Masuk Daftar
My Getplus

Brigjen M. Noor Nasution di Panggung Seni Hiburan

Satu dari segelintir perwira TNI yang berjiwa seni. Meski menjadi tentara, dia tetap bergerak di bidang seni dan budaya.

Oleh: Martin Sitompul | 20 Jan 2024
Kapten M. Noor Nasution sewaktu menjabat Komandan Militer Kota Besar (KMKB) Medan. Sumber: Varia, 28 Maret 1968.

M. Noor Nasution frustasi ketika tentara Jepang menduduki Sumatra Utara. Dia yang sudah menamatkan sekolah MULO tak bisa lanjut ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tapi, Noor enggan menganggur. Bakat seni menuntun Noor jadi pemain sandiwara. Itu bukanlah suatu pilihan yang keliru. Noor menjadi salah satu seniman terkenal di zaman Jepang.  

“Di masa pendudukan Jepang, para seniman turut pula menyumbangkan buah pikirannya melalui seni, drama, seni suara, dan lain-lain. Tokoh terkemuka adalah Saleh Umar atau Surapati dan M. Noor Nasution (alm. mantan direktur Antara),” catat tim peneliti Depdikbud dalam Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di Sumatra Utara.

Noor membentuk kelompok sandiwara bernama Kinsei Gedidan. Sjamsuddin Manan, waktu itu turut dalam rombongan drama dari Kisaran sampai Rantau Prapat sebagai tukang tik naskah, terpukau menyaksikan pertunjukan “Bang Noor”. Noor selalu tampil dengan nama panggung “Monanza”. Kecuali Bing Slamet, Sjamsuddin menyebut belum pernah ada seniman yang berhasil membawakan comical song sebagaimana yang ditampilkan Noor.

Advertising
Advertising

“Bukan karena suaranya empuk seperti adik kandungnya Alfian, tetapi karena improvisasinya, cara dia membawakan lagu itu, dengan gerak-gerik matanya yang besar itu, dengan kerut keningnya dengan alis matanya, dengan bahunya dan kedua belah tangannya,” kenang Sjamsuddin Manan dalam obituari di Majalah Varia, Edisi 515, 28 Februari 1968. 

Baca juga: Brigjen M. Noor Nasution, Perwira TNI eks Pemain Sandiwara

Sewaktu Perang Kemerdekaan, Noor meninggalkan panggung untuk sementara. Dia menjadi tentara. Mula-mula bertugas di Palembang, kemudian sebentar di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) di Jakarta. Pada paruh kedua 1950, Noor bertugas di Medan. Seperti nostalgia, di ibu kota Sumatra itu Noor kembali mencurahkan minatnya pada seni dan budaya.

Di Medan, Noor menjadi semacam pelindung kegiatan-kegiatan kebudayaan dan pertunjukan seni. Dia juga menjadi pembina tak resmi kelompok-kelompok seniman, terutama yang kontra terhadap seniman-seniman kiri di bawah Lekra. Pengaruh Noor di sana cukup kuat mengingat kedudukannya sebagai salah satu pejabat teras di Kodam Bukit Barisan. Dia sempat menjabat sebagai komandan di Komando Militer Kota Besar (KMKB) Medan, asisten panglima, hingga Kepala Staf Harian Penguasa Perang.

Salah seorang seniman Medan yang rapat dengan Noor ialah sastrawan Bokor Hutasuhut. Menurut peneliti kesusastraan Melayu Universitas Leiden Marije Plomp, M. Noor Nasution, misalnya, mendukung prakarsa Bokor dalam bidang teater. Dialah yang membayar ongkos sewa tempat pementasan, menulis skenario, dan membimbing aktor-aktor muda.

“Ketika Lekra semakin aktif di Medan, militer meningkatkan dukungan finansialnya kepada lawan-lawan Lekra sebagai upaya menandingi propaganda politik Lekra,” kata Marije Plomp berdasarkan wawancaranya dengan Bokor Hutasuhut yang termuat dalam artikel “Roman Picisan dan Pusat-pusat yang lain; Kehidupan Budaya di Medan 1950--1958” termuat di kumpulan tulisan Ahli Waris Budaya Dunia: Menjadi Indonesia 1950—1965 suntingan Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem.   

Baca juga: Sudharnoto, Seniman Lekra Pencipta Lagu Garuda Pancasila

Sebagai orang seni, Noor punya karakter yang menarik. Seperti dikenang Sjamsuddin Manan, Noor sosok yang supel dan senang bergaul. Keistimewaannya dalam pergaulan adalah kesenangannya mengobrol. Noor paling suka ngobrol, juga ramah kepada wartawan. Soal kelihaiannya bicara, Noor punya moto: “Bicaralah untuk bekerja, dan tetaplah konsekuen pada bicara.” Noor pernah membuat Panglima Djamin Gintings bersama perwira lainnya asyik mengobrol semalam suntuk. Kalau lagi asyik mengobrol, dia bisa meniru mimik bicara siapa saja. Anekdotnya tak pernah habis.

Sebagai pemuka yang cukup berpengaruh di Medan, Noor sempat dicalonkan jadi gubernur Sumatra Utara. Noor diperkirakan punya basis pendukung yang cukup kuat. Kelompok pemuda salah salah satunya, sebab Noor pernah memimpin Badan Kerjasama Pemuda Militer (BKPM). Juga dari kalangan agama, Noor disebut termasuk pecinta ajaran Fuqaha (ahli-ahli fiqih) dan Marhaban.

“Dari kalangan seniman dan budayawan pasti, karena dialah harapan utama. Tetapi timing-nya tak tepat, semua suara sudah lebih dulu dikantongi,” tutur Sjamsuddin Manan yang saat itu menjadi anggota DPRD-GR dan penanggung jawab Harian Mimbar Utama. Noor hanya disokong oleh dua anggota DPRD-GR, yakni Sjamsuddin Manan dan Sal Aman Nasution. Padahal, minimal mesti empat orang anggota yang mencalonkan.

Baca juga: Teuku Hasan Yang Terpaksa Jadi Gubernur

Setelah menyelesaikan tugas di Medan, Noor ditarik lagi ke Jakarta pada awal 1960. Kali ini, dia dipanggil untuk mengurusi Direktorat Perfilman di Departemen Penerangan. Pertautan Noor dan Bokor Hutasuhut pun berlanjut ketika keduanya sama-sama bekerja di Jakarta. Bokor merantau ke Jakarta dan menjadi cerpenis yang karyanya cukup diperhitungkan. Keduanya terlibat dalam Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KKPI) pada 1—7 Maret 1964. Bokor sebagai Sekjen KKPI sedangkan Noor duduk sebagai penasihat.

Di Direktorat Perfilman, Noor menjabat sebagai pimpinan sementara. Dia ditugaskan untuk meninjau kembali susunan organisasi dan personalia Direktorat Perfilman. Besar kemungkinan, Noor diplot untuk membersihkan lembaga itu dari kelompok sineas-sineas kiri yang progresif revolusioner.

“Ketika PKI lewat PAPFIAS mau menguasai perfilman di Indonesia, Noor Nasution merupakan seorang imbangan yang sengit,” lansir Bulletin Djembatan Kawanua, 15 Februari 1968.

Baca juga: Tujuh Pemeran Film Pengkhianatan G30S/PKI

Nama Noor juga turut disebut dalam dokumen dinas intelijen AS CIA. Dalam Daily Report Foreign Radio Broadcast, No. 41, 1966, semua film produksi Amerika yang sebelumnya dimiliki AMPAI (American Motion Picture Association of Indonesia) harus diserahkan kepada Direktorat Perfilman. Keputusan itu disampaikan kepada wartawan oleh Letkol M. Noor Nasution.

“Langkah tersebut diambil guna mencegah penyalahgunaan film-film Amerika yang kini banyak beredar di beberapa daerah, khususnya Jawa Barat,” sebut laporan tersebut.

Dari Direktorat Perfilman, Noor kemudian mengepalai Lembaga Kantor Berita Nasional Antara. Penunjukannya untuk memimpin kantor berita pemerintah itu terjadi setelah G30S meletus. Noor menjadi sosok penting dalam pembersihan orang-orang komunis dalam redaksi Antara. Noor memimpin Antara hingga wafatnya pada 9 Februari 1968. 

Baca juga: Menonton Indonesia dalam Film Berita

TAG

noor nasution tni ad seniman medan

ARTIKEL TERKAIT

Kanvas Kehidupan Fathi Ghaben Westerling Nyaris Tewas di Tangan Hendrik Sihite Menculik Pacar Westerling T.D. Pardede Sudjojono Dipecat PKI Djoko Pekik dan Trilogi Celeng Bandit Medan Berjuang dalam Perang Kemerdekaan Kota Medan dari Sarang Preman hingga Begal Helvetia, Tanah Tuan Kebun Swiss di Medan Menelusuri Jejak Chairil Anwar di Ibukota