Para rama di Kinəwu yang termasuk wilayah Raņdaman mengeluh tak sanggup membayar pajak. Mereka diwajibkan menyerahkan katik 28 orang dan gawai 8 masa.
Mereka punya sawah luasnya 6 lamwit dan 3 tampah. Mereka lalu menghadap penguasa wilayah Randaman, Rakryan i Raņdaman pu Wama, untuk mohon izin meninjau kembali penetapan pajak atas sawah mereka.
Untuk mengajukan permohonan, para rama harus mengeluarkan biaya sebanyak 3 ķati (2,4 kg) dan 1 suwarna emas, seekor kerbau, masuya (?), 1 suwarna, 2 suwarna emas lagi yang diberikan kepada para juru semua. Sayangnya, sebelum memberi izin kepada para rama, Rakryan i Raņdaman keburu meninggal.
Maka para rama pun berencana menghadap raja Rakai Watukura Dyah Balitung. Mereka lalu diantar oleh pratyaya dari daerah Randaman, yaitu Rake Hamparan dan Pu Batabwan dan San Dumba. Mereka pun menyampaikan permohonan peninjauan kembali penetapan pajak kepada raja lewat perantara seorang pejabat Samgat Momahumah i Mamrata pu Uttara.
Untuk permohonan kali ini para pejabat Desa Kinəwu harus menyerahkan uang emas sebanyak 5 kati (4 kg) kepada raja dan lima orang rakryan, yaitu Rakryan i Wunkaltihan, Rakryan i Wəka, Rakryan i Sorikan, Rakryan i Kalunwarak, dan Pamgat Tiruranu.
Untungnya sang raja mengabulkan permohonan mereka. Keluarlah keputusan Raja Balitung yang menetapkan para rama di Kinəwu mempunyai sawah 6 lamwit dan harus menyerahkan jumlah pajak yang telah dikurangi, yaitu katik 12 orang dan gawai 6 masa.
Baca juga: Pejabat Pajak Menyeleweng
Adapun keputusan itu disaksikan oleh para panuran in kabandharyan. Boechari dalam “Ulah Para Pemungut Pajak di Jawa Kuno” yang terbit di Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti menjelaskan bahwa mereka secara harfiah adalah orang yang tugasnya mengurangi penghasilan rakyat.
“Dengan kata lain panuran adalah petugas pemungut pajak,” tulisnya. “Rupa-rupanya panuran in kabandharyan harus tahu berapa tepatnya pajak yang harus masuk dari tiap daerah watak, dan mungkin juga perinciannya dari tiap desa.”
Kisah aduan pejabat desa kepada penguasa itu muncul dalam keterangan Prasasti Kinəwu (907) dari masa pemerintahan Rakai Watukura Dyah Balitung, penguasa Kerajaan Medang (Mataram Kuno). Lewat prasasti ini, terlihat bagaimana prosedur pengajuan permohonan dari rakyat kepada raja. Para rama atau kepala wanua Kinəwu awalnya mengajukan protes kepada penguasa daerah watak (nayaka) yang membawahi wilayahnya, yaitu Rakryan i Randaman.
Wanua adalah satuan wilayah setingkat desa pada masa kini. Itu bisa terdiri dari satu desa maupun beberapa desa. Sementara watak adalah wilayah setingkat di bawah pusat. Wilayahnya terdiri dari beberapa wanua.
Baca juga: Sriwijaya Genjot Pajak
Pengajuan permohonan yang dilakukan para rama itu dilakukan dengan membayar sejumlah uang. Sayangnya, permohonannya tak sempat diselesaikan karena Rakrynn i Randaman keburu meninggal.
Tanpa menunggu sampai ada rakai pengganti di wilayah Randaman, para pejabat desa itu meneruskan protesnya kepada raja lewat perantara pratyaya dari wilayah Randaman.
Pratyaya, menurut Boechari, adalah pejabat yang biasanya mengurusi perbendaharaan kerajaan. Kali ini mereka harus membayar sejumlah uang yang lebih banyak dari yang dibayarkannya di tingkat watak.
Di ibukota kerajaan, para pejabat desa diterima oleh San Pamgat Momahumah, yaitu Pamgat Mamrata. Pejabat inilah yang mengantar mereka menghadap putra mahkota dan raja.
“Jika rakyat tidak mengajukan protes karena tidak tahu mana ukuran luas yang dijadikan dasar penetapan pajak, atau karena tidak diberi kesempatan untuk mengajukan protes, penarik pajak atau sang nayaka akan memperoleh keuntungan sepertiga dari jumlah yang dibayarkan rakyat,” jelas Boechari.
Menurut Boechari, ada kalanya pengaduan tak mesti sampai kepada raja atau putra mahkota. Misalnya, seperti yang dikisahkan dalam Prasasti Balingawan (891).
Dalam prasasti itu dikisahkan para pejabat Desa Balingawan memohon desanya dijadikan sima. Di desa itu sudah terlalu sering terjadi pembunuhan gelap dan pertumpahan darah. Bisa dibayangkan, warga kerap menemukan mayat pada pagi hari di sebuah tegalan di Gurubhakti, yang masih masuk wilayah desa mereka. Padahal pembunuhannya mungkin terjadi di desa lain. Namun, mungkin oleh si pembunuh, mayatnya dibuang di tegalan itu.
Baca juga: Hukuman bagi Penjahat pada Zaman Kuno
Sesuai dengan hukum yang berlaku kala itu, warga Balingawan-lah yang harus bertanggung jawab dan membayar dendanya. Sampai akhirnya mereka sudah tak mampu lagi membayar pajak.
Mereka pun mengajukan permohonan ke pemerintah. Namun, pada kasus ini cukup sampai kepada Rakryan Kanuruhan pu Huntu melalui tiga orang patih yang membawahi Desa Balingawan.
Rakryan Kanuruhan mengabulkan permohonan itu. Ia menetapkan sebidang tegalan di Gurubhakti di Desa Balingawan sebagai sima dengan ketentuan harus diadakan penjagaan keamanan di jalan yang menuju Desa Balingawan, karena rakyatnya selalu merasa ketakutan.
“Rupa-rupanya pada waktu itu ada gerombolan perusuh atau perampok yang mengacau Desa Balingawan dan daerah sekitarnya,” jelas Boechari.
Baca juga: Begal di Jawa Kuno
Ada lagi satu kasus yang masalahnya tak perlu sampai kepada raja. Ini dikisahkan dalam prasasti Ramwi dari 804 Saka (882). Isinya, para pejabat Desa Ramwi memohon kepada Rakryan i Halu pu Catura agar gawai-nya dikurangi dari 800 menjadi 400. Gawai ini adalah persembahan kepada raja yang dapat berupa tenaga kerja sukarela atau persembahan lainnya.
Dari sini bisa diketahui kalau pada masa kerajaan kuno di Jawa, rakyat mendapat kesempatan untuk mengadukan keluh kesahnya kepada raja. Kendati tetap ada hierarki yang berlaku.
“Raja-raja zaman dahulu memang tidak memerintah dengan sewenang-wenang,” kata Boechari.
Dengan berpedoman pada Kitab Niti, raja selalu memperhatikan nasib rakyatnya. Raja selalu siap memberi anugerah kepada kawula yang berjasa. Sebaliknya, ia juga mempunyai wewenang menjatuhkan hukuman kepada yang bersalah.