PERKARA mengenai kasus pembunuhan sudah ada sejak dulu. Para penguasa, termasuk raja-raja di Nusantara, punya aturan berbeda-beda dalam menangani kasusnya. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VI tahun 1865, Kesultanan Yogyakarta punya peraturan tersendiri untuk kasus pembunuhan. Peraturan ini ditulis dalam Serat Angger Pradata Awal dan Serat Angger Pradata Akhir.
Kedua serat tersebut berkiblat pada peraturan Kerajaan Mataram. Akan tetapi Perang Jawa (1825-1830) telah mengubah tatanan politik di kerajaan-kerajaan pecahan Mataram Islam. Oleh sebab itu, Sultan Hamengkubuwono VI membuat peraturan yang ditulis dalam Serat Angger Pradata.
“Maka si Tumenggung Nitipraja, saya titipi suratku, sebab saya jadikan rakyatku jaksa di pradataku, saya perintahkan membenarkan (mengadili) kepada semua rakyatku yang bertengkar, itu si Tumenggung Nitipraja, engkau hendaklah menggunakan hati yang sungguh-sungguh dan yang bersih, serta ikhlas di dalam hati,” sabda Hamengkubuwono VI pada bagian awal Serat Angger Pradata.
“Dan teman-temanmu semua bernama bernama ‘Lawang Sarayuda’ itu saya perintahkan membenarkan (mengadili) kepada semua rakyatku yang bertengkar, kecuali yang naik ke (ranah) hukum, dan kecuali yang diakibatkan oleh kekuasaan, dan kecuali yang disebabkan (masalah) suami-istri (rumah tangga),” sambungnya.
Baca juga: Pembunuhan yang Menggemparkan Hindia Belanda
Dalam menghadapi kasus pembunuhan atau yang disebut sebagai rajapati, abdi dalem bernama Tumenggung Nitipraja bertanggung jawab untuk mengusut dan menetapkan hukumannya. Akan tetapi apabila tersangka pembunuhan atau korban mengajukan banding hingga ke kasultanan, maka keputusan hukuman yang akan dijatuhkan akan diambil sendiri oleh keraton dibantu Adipati Danureja. Adipati Danureja adalah Patih Dalem di Kasultanan Yogyakarta yang menjadi kepanjangan tangan sultan sejak tahun 1847-1879. Gelar Danureja saat itu adalah Danureja V.
“Adapun jika menggugat rajapati (pembunuhan) atau luka, yang pantas naik ke (ranah) hukum. Adapun yang tidak bisa selesai olehmu (Tumenggung Nitipraja), dengan engkau Adipati Danureja,” kata Sultan Hamengkubuwono VI.
Apabila tidak ditemukan sebab yang pasti mengenai pembunuhan, maka pejabat yang bertugas memberi hukuman adalah pangulu. Jabatan ini diberikan bagi seseorang yang bertugas mengurusi administrasi keagamaan di wilayah Kasultanan Yogyakarta. Hukuman yang akan diberikan tentu disesuaikan dengan syariat agama Islam.
“Pembunuhan dan luka/penganiayaan yang tanpa sebab, yang menghukum adalah pengulu, dan jangan ada rekayasa, dan jangan ada rayuan dengan suap,” demikian bunyi Bab 2 Serat Angger Pradata Awal.
Baca juga: Hukuman Bagi Pelaku Perselingkuhan
Bab 2 Serat Angger Pradata Awal menyebutkan lebih lanjut, sultan dan segenap pejabat kerajaan juga berhak menolak mengabulkan gugatan pembunuhan. “Adapun gugatan pembunuhan, yang tidak saya kabulkan, ini jenisnya, jika ada orang terluka atau meninggal, (karena) peperangan desa membela orang yang tidak mendapatkan perintah, (itu) gugatannya tidak dikabulkan,” kata Sultan Hamengkubuwono VI.
Terhadap seseorang yang mati dibunuh karena mendapat perintah, sultan menyarankan pihak keluarga waris mengajukan banding. Sultan sendiri yang akan memimpin pengadilan kasusnya.
Hukuman bagi orang yang terbukti melakukan pembunuhan ada dua. Pertama, dicambuk sebanyak 500 kali dan kedua, dibuang ke Hutan Lodaya atau Pantai Ayah. Hukuman itu hanya untuk kasus pembunuhan. Apabila terbukti ada tambahan kasus lain sebelum terjadi pembunuhan seperti pencurian atau pemerkosaan, maka hukumannya akan ditambah. Tambahan hukuman cambuk terdakwa bisa 200 sampai 500 kali.
Dalam mengadili suatu perkara pembunuhan, dihadirkan pula saksi-saksi pendukung baik dari pihak penggugat atau tergugat. Mereka harus jujur mengungkapkan perkara di depan pengadilan. Ada hukuman tersendiri jika saksi-saksi itu terbukti berbohong.
“Jika yang bersaksi ringkas tersebut ternyata berbohong, hendaklah kau denda dua puluh lima reyal, dan gugatannya tidak diterima,” kata Sultan Hamengkubuwono VI pada Tumenggung Natapraja.
Baca juga: Ada Oknum Polisi dalam Pembunuhan Berencana Marhaenis
Masyarakat dalam suatu wilayah yang tempat terjadinya pembunuhan juga diharuskan bersaksi pada pengadilan kasus terkait. Kesaksian mereka akan ditunggu hingga 40 hari. Lewat dari masa itu, maka didenda 25 reyal per orang di wilayah tersebut.
Oleh karena itu, orang-orang yang berada di wilayah tempat kejadian pembunuhan wajib mencari tanda-tanda siapa penjahat yang menganiaya korban dengan batas waktu 40 hari. Setelah lewat dan tidak menemukan titik terang, orang-orang dalam radius 40 meter di sekitar tempat perkara akan segera ditangkap dan didenda sebanyak 100 reyal. Para pejabat pemimpin desa seperti lurah dan bekel (kepala seksi pemerintahan di desa) juga mendapat hukuman denda 20 reyal. Hal ini dilakukan karena lurah dan bekel dianggap tidak bertanggung jawab sebagai pelindung masyarakat.
Sebuah perkara akan dinyatakan selesai tanpa hukuman jika ada orang menggugat namun orang yang tergugat tidak ada/ditemukan. Jika setelah melalui berbagai penulusuran dan pemeriksaan ternyata tidak ditemukan siapa pembunuhnya dan tidak jelas siapa yang harus diperkarakan dan ditangkap, maka kasus dinyatakan selesai.*