Jurnalisme Kepiting Jakob Oetama
Jakob Oetama merintis Kompas bersama P.K. Ojong. Sepeninggal sahabatnya itu, Jakob menjalankan Kompas dengan cara “main aman”.
Jakob Oetama masih bekerja di majalah Penabur, mingguan berhaluan Katolik, ketika pertama kali jumpa dengan Petrus Kanisius Ojong. Perkenalan mereka terjadi pada 1958. Jakob mengenal Ojong sebagai pemimpin redaksi majalah bermutu dan populer Star Weekly. Jakob datang berguru kepada Ojong.
“Ketika terbetik berita Star Weekly akan ditutup, ia mendekati saya, apakah bersedia meneruskannya. Ia sempat ke Yogya, kami bersama menyaksikan Sendratari Ramayana di Prambanan,” tutur Jakob dalam Kompas, 2 Juni 1980. Jakob saat itu sedang menyelesaikan studi tahun terakhir pada Fakultas Sosial Politik Universitas Gadjah Mada.
Ojong lebih tua 11 tahun dari Jakob. Namun, mereka nyambung dalam bertukar pikiran karena sama-sama berlatar belakang sebagai guru. Pada awal 1960, Ojong sering bertemu dengan Jakob dalam gerakan asimilasi. Kemudian, mereka juga duduk dalam kepengurusan Ikatan Sarjana Katolik Indonesia. Pada 1963, Ojong dan Jakob mendirikan majalah ilmu pengetahuan Intisari.
Dua tahun kemudian bermodalkan uang Rp100.000 (sebagian dari keuntungan Intisari) pada 26 Juni 1965 lahirlah harian Kompas. Dalam susunan redaksi, Jakob Oetama menjadi pimpinan sedangkan nama Ojong tidak tercantum. Nama Ojong tabu untuk periode politik saat itu lantaran kurang disukai pemerintah. Awak redaksi Kompas mula-mula hanya berjumlah tujuh orang dan masih belum berpengalaman. Di tangan mereka, Kompas mengusung slogan “Amanat Hati Nurani Rakyat”.
Baca juga: Cara Orba Kuasai Berita
Dalam menjalankan Kompas, Jakob memusatkan perhatiannya dalam redaksional. Sementara itu, Ojong mengurusi bidang tata usaha. Kendati demikian, Ojong aktif menulis opini dalam kolom “Kompasiana” rubrik yang sangat digemari pembaca.
“Ojong dan saya sebenarnya sama-sama tidak suka tampil. Setelah 1966, kami melakukan pembagian kerja. Sebagai pemimpin redaksi, mau tidak mau saya yang kebagian untuk tampil,” kata Jakob seperti dikutip Helen Iswara dalam Hidup Berpikir Mulia: P.K. Ojong Satu dari Dua Pendiri Kompas Gramedia.
Pada 1968, tiras Kompas melampaui Sinar Harapan sehingga menduduki peringkat kedua. Sementara di peringkat pertama bertengger Berita Yudha, suratkabar yang berafiliasi dengan ABRI. Memasuki dekade 1970, tiras Kompas melampaui koran lain di Indonesia dengan jumlah mendekati 100.000 eksemplar per hari. Dari Jalan Pintu Besar Selatan, markas Kompas pindah ke Jalan Palmerah Selatan lengkap dengan percetakan sendiri.
Mesti diakui Ojong begitu gigih membangun citra dan reputasi Kompas. Baginya nama baik dan konsistensi tidak dapat ditawar. Untuk itu, kesejahteraan para wartawan maupun karyawan lainnya amat diperhatikan. Namun, Ojong bisa menjadi sangat tegas bahkan keras dalam menyikapi kelalaian. Jakob yang lebih kalem biasanya menjadi penyejuk.
“Kalau bukan karena Jakob, sejak awal saya sudah berhenti,” kata P. Swantoro kepada Helen Iswara. Swantoro merupakan wakil pemimpin redaksi dan menjadi orang ketiga dalam jajaran Kompas.
Baca juga: Indonesia Raya, Independensi yang Memihak
Badai datang pada 1978. Pada 19-20 Januari, Kompas menulis tajuk tentang gerakan mahasiswa yang menginginkan agar Soeharto jangan lagi mencalonkan diri sebagai presiden. Pada 21 Januari, Kompas terkena bredel alias dilarang terbit oleh pemerintah. Selain Kompas, koran yang kerap bersuara kritis seperti Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis dan Pedoman pimpinan Rosihan Anwar juga ikut dibredel. Pemerintah kemudian menawarkan pengampunan dengan serangkaian syarat yang patut dituruti.
Ojong yang saklek ragu-ragu menerima tawaran pemerintah. Adalah Jakob Utama yang pasang badan menandatangani “pengampunan” itu. Akhirnya, pada 6 Februari 1978, Kompas diperkenankan terbit kembali. Beberapa wartawan Indonesia Raya dan Pedoman masuk ke Kompas setelah koran mereka dipaku mati rezim Soeharto.
Menurut Jakob, dengan masih hidup, Kompas masih bisa bergulat; masih bisa bergerilya menegakkan demokrasi. Asalkan tidak menggadaikan suara hati saja. Meski terlihat pragmatis, pertimbangan Jakob pun dilandasi rasa kemanusiaan.
Seperti diungkap St. Sularto dalam Syukur Tiada Akhir: Jejak Langkah Jakob Oetama, Kompas saat itu mempekerjakan sebanyak 2.000-an orang karyawan. Mereka terancam kehilangan pekerjaan apabila koran ini dibredel. Belum lagi orang-orang yang memperoleh berkah dari produk Kompas secara tidak langsung. Penutupan akan menjadi bencana bagi mata pencaharian dan mengakibatkan masalah yang beranak pinak. Ojong kemudian menghormati keputusan itu.
Setelah luput dari badai bredel, keluarga besar Kompas dirundung duka. P.K. Ojong wafat pada 31 Mei 1980. Di depan jenazah Ojong, Jakob berkata, “Engkau terlalu pagi meninggalkan kami,” katanya. Meski demikian, mendiang Ojong sempat merumuskan cetak biru Kompas yang kemudian disempurnakan menjadi falsafah perusahaan.
Sepeninggal Ojong, tiras Kompas telah mencapai 312.589 eksemplar dan pada Desember 1980 mencapai 325.485 eksemplar. Selain itu, Kompas juga telah memancangkan tonggak di sektor bisnis lain. Orang tentu mengenal toko buku Gramedia, radio Sonora dan hotel Santika. Itu semua merupakan diversifikasi produk bisnis yang bernaung di bawah grup Kompas. Tanggung jawab redaksi dan bisnis selanjutnya beralih kepada Jakob Oetama.
Dengan fondasi kokoh yang dibangun bersama Ojong, Jakob kemudian membawa Kompas merajai industri media di Indonesia. Namun, Jakob menakhodai Kompas dengan siasat main aman khususnya dalam berhadapan dengan penguasa. Ibarat kepiting, ada saatnya maju, ada saatnya menyamping (mlipir), ada saatnya menarik mundur. Maka tidak heran, Kompas di bawah pimpinan Jakob identik dengan istilah "jurnalisme kepiting". Julukan itu setidaknya bertahan hingga rezim Orde Baru tumbang.
"Cara ini sulit dan makan hati, sebab dengan gampang dicap pengecut, sehingga tagline bisnis Kompas mata hati kata hati pun pernah dipelesetkan tinggal Kompas hati-hati," tulis Sularto.
Baca juga: Pers Mahasiswa Menggugat Orde Baru
Hati-hati. Ya, dengan kata itulah Jakob bisa membesarkan Kompas jadi media raksasa. Ketika banyak koran terpuruk dan gulung tikar, Kompas kian tak tertandingi. Dengan oplah rata-rata 500 ribu eksemplar perhari, Kompas merupakan koran dengan sirkulasi terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara, serta menempati peringkat lima dalam jajaran suratkabar papan atas dunia.
Di luar media cetak, Jakob Oetama melebarkan sayap bisnis Kompas ke berbagai lini usaha di bawah bendera Kompas Gramedia Grup. Media televisi dirambah dengan kehadiran Kompas TV dan sektor pendidikan dengan Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Sektor lainnya seperti properti, jaringan hotel yang tersebar di berbagai kota, lembaga bahasa asing, sampai tisu juga menggeliat. Bila ditotal, semuanya berjumlah 400 jaringan usaha.
Baca juga: Komik Strip Panji Koming Merekam Zaman
Kendati demikian, Jakob Oetama bukanlah pribadi yang tanpa cela. P. Swantoro –wafat pada 11 Agustus 2019– yang tergolong orang dekat Jakob mengungkapnya dalam pengantar biografi Jakob yang disusun St. Sularto. Selama bertahun-tahun mendampingi Jakob, Swantoro mendapati bahwa dia kadang kurang tegas, dan kebapakannya sering disalahgunakan oleh anak buah. Orang luar barangkali melihat Jakob hidup enak, serba cukup dan terhormat.
“Namun saya yang puluhan tahun menjadi pendampingnya mengetahui betapa berat hidup seorang Jakob,” ujar Swantoro.
Terlepas dari betapa berpeluh dirinya, Jakob menganggap keberhasilan Kompas perpaduan dari kerja sama, keberuntungan, dan rahmat Sang Khalik. Untuk yang terakhir itu, Jakob suka menyebutnya dalam bahasa latin Providentia dei (penyelenggaraan ilahi). Hingga sepuhnya, Jakob masih aktif di harian Kompas sebagai pemimpin umum. Dunia jurnalistik memang menjadi panggilan hidupnya.
Dari hari ke hari Jakob kian renta. Setelah setengah abad lebih membangun dan memimpin Kompas, Jakob akhirnya beristirahat dari semua jerih lelah kehidupan. Menyusul para sahabatnya Ojong dan Swantoro yang telah mendahului. Jakob Oetama wafat pada 9 September 2020 dalam usia 88 tahun.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar