TANGGAL 11 paro terang bulan Waisakha, bertepatan 23 April 682, Dapunta Hyang naik perahu dari pusat pemerintahannya, suatu tempat di tepi sungai, menuju sebuah kuil Buddha untuk merayakan Waisak. Dia berdoa untuk keberhasilan ekspedisi yang akan dilakoninya. Usai upacara, dia kembali ke pusat pemerintahannya untuk bersiap perang.
Sebulan kemudian, tanggal 5 paro bulan terang Jyestha (19 Mei 682), Dapunta Hyang kembali naik perahu dari daerah Minanga. Kali ini, dia bersama 20 ribu-an tentara dengan membawa 200 peti perbekalan. Armada perang ini akan merebut daerah bernama Mukha --p-.
“Boechari mulanya melokalisasikannya di daerah Batanghari, kemudian melokalisasikannya kembali di daerah Delta Upan sekarang. Di daerah itu ada sebuah kampung yang bernama Upang, letaknya 45 km sebelah timur Palembang,” tulis Bambang Budi Utomo dalam Pengaruh Kebudayaan India dalam Bentuk Arca di Sumatra.
Ekspedisi militer Dapunta Hyang itu berhasil. Tanggal 5 paro terang bulan Asadha (16 Juni 682), di sebuah tempat, Dapunta Hyang mendirikan perkampungan. Sriwijaya menang.
Kisah di atas merupakan bagian kecil dari isi terjemahan Prasasti Kedukan Bukit. Prasasti tersebut berhubungan erat dengan Sriwijaya, sebuah kerajaan besar di Sumatra abad ke-7 hingga ke-11.
Setelah abad ke-11, kisah Sriwijaya yang megah pun surut. Prasasti Kedukan Bukit yang terbuat dari batu sungai sepanjang 45 cm dan keliling 80 cm itu pun mulai tak dihiraukan orang. Ia berpindah tangan dari satu keluarga ke keluarga lain selama hampir 10 abad.
Waktu terus berlalu hingga tiba di satu masa awal abad ke-20, ketika seorang Belanda bernama Batenburg tak sengaja “menghidupkan” kembali Prasasti Kedukan Bukit. Batenburg berkarib dengan sebuah keluarga Melayu di Desa Kedukan Bukit, terletak di tepi Sungai Tatang, anak Sungai Musi, di kaki Bukit Siguntang. Bukit itu berada di barat daya Palembang sekarang. Di keluarga Melayu inilah Batenburg menemukan sebuah prasasti batu. Dia lalu melaporkan hal itu kepada Residen Palembang L.C. Westenenk.
Sang residen memberitahukan penemuan prasasti itu kepada ahli purbakala Frederik David van Bosch pada 30 November 1920. Bersamaan dengan penemuan Prasasti Talang Tuwo, penemuan Prasasti Kedukan Bukit lalu dimuat dalam laporan purbakala triwulan keempat tahun 1920.
“Menurut Westenenk, batu ini sudah lama merupakan milik keluarga itu yang memperlakukannya sebagai jimat pada waktu lomba dayung,” tulis George Coedes dalam “Prasasti Berbahasa Melayu Kerajaan Sriwijaya”, termuat dalam Kedatuan Sriwijaya.
Westenenk memang bukan ambtenaar biasa. Dia rajin menulis, khususnya temuan arkeologis di wilayahnya. Dalam karangan berjudul Uit het Land van Bittertong, terbit 1921, Westenenk menulis tentang Prasasti Talang Tuwo. Di karangan lain, Boekit Segoentang en Goenoeng Mahameroe uit de Sedjarah Melajoe, terbit 1923, dia menyebut dua penemuan prasasti lain di Palembang.
Saat itu, Prasasti Kedukan Bukit belum banyak diketahui khalayak. Isi Prasasti Kedukan Bukit baru diketahui dari penerjemahan yang dilakukan Philippus Samuel van Ronkel tahun 1924.
Ahli purbakala Nicolass Johannes Krom mengkaji Prasasti Kedukan Bukit dua tahun kemudian, lewat tulisan berjudul Hindoe-Javaansche Geschiedenis. “Prasasti itu dipahat pada 683 M di batu sungai yang ditemukan di kaki Bukit Siguntang, Gunung Keramat. Tak pelak lagi Prasasti Kedukan Bukit adalah sebuah dokumen amat penting bagi sejarah Sriwijaya, dan barangkali yang pertama yang pernah dipahat atas perintah salah seorang rajanya yang pertama,” ujar Coedes dalam artikelnya yang ditulis tahun 1930.
Meski sudah berumur lebih dari satu milenium, Prasasti Kedukan Bukit masih terlihat baik, kecuali ketiga baris terakhir yang hilang karena pecah. Prasasti dengan nomor D.146 ini sekarang dapat dilihat secara jelas di eksebisi “Kedatuan Sriwijaya: The Great Maritime Empire”, yang berlangsung di Museum Nasional, 4-28 November 2017. Batu prasasti itu berada dalam kotak kaca di sisi kiri pintu masuk eksebisi.
“Pameran sejarah seperti ini penting, karena kita harus kembali ke akar. Dan juga bagaimana sejarah ini bukan hanya menengok ke masa lalu, tapi menjadikannya ilham, inspirasi, untuk melangkah ke masa depan. Ini kan penting untuk membentuk rasa percaya diri bangsa ini,” ujar Christianto Wibisono, analis ekonomi gaek, yang mengunjungi hari pertama eksebisi tersebut, kepada Historia.