Masuk Daftar
My Getplus

Ragam Keluhan Rakyat Bali Kuno Pada Penguasa

Masalah yang diadukan masyarakat Bali Kuno kepada raja. Mulai dari pajak yang berat hingga tak ingin memuja bangunan suci.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 03 Okt 2019
relief Jataka di Candi Borobudur, Magelang memperlihatkan orang-orang yang tengah menghadap tokoh yang lebih tinggi derajatnya.

Rakyat mengadu pada penguasa sudah biasa dilakukan sejak era kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara. Keluhan mereka tercatat dalam prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh para raja.

Misalnya, masyarakat Bali Kuno pada abad ke-10 hingga ke-11 di bawah penguasa Paduka Haji Sri Dharmmodaya Warmmadewa (1011) hingga para penggantinya: Sang Ratu Sri Sang Ajnadewi (1016), Paduka Haji Sri Dharmmawangsa Wardhana Marakatapangkajasatanottunggadewa (1022-1026), dan Paduka Haji Anak Wungsu (1050-1078).

Baca juga: Cara Kuno Mengadu Pada Penguasa

Advertising
Advertising

I Wayan Ardika, Guru Besar Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, dalam tulisannya “Pengambilan Keputusan Raja-Raja Bali Abad X-XI”, di PIA III, menyebutkan bahwa paling tidak ada 19 prasasti yang memuat berbagai kasus di dalam masyarakat Bali Kuno. Berikut ini kasus-kasus itu:

Pengukuhan kembali prasasti

Kasus permintaan masyarakat untuk mengukuhkan kembali prasasti paling dominan di antara 19 prasasti. Sembilan prasasti di antaranya mencatat aduan masyarakat yang berharap agar prasasti di desanya dituliskan kembali di atas tembaga. Sebagian besar terjadi pada masa pemerintahan Raja Anak Wungsu, terutama berkenaan dengan prasasti yang merupakan anugerah dari raja-raja sebelumnya.

Contoh kasusnya dalam Prasasti Batunya A II disebutkan penduduk Baturan menghadap raja untuk memohon dengan hormat agar isi dan ketentuan yang termuat dalam prasasti anugerah raja yang dicandikan di Banu Madatu dikukuhkan kembali. Mereka meminta agar terkait kewajiban yang harus dipenuhi dan yang telah dibebaskan dituliskan pada tembaga.

Baca juga: Prasasti Berisi Kutukan

“Kabur dan rusaknya daun lontar yang memuat hak dan kewajiban penduduk rupanya sering menjadi penyebab timbulnya konflik dalam masyarakat,” tulis Ardika.

Sebagaimana muncul dalam Prasasti Kintamani E dari 1122 Saka (1200). Dikisahkan penduduk Cintamani memohon dengan hormat agar prasastinya dituliskan pada tembaga karena prasasti daun lontarnya sudah rusak.

Rusaknya prasasti daun lontar yang memuat hak dan kewajiban penduduk berpotensi disalahgunakan. “Mungkin para petugas pemungut pajak sengaja melanggar ketentuan yang telah ditetapkan sebelumnya,” tulis Ardika.

Baca juga: Hukuman Kutukan dari Kerajaan Majapahit

Seperti muncul dalam sebuah prasasti dari masa Raja Anak Wungsu. Ardika menjelaskan, para pekerja di daerah perburuan pada masa pemerintahan Raja Udayana telah diberi keringanan pajak, dari 9 suwarna mas (emas) menjadi 7 suwarna 7 masaka. Rupanya ketentuan itu dilanggar oleh pejabat kerajaan pada masa Raja Anak Wungsu. Akibatnya rakyat mengadukannya pada raja.

Keringanan pajak

Kasus menonjol lainnya adalah beratnya beban pajak. Prasasti Air Hawang (1011) memberitakan beratnya beban pajak tangkalik, laki langkah, kerja bakti, haywahaywan membuat penduduk meninggalkan desanya.

Ardika menjelaskan bahwa tangkalik adalah kuda, ternak yang penting bagi masyarakat Bali Kuno. Ia dikenai pajak khusus karena mungkin dijadikan alat transportasi.

Baca juga: Pejabat Pajak Menyeleweng

Laku langkah kemungkinan adalah pajak perjalanan. Sedangkan haywahaywan semacam pajak atau kewajiban yang harus diserahkan oleh penduduk kepada pemerintah.

Kasus serupa ditemukan dalam prasasti dari masa Sang Ratu Sri Sang Ajnadewi. Disebutkan ada yang datang mengadu pada sang ratu kalau penduduk desanya tercerai berai, pergi ke desa lain. Akibatnya, dari 300 kepala keluarga tersisa 50 kepala keluarga.

Baca juga: Sriwijaya Genjot Pajak

“Demikianlah karena mereka tidak mampu membayar pajak sepenuhnya, dan juga karena banyak kerja bakti dan segala macamnya, itulah yang menyebabkan mereka semua merasa keberatan,” catat prasasti itu.

Kala itu pajak tak dikenakan per kepala keluarga tapi dibebankan per desa atau per unit teritorial. Karenanya makin sedikit orang yang bermukin di suatu desa, makin berat beban pajaknya.

Membeli tanah milik raja

Adapula kasus penduduk yang berharap bisa membeli hutan perburuan milik raja. Misalnya dalam prasasti Bwahan B (1025) dari masa Raja Marakata. Hutan perburuan milik raja yang ingin dibeli masyarakat letaknya dekat dengan desa mereka. Hutan itu dibeli seharga 10 suwarna mas dan pilih mas-nya 10 masaka.

Baca juga: Hukuman Bagi Perusak Hutan

Dalam prasasti itu dijelaskan alasan penduduk membeli hutan raja karena mereka kekurangan lahan untuk mencari makan bagi sapi mereka dan mengambil kayu.

“Meningkatnya kebutuhan manusia akan sumber-sumber alam adalah satu sebab timbulnya keresahan dalam masyarakat,” tulis Ardika.

Memisahkan diri dari desa lain

Ada lagi kasus pemisahan desa yang tercatat beberapa kali dalam prasasti. Misalnya, pada masa pemerintahan Paduka Bhatara Guru/Paduka Sri Mahaguru (1324). Disebutkan Desa Campaga senantiasa diganggu oleh Desa Tumpuhyang. Mereka dirampok, rumah mereka dibakar, ternaknya ditawan oleh orang-orang Tumpuhyang.

Raja yang mengetahui hal itu akhirnya memisahkan kedua desa. Masing-masing diberi sebuah prasasti yang memuat hak dan kewajiban mereka.

Baca juga: Hukuman bagi Penjahat pada Zaman Kuno

Kasus lain pemisahan desa atas permintaan penduduk. Masyarakat di daerah pinggiran Danau Batar, yaitu Desa Bwahan, berharap menjadi desa yang berdiri sendiri, tak menyatu dengan Desa Kdisan. Cerita itu muncul dalam Prasasti Bwahan C (1146). Namun, tak diketahui dengan pasti mengapa Desa Bwahan ingin berpisah dengan Desa Kdusan.

Ingin dan tak ingin menjadi pemuja bangunan suci

Permohonan rakyat kepada penguasa juga termasuk hal yang berkaitan dengan kepercayaan. Misalnya, dalam Prasasti Dawan yang dikeluarkan oleh Raja Anak Wungsu pada 1053. Disebutkan penduduk Desa Lutungan menghadap raja untuk menyerahkan diri menjadi pemuja Bhatara di Antakunjarapada dan menjadi pemelihara bangunan suci di sana.

Sebaliknya, ada masyarakat yang memohon kepada raja agar diizinkan berhenti memuja Bhatara Mandul di Sukhawana. Permohonan yang dicatat dalam prasasti masa Anak Wungsu pada 1061 itu, diajukan oleh penduduk Pacanigayan.

Baca juga: Hak dan Kewajiban Raja sebagai Titisan Dewa

“Mungkin karena beratnya pajak yang harus mereka bayar, atau mungkin didasari fanatisme daerah, mereka tak perlu memuja Bhatara Mandul yang ada di Desa Sukhawana karena di desanya sendiri telah ada Bhatara Bukit Humintang,” tulis Ardika.

Raja menanggapi berbagai permohonan dan aduan dari rakyatnya. Prasasti membuktikan kalau raja senantiasa memperhatikan aduan masyarakatnya. Pun dari semua permohonan itu, raja-raja Bali Kuno rupanya tak bersikap sewenang-wenang. Mereka memusyawarahkannya dengan para pejabat tinggi kerajaan dan penasihatnya. Keputusan raja akan dianggap sah kalau telah didiskusikan dengan para pejabat tinggi lainnya.

Baca juga: Pemimpin Ideal ala Jawa

Bahkan dalam Prasasti Batur Pura Abang A dari masa Raja Udayana (1011) ditunjukkan bahwa sebelum keputusan diambil, pemerintah melakukan pengecekan ke lapangan.

“Karena itu perintah beliau agar memusyawarahkan dengan sang Senapati ser dan pemimpin di pakirakiran I jro terutama para pendeta Siwa dan Buddha… Kemudian beliau saling membantah tentang apa yang dipercayainya, hendak melihat penduduk di desanya,” catat prasasti itu.

TAG

bali pajak

ARTIKEL TERKAIT

Perlawanan Perempuan Nigeria Terhadap Kebijakan Pajak Rotterdam Pulangkan 68 Artefak Jarahan ke Indonesia Jejak Radius Prawiro dalam Reformasi Pajak Jenderal "Jago Perang" Belanda Meregang Nyawa di Pulau Dewata Pembantaian dan Penjarahan di Bali Selatan Raja Bali yang Digosipkan Punya Harem Datu Adil, Raja Tarakan yang Melawan Belanda Hukuman bagi Pejabat yang Memberatkan Rakyat dengan Pajak ABRI Masuk Desa Demi Golkar di Bali Pulangnya Keris Pusaka Warisan Puputan Klungkung