Arya Wiraraja menyarankan agar Wijaya menghamba pada Jayakatwang yang telah membunuh paman sekaligus mertuanya, Kertanegara. Jika nanti sudah dipercaya, kata Wiraraja, hendaknya Wijaya meminta hutan di daerah Trik. Nantinya orang-orang Madura yang akan membuat dan membersihkan hutan itu. Di dekat sana, ada kediaman orang Madura yang akan mendekat kepada Wijaya.
“Tuanku (Wijaya) minta diri bertempat tinggal di hutan Trik yang dibuka oleh orang-orang Madura,” kata Wiraraja, sebagaimana dikisahkan Pararaton.
Kisah pembukaan hutan itu pun mengawali berdirinya Kerajaan Majapahit oleh Wijaya yang kemudian digelari Kertarajasa Jayawarddhana (1293-1309). Kakawin Nagarakrtagama atau Desawarnana karya Mpu Prapanca menyebut Sri Nata Singasari atau Raja Kertawardhana membuka hutan yang luas di daerah Sagala. Adapun Raja Wijayarajasa atau yang disebut Prapanca dengan Sri Nata Wengker membuka hutan Surabana, Pasuruan, Pajang, mendirikan perdikan Buddha di Rawi, Locanapura, Kapulungan. Sedangkan Hayam Wuruk pun memerintahkan pembukaan ladang Watsari di Tigawangi. Alasannya untuk dijadikan ladang dan sawah.
Baca juga: Para Penjaga Hutan Zaman Kuno
Selain untuk keperluan peribadatan, pertanian, dan permukiman baru, ada alasan lain orang masa lalu membabat alas. Seperti disebutkan dalam Prasasti Kaladi (909) dari masa Mataram Kuno (Medang), sebagaimana dijelaskan ahli epigrafi Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti.
Atas permintaan Dapunta Suddhara dan Dapunta Dampi kepada raja Rakai Watukura Dyah Balitung, hutan araṇan di wilayah Samgat Bawaṅ yang memisahkan Desa Kaladi, Gayām, dan Pyapya dijadikan sawah swatantra (bebas pajak). Alasannya, hutan itu menyebabkan ketakutan. Masyarakat senantiasa mendapat serangan dari begal asal Mariwuṅ yang membuat para pedagang dan penangkap ikan merasa resah dan ketakutan siang malam.
“Maka disetujui bersama hutan itu dijadikan sawah swatantra (bebas pajak) agar penduduk tidak lagi merasa ketakutan,” jelas Boechari.
Berdasarkan prasasti itu pula diketahui bahwa pembukaan hutan harus atas seizin raja. Kerajaan kuno punya sanksi berat bagi mereka yang membabat alas secara liar.
Hukuman bagi mereka yang melanggar larangan itu nampak jelas pada masa Majapahit. Aturan terkait lingkungan ada dalam kitab perundang-undangan Majapahit atau yang disebut Agama atau Kutara Manawa.
Kutara Manawa adalah kitab undang-undang pidana. Namun di dalamnya pun terdapat pula hukum perdata. Berdasarkan susunan ulang yang dibuat Slamet Muljana dalam Perundang-undangan Majapahit, kitab itu terdiri dari 20 bab.
Baca juga: Hukuman bagi Penjahat pada Zaman Kuno
Pasal terkait lingkungan ditemukan dalam bab 5 tentang sahasa atau paksaan. Di Pasal 92 ada larangan menebang pohon sembarangan. Menebang pohon harus mendapat izin pemiliknya. Jika seseorang melanggar akan didenda empat tali oleh raja yang berkuasa. Jika hal itu terjadi pada waktu malam, dikenakan pidana mati oleh raja yang berkuasa. Pohon yang ditebang pun harus dikembalikan dua kali lipat.
Pada Pasal 247 bab 16 tentang Kagelehan atau kelalaian juga memuat ancaman bagi yang menebang pohon. “Jika ada orang menebang pohon, dia harus membayar dua kali lipat orang mati ditambah denda empat laksa,” tulis Slamet Muljana.
Pun setelah menjadi sawah dan ladang pengawasan pemerintah tetap diberlakukan. Dalam bab 18 tentang bhumi atau tanah, khususnya Pasal 260 dikatakan barang siapa membakar padi di ladang, tidak pandang besar-kecilnya, harus membayar padi lima kali lipat kepada pemiliknya. Itu masih ditambah denda sebesar dua puluh ribu.
Lalu pada Pasal 259 ada ancaman bagi siapapun yang membuat sawah terbengkalai. Disebutkan barang siapa minta izin untuk menggarap sawah, tetapi tidak dikerjakan sehingga terbengkalai supaya dituntut untuk membayar utang makan sebesar hasil padi yang dapat dipungut dari sawah yang akan dikerjakan itu.
“Besarnya denda ditetapkan oleh raja yang berkuasa sama dengan denda pengrusak makanan,” catat Muljana.
Kemudian ada pula Pasal 261 yang ditujukan bagi siapapun yang mempersempit sawah atau membiarkannya terbengkalai dan segala apa yang dianggap bisa menghasilkan makanan atau melalaikan binatang piaraan. Perbuatan itu dinilai dapat mengurangi produksi pangan.
“Jika perbuatan itu diketahui banyak orang, yang demikian itu diperlakukan sebagai pencuri dan dikenakan pidana mati,” lanjut Muljana.
Baca juga: Kebakaran Hutan Masa Majapahit
Selain aturan, penguasa masa itu pun mengangkat petugas khusus untuk mengawasi hutan. Dalam prasasti disebut Tuha alas atau Tuhālas (alas artinya hutan). Menurut Boechari mereka dapat disamakan dengan mantri kehutanan. Keberadaannya sudah ada sejak masa Mataram Kuno (Medang).
Boechari mengatakan jabatan tuha alas akan ditemukan di desa-desa yang punya wilayah hutan. “Jabatan di desa yang satu tak sama dengan di desa yang lain. Itu menyesuaikan keadaan geografi dan ekologi desa yang bersangkutan,” jelasnya.