Cara Orba Kuasai Berita
Banyak cara dilakukan Orde Baru untuk mengekang kebebasan pers, mulai telepon intimidatif hingga beredel. Tapi, perlawanan insan pers tak pernah mati.
Reformasi telah bergulir 19 tahun. Keran demokratisasi terbuka lebar, kebebasan pers mengalir deras. Media bermunculan bak cendawan di musim hujan. Kebebasan mengemukakan pendapat kini dijamin oleh pemerintah. Tetapi, masih ada sebagian kalangan yang merindukan masa-masa rezim Soeharto berkuasa. Slogan “enak jamanku, tho?” belakangan menyeruak.
Padahal, di masa Soeharto berkuasa pemerintah menerapkan kontrol penuh terhadap pers dan tak jarang represif. Kajian-kajian ilmiah memuat banyak tema berkonotasi negatif tentang Orde Baru. “Dulu kita menyebut Orde Baru dalam banyak nama. Yang paling mudah kita sebut rezim pengendali pers. Itu menunjukkan dengan jalas yang dipasung selama Orde Baru adalah demokrasi,” kata anggota Dewan Pers Nezar Patria dalam diskusi publik bertajuk “Dari Breidel Sampai Hoax: Mengenang Masa Kelam Kebebasan Pers Era Soeharto”, Rabu (24/5/2017) di Jakarta.
Menurut Nezar, kontrol rezim pada saat itu dapat ditengarai dari berita yang dipublikasikan suatu media. Tidak jarang media terpaksa menutupi suatu peristiwa untuk menghindari represi dari rezim. “Anda mungkin bisa menemukan berita tentang kasus Tanjung Priok 1984. Tetapi Anda tidak akan menemukan latar belakang peristiwa itu atau siapa yang terlibat saat itu,” lanjut pria yang ikut menurunkan rezim diktator itu.
Mulusnya kontrol itu terjadi karena ada aparat pengawas. Wartawan pada zaman itu seringkali mendapat telepon misterius yang memaksa suatu berita sensitif tidak dimuat. “Telepon itu bisa datang dari Departemen Pertahanan, Mabes TNI, atau Kejaksaan. Kalau sudah mendapat telepon semacam itu, mau tidak mau harus dituruti,” ujar peneliti senior Lembaga Studi Pers dan Pembangunan Ignatius Haryanto, yang jadi pembicara kedua diskusi yang diprakarsai oleh majalah sejarah populer Historia itu.
Rezim Soeharto melakukan kekangan terhadap pers melalui beberapa jalan, mulai dari izin penerbitan dan percetakan hingga menentukan pemimpin redaksi sebuah media. Salah satu yang paling kentara, pemberedelan pers. Cara tersebut sudah terjadi sejak paruh akhir 1960-an. Mayoritas media yang berafilisasi dengan PKI atau kelompok kiri lain mengalami pemberangusan. “Saya menghitung ada sekitar 75 kasus pemberedelan media massa selama Soeharto berkuasa. Misalnya, pada 1978 ada beberapa media pers mahasiswa yang diberedel. Juga pada 1980-an, ada Sinar Harapan dan Prioritas,” imbuh pria yang juga dosen di Universitas Multimedia Nusantara itu.
Namun, represi sedemikian rupa itu tak berarti membuat insan pers menyerah. Perlawanan-perlawanan kecil oleh insan pers tetap ada. “Kita punya banyak sekali julukan dan lelucon terkait dengan aparat yang kita benci pada waktu itu. Misalnya kepada Harmoko yang namanya kita sebut sebagai singkatan dari ‘hari-hari omong kosong’,” ujar peneliti yang pernah menjadi wartawan Majalah Forum Keadilan itu.
Perlawanan menguat saat Majalah Tempo, Detik, dan Monitor diberedel pemerintah pada 1994. Sebagai bentuk perlawanan, mereka antara lain mendirikan Aliansi Jurnalis Independen pada tahun yang sama. Sejak itu, insan pers menjadi lebih berani melawan represi rezim Soeharto.
“Periode 1994 hingga 1998 itu juga ditandai dengan munculnya pers-pers bawah tanah yang kemudian memberikan informasi alternatif,” kata Ignatius Haryanto. Jadi, masihkah kita bisa berpikir rezim Soeharto adalah masa yang nyaman?
Baca juga: Pers Perjuangan di Kalimantan
Tambahkan komentar
Belum ada komentar