40 ton, belakangan sudah tak bisa dilewati akibat tersedimentasi.

Meskipun sejarah Medan lebih dikenal karena kesultanan-kesultanan yang berada di daerah pesisirnya, sejatinya ia terkait dengan Guru Patimpus Sembiring Pelawi (1540-1590) yang berasal dari Karo di pedalaman Sumatra Utara. Namun, kerajaan di pedalaman Sumatara Utara nyaris tak dikenal. Barangkali orang hanya mengenal Sisingamangaradja XII yang terbunuh oleh tentara Belanda.

 

Karo Bukan Batak

Orang-orang Karo tinggal di daratan tinggi Karo, sisi timur Pegunungan Bukit Barisan. Kini di Sumatra Utara ada Kabupaten Karo, namun itu hanya administratif. Taneh Karo bukan hanya daerah-daerah yang kini masuk Kabupaten Karo semata. Yang dianggap Taneh Karo juga meliputi Deli Serdang, Langkat, Binjai, sebagian Tebingtinggi, Dairi, Simalungun, Aceh dan lain-lain. Kota Medan pun dianggap Taneh Karo.

“Karo itu berasal dari kata Aru, kemudian menjadi Haru  lalu berubah menjadi Haro,” catat Neken Jamin Sembiring Kembaren dalam Otobiografi Neken Jamin Sembiring Kembaren.

Aru yang dimaksud Niken adalah Kerajaan Aru di Sumatra. Penjelajah Portugis bernama Tome Pires mencatat tentang Kerajaan Aru ada awal abad XVI.

“Kerajaan Aru adalah sebuah kerajaan yang besar,” catat Tome Pires dalam Suma Oriental.

Tome Pires juga menyebut Aru sebagai Daru. Namun menurut Pires, kerajaan ini rajanya menjadi kaya lebih karena hasil rampasan. Daerah dataran tinggi ini hingga kini terkenal subur. Dulunya negeri ini menghasilkan beras bagus berwarna putih. Selain beras, mereka juga menghasilkan ikan dan anggur. Daerah Aru alias Karo ini dulunya juga ditumbuhi buah-buahan yang berlimpah. Kesemuanya tak untuk diperdagangkan alias hanya untuk kebutuhan sendiri.

Orang Aru dicatat Pires sebagai orang yang suka berperang. Musuh Kerajaan Aru adalah Kerajaan Malaka, berada di Semenanjung Malaya seberang Pulau Sumatra. Sedari awal Malaka muncul, Kerajaan Aru sudah menjadi musuhnya. Malaya selalu waspada dan mengawasi Aru. Pada abad ke-16 banyak kerajaan di sekitar Selat Malaka saling bermusuhan. Selain Aru dengan Malaka, Pedir dengan Aceh juga bermusuhan. Bahkan, kerajaan Siam (Thailand) yang jauh di utara pun juga bermusuhan dengan kerajaan-kerajaan di sekitar Malaysia kini. Aru sendiri punya raja yang cukup ditakuti.

“la adalah seorang Moor dan hidup di pedalaman, berkuasa atas banyak aliran sungai di negerinya. Tanahnya sendiri berawa-rawa dan tidak mungkin ditembus. [Raja] ini selalu berada di istananya,” catat Tome Pires.

Namun, perwira East Indies Company (EIC/Inggris)  Willem Marsden  pada awal abad ke-19 tak mencatat Aru atau Karo dalam History of Sumatra.

Tanah Karo berbatasan dengan Tanah Batak. Lantaran kedekatan wilayah geografis itulah banyak orang luar yang menganggap daerah pedalaman Sumatra Utara sebagai daerahnya orang Batak. Bahkan, menganggap orang Karo sebagai Orang Batak, Batak-Karo.

Padahal, anggapan tersebut keliru. Banyak perbedaan di antara keduanya. Jika Karo punya Pamena sebagaimana Batak punya Parmalim sebagai agama asli.

Hingga dewasa ini pun masih banyak orang Karo tak mau disebut Batak oleh orang-orang luar. Mereka merasa punya akarnya sendiri. Menurut Nasrul Hamdani, orang Karo sejak 1920-an sudah tidak merasa termasuk Batak. Beberapa etnis lain di Sumatra Utara pun demikian.

TAG

tanah karo medan sumatra utara jalur rempah

ARTIKEL TERKAIT

Brigjen M. Noor Nasution di Panggung Seni Hiburan Westerling Nyaris Tewas di Tangan Hendrik Sihite Menculik Pacar Westerling T.D. Pardede Bandit Medan Berjuang dalam Perang Kemerdekaan Kota Medan dari Sarang Preman hingga Begal Helvetia, Tanah Tuan Kebun Swiss di Medan Kisah Amat Boyan, Raja Bandit dari Medan Kisah Tarigan, Laskar Buronan Westerling di Medan Cerita di Balik Cadas Pangeran