Brigjen M. Noor Nasution, Perwira TNI eks Pemain Sandiwara
Sosok penting di balik pembersihan orang-orang komunis dalam lembaga pers pemerintah. Sebelum jadi tentara, dia menggandrungi seni wayang dan main sandiwara
Presiden Sukarno terganggu dengan eksposur media dalam menyorot Gerakan 30 September (G30S). Pemberitaan tentang pemotongan kemaluan jenderal-jenderal Angkatan Darat korban G30S adalah yang paling meresahkannya. Pun demikian dengan mata mereka yang isunya dicungkil oleh para pasukan penculik. Berita itu, menurut Sukarno, tidak sesuai dengan visum repertum dari para dokter yang memeriksa jenazah para jenderal tersebut.
Sukarno minta klarifikasi. Pada pembukaan Konferensi Para Gubernur Seluruh Indonesia di Istana Negara, 13 Desember 1965, dia menagihnya ke beberapa nama. Salah satunya kepada Letkol M. Noor Nasution.
“Saya tanyakan kepada Noor Nasution, Letkol, yang mengawasi Antara, dari mana kabar yang dimasukkan di dalam surat kabar ini. Kok di dalam surat kabar dikatakan bahwa jenderal-jenderal yang mati ini dipotong kemaluannya! Donder. Sebab, akibat daripada kabar bohong ini, Saudara-saudara, lebih jahat daripada fitnah. Sebab, akibatnya ialah, Saudara-saudara, rakyat kita menjadi gontok-gontokan, panas-panasan,” kata Sukarno dalam pidatonya termuat dalam Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Sukarno September 1965--Pelengkap Nawaksara suntingan Budi Setiyono dan Bonnie Triyana.
Baca juga: Berita Berujung Pidana
Pada kesempatan itu, Sukarno berpanjang lebar menyampaikan keluhannya. “Achmadi engkau bertanggung jawab atas penerangan. Achmadi juga terpukau diam saja. Saya tanya kepada Noor Nasution, dari mana, Noor Nasution cuma geleng-geleng-geleng kepala saja. Saya tanya kepada Ibnu Subroto, dari mana, belakangan saya melihat Ibnu Subroto pun tidak bisa menjawab,” cecarnya.
Dari ketiga nama yang disebut Sukarno, Noor Nasution berpangkat paling rendah. Mayor Jenderal Achmadi menjabat menteri penerangan. Brigjen Ibnu Subroto menjabat kepala Pusat Penerangan Angkatan Darat. Sementara Letkol Noor Nasution seperti disinggung di muka mengepalai Kantor Berita Antara. Penguasa Perang Daerah (Peperda) Jakarta Raya dan sekitarnya menunjuknya sebagai pemimpin umum Antara setelah G30S atau sekira Oktober 1965.
“Noor Nasution dikenal sebagai orang yang cukup gigih menentang politik dominasi PKI di bidang media massa,” sebut Bulletin Djembatan Kawanua, 15 Februari 1968.
M. Noor Nasution, dalam direktori Siapa Dia? Perwira Tinggi TNI AD yang dihimpun Harsja Bachtiar, disebutkan lahir pada 8 Desember 1921. Memiliki Nrp. 14405, namun tidak dijelaskan latar belakang pendidikannya. Hanya diterangkan bahwa dia pernah menjadi Ketua merangkap Dewan Pengawas Lembaga Kantor Berita Nasional Antara.
Sebelum menjadi tentara hingga mengepalai Antara, Noor Nasution merintis kiprahnya di jalur seni. Dalam Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di Sumatra Utara, yang disusun tim peneliti Depdikbud, Noor Nasution termasuk seniman terkemuka di Sumatra Utara pada masa pendudukan Jepang bersama Saleh Umar. Karena bioskop banyak yang tutup, maka banyak bermunculan kelompok sandiwara. Saleh Umar membentuk kelompok Sandiwara bernama “Yamato” sedangkan Noor Nasution membentuk “Kinsei Gedidan”. Di bawah pimpinan seniman Ahmad C.B. dibentuk pula kelompok sandiwara Asmara Dhana.
Menurut Sjamsuddin Manan -- Penanggungjawab harian Mimbar Umum dan pernah menjabat sebagai anggota DPRD-GR Sumatra Utara--, kemampuan Noor Nasution dalam bernyanyi-sandiwara barangkali hanya bisa disamai oleh Bing Slamet. Penonton kerap terpukau acap kali menyaksikan pertunjukannya. Semasa muda, Noor Nasution disebut-sebut mirip aktor film yang juga penyanyi kabaret asal Prancis Maurice Chevalier.
“Sebagai anak wayang, Bang Noor selalu mendapat peranan penggoda. Kalau Bachtiar Siagian dan Nulung Sirait sering menjadi anak muda dan Kak Bertha dan Miss Jem jadi nona, maka peranan penggoda selalu pada B.H. Hutajulu dan Bang Noor. Dan kalau Bang Noor menggoda, apalagi yang dicoba ‘gesernya; Kak Bertha, cepat sekali rasanya adegan itu berakhir. Begitu mengasyikan,” kenang Sjamsuddin Manan dalam Majalah Varia, Edisi 515, 28 Februari 1968.
Baca juga: Cinta Hoegeng-Mery Bermula dari Sandiwara Radio
Tapi, Noor Nasution tak lama jadi pemain sandiwara. Berbekal ijazah MULO, dia ikut Perang Kemerdekaan sebagai tentara. Noor lama bertugas di Palembang, Sumatra Selatan. Periode 1945-1950, dia menjadi komandan polisi tentara berpangkat kapten. Hingga 1954, Noor menjadi anggota staf komando Teritorium II di Palembang. Pada 1955, Noor ditempatkan di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Semula dia menjadi perwira Direktorat Kehakiman MBAD, kemudian pindah ke Dinas Penerangan AD.
Dari pusat, Noor dipindahkan lagi ke Medan pada 1958. Di jajaran Staf Komando Teritorium I itu, Noor sempat menjadi asisten panglima, kemudian menjadi Kepala Staf Harian Penguasa Perang. Meski memegang jabatan militer, Noor cukup dikenal dalam bidang seni dan kebudayaan di Medan. Noor termasuk berperan sebagai pelindung utama kegiatan seni maupun acara kebudayaan, termasuk pertunjukan-pertunjukan teater. Selain itu, dia juga royal mendukung seniman-seniman dalam berkarya. Sayang, waktu pencalonan gubernur Sumatra Utara, dia kalah dari koleganya sesama perwira militer Letkol Ulung Sitepu, yang disokong oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Noor bertugas di Medan hingga paruh pertama 1960. Dia kemudian dipanggil lagi ke Jakarta untuk mengurusi Antara. Tentu ada tujuan politis sehubungan dengan penunjukan Noor memimpin kantor berita milik pemerintah itu. Redaksi Antara yang sempat dipimpin Djawoto –kemudian duta besar Indonesia untuk Republik Rakyat Tiongkok– ditengarai berisikan banyak orang yang berafiliasi dengan PKI.
“Pihak tentara sudah lama mengetahui bahwa di kalangan Antara bercokol unsur komunis yang aktif sekali,” catat tokoh pers Rosihan Anwar dalam Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961--1965.
Baca juga: Dirikan Media, Cara Murba Tangkis Komunis
Dengan wewenang yang ada padanya, Noor membersihkan Antara selaras dengan kehendak rezim militer pimpinan Jenderal Soeharto. Harian Berita Yudha, 29 Oktober 1965 mewartakan, Letkol M. Noor Nasution memecat sejumlah pengurus redaksi Antara. Antara lain Supeno (Wakil Ketua I Dewan Pimpinan/Pimpinan Pengusaha), Suparto (anggota Desk Luar Negeri), Suwito (anggota Sekretariat Redaksi), dan Drs. Moerijono (Sekretaris Bagian Telekomunikasi). Pemecatan berikutnya menyusul terhadap karyawan-karyawan yang ada di jajaran bawah.
Menurut David Hill, Profesor Emeritus Murdoch University untuk kajian Indonesia yang juga penulis buku Pers di Masa Orde Baru, Antara ditempatkan di bawah Noor Nasution, yang diangkat Jenderal Soeharto untuk membersihkan lembaga kantor berita tersebut secara besar-besaran. Dari staf redaksi, 100 orang ditangkap. Dari 12 orang di meja sunting Nasional, yang dipandang sebagai kubu kuat golongan Kiri, hanya dua redaktur yang masih tinggal di tempat.
“Pembidikan wartawan komunis dan simpatisan demikian, di samping pembunuhan massal di berbagai daerah, secara keras menganiaya pembangun pers di Indonesia,” ulas Hill dalam Jurnalisme dan Politik di Indonesia: Biografi Kritis Mochtar Lubis (1922-2004) Sebagai Pemimpin Redaksi dan Pengarang.
Baca juga: Jurnalisme Kepiting Jakob Oetama
Tapi, Noor tidak lama membenahi Antara. Pada 9 Februari 1968, Noor meninggal dunia akibat sakit jantung. Padahal, ia berencana menjadikan Antara sebagai kantor berita yang efisien. Atas jasa-jasanya, Pejabat Presiden Jenderal Soeharto memberikannya kenaikan pangkat kehormatan satu tingkat: Brigjen (Anumerta) M. Noor Nasution.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar