Komik Strip Panji Koming Merekam Zaman
Komik strip Panji Koming bertahan selama 40 tahun. Merekam zaman sekaligus menjadi kritik dan satir.
“Menulis apa Lul?” tanya Panji Koming kepada Pailul yang sedang memahat batu.
“Sejarah,” jawab Pailul singkat.
“Sejarah Majapahit?” tanya Panji Koming lagi.
“Bukan, ini sejarah lima abad mendatang,” ujar Pailul.
“Tentang apa Lul?” Panji Koming penasaran.
“Tentang janji untuk tidak melupakan,” kata Pailul.
Setelah selesai, barulah diketahui Pailul memahat kalimat, ‘Selamat jalan Pak Swan.’
Pailul kemudian pergi sambil berkata, ”Asyik lho menulis sejarah.”
Begitulah percakapan Panji Koming dan Pailul dalam komik strip Panji Koming edisi Minggu, 18 Agustus 2019. Edisi itu dibuat untuk mengenang Polycarpus Swantoro, salah satu pendiri harian Kompas yang meninggal dunia pada 11 Agustus 2019. Pecakapan Panji Koming dan Pailul soal sejarah itu ternyata sekaligus menjadi karya terakhir Dwi Koen yang meninggal dunia pada 22 Agustus 2019.
Dwi Koendoro Brotoatmodjo atau akrab disapa Dwi Koen, lahir di Banjar, Jawa Barat, pada 13 Mei 1941. Ayahnya, R. Soemantri Brotoatmodjo merupakan seorang insinyur teknik. Sedangkan ibunya, R.R. Siti Soerasmi Brotopratomo adalah seorang perias pengantin.
Pada 1965, Dwi Koen bergabung dengan Televisi Eksperimen Badan Pembina Pertelevisian Surabaya. Kemudian pada 1972, di Jakarta ia bekerja sebagai ilustrator dan kartunis pada penerbit PP Analisa, majalah Stop dan Senang. Dwi Koen kemudian pindah ke biro iklan Intervisa Advertising.
Baca juga: RA Kosasih Bapak Komik Indonesia
Karier Dwi Koen semakin dikenal ketika ia mulai bekerja sebagai ilustrator di PT Gramedia pada 1976. Sejak 1979, ia mulai ditugaskan membuat komik strip untuk harian Kompas edisi Minggu. Maka, pada 14 Oktober 1979, lahirlah Panji Koming.
Bersama Pailul, Ni Dyah Gembili, Ni Woro Ciblon, Mbah Kakung, Kirik, dan Denmas Aryo Kendor, Panji Koming telah menjadi komik ikon harian Kompas. Komik strip berlatar Kerajaan Majapahit ini sebenarnya bukan hanya konten hiburan. Panji Koming telah menjadi media satir, kritik maupun penyampai kegelisahan yang berangkat dari kehidupan rakyat miskin.
Efix Mulyadi, kurator Bentara Budaya, pada Bincang-Bincang Menyoal Panji “Dwi Koen” Koming, Jumat, 22 November 2019 di Bentara Budaya Jakarta menyebut bahwa Panji Koming selalu peka terhadap isu-isu yang berkembang di masyarakat. Isu-isu tersebut kemudian diangkat ke dalam komik strip dengan gaya khas Dwi Koen.
“Selain dia menjadi bagian dari produk industri surat kabar, dia juga berada di wilayah perbincangan para pembacanya. Dekat sekali dengan para pembacanya. Ketika media masa sedang ramai kasus korupsi, muncul di situ dia. Ketika ada kasus heboh yang lain, tentang artis atau tentang tokoh politik yang lain, dia ada di situ. Dengan caranya sendiri,” ujar Efix.
Baca juga: Pelopor Jurnalisme Komik di Indonesia
Kedekatan dengan isu-isu yang relevan dengan kehidupan sehai-hari itulah yang membuat Panji Koming selalu dinantikan setiap Minggu.
“Banyak sekali yang membayangkan menjadi bagian yang sangat penting dari cerita Panji Koming. Saya menduga cukup banyak juga pembaca artinya rakyat Indonesia yang mengidentifikasi dirinya dengan kisah Panji Koming. Mereka akan ikut senang ketika apa yang menjadi kegundahan mereka terlampiaskan di kolom-kolomnya Panji Koming,” kata Efix.
Efix mengungkapkan bahwa Panji Koming memiliki semangat yang sama dengan Panakawan. Tokoh-tokoh Panakawan merupakan perwujudan dari rakyat kecil dan hanya ada pada cerita wayang Indonesia. Rakyat kecil, baik dalam Panakawan maupun Panji Koming, memiliki suara yang harus didengar oleh penguasa.
Baca juga: Melihat Surga dan Neraka Melalui Komik
Menurut Efix, Dwi Koen memiliki mental pemberani karena Panji Koming pertama kali terbit ketika rezim Orde Baru berkuasa. Pada edisi pertama, Dwi Koen menggambarkan seorang raja atau penguasa yang ditandu oleh dua pembantu. Meski harus melewati sungai hingga membuat mereka tenggelam, sang raja tetap bergeming. Panji Koming edisi pertama ini merupakan jeweran yang keras terhadap penguasa dan rakyat sekaligus.
“Ketika pemerintah otoriter sedang kuat-kuatnya, tidak ada yang pernah berani menantangnya. Tiba-tiba muncul kartun seperti itu. Saya kira itu bagian yang harus dihormati. Luar biasa,” sebutnya.
Beng Rahadian, dosen Desain Komunikasi Visual (DKV) Institut Kesenian Jakarta (IKJ) menyebut Panji Koming sebagai salah satu komik strip yang bertahan lama di surat kabar, yakni 40 tahun.
“Saya kira ini prestasi yang sulit dicapai siapapun. Bertahan di surat kabar dengan topik yang berbeda setiap Minggu, dan selalu mengungkapkan hal baru,” kata Beng.
Beng menyebut Panji Koming merupakan salah satu komik strip yang mewakili kenusantaraan. Panji Koming tidak hanya berlatar kerajaan, tapi juga mengakat isu-isu masa kini yang dikemas dalam versi masa lalu.
“Pak Dwi Koen dengan Panji Komingnya memberikan citra Nusantara yang established, yang tetap, yang tidak bisa dibandingkan dengan negara lain. Saya kira itu kelebihan kita,” sebut Beng.
Pada 1986, Dwi Koen menjalankan rumah produksi film dokumenter, animasi, dan iklan bernama PT Citra Audivistama. Kemudian pada 1990, ia membuat komik Sawung Kampret yang dimuat secara berseri di majalah HumOr. Komik Sawung Kampret kemudian diadaptasi ke dalam sinetron yang ia sutradarai sendiri pada 1996.
Pada 1999, karakter Panji Koming diterbitkan dalam bentuk perangko oleh PT. Pos Indonesia. Selang tiga tahun, pada 2002, Dwi Koen mendirikan Dwi Koen Studio untuk memproduksi kartun dan komik animasi.
Dwi Koen telah 40 tahun merekam zaman melalui Panji Koming, Pailul, dan kawan-kawan. Melewati rezim Orde Baru hingga Reformasi, Dwi Koen juga mencatatkan sejarahnya lewat komik strip satir itu.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar