“... Dewa, Engkau harus membunuh mereka, mereka harus engkau bunuh. Jika mereka dalam perjalanan melewati ladang terbuka, semoga mereka digigit ular berbisa. Di hutan, mereka akan kehilangan arah, diserang harimau. Di air, mereka dilahap buaya, di laut mereka digigit ikan ganas. Jika mereka menuruni gunung mereka akan menabrak batu bergerigi, jatuh ke jurang berbatu, mereka akan meluncur ke bawah, hancur berkeping-keping. Jika mereka keluar saat hujan, semoga mereka disambar petir, jika mereka tinggal di rumah, mereka akan terbakar halilintar, mereka tidak akan punya waktu melihat apa yang menyambar mereka. Saat mereka berperang mereka diserang dari kiri, dari kanan, semoga kepala mereka terbelah, dada mereka robek, perut mereka sobek hingga ususnya terburai, otak mereka dijilat, darah mereka diminum, dagingnya dilahap, hingga kematian menjemputnya. Mereka akan dibawa ke neraka Rorawa, dan jika mereka lahir kembali, itu dalam keadaan buruk. Itu yang akan terjadi pada mereka yang berbuat jahat...”
Itulah hukuman kutukan mengerikan yang terdapat dalam Prasasti Tuhannaru dari Kerajaan Majapahit tahun 1323. Prasasti yang ditemukan di Sidoteko, Mojokerto itu, diterjemahkan oleh Jan van den Veerdonk dalam “Curses in Javanese Royal Inscriptions form Singhasari-Majapahit Period, 1222-1486 M,” jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (2001).
Selain Prasasti Tuhannaru, prasasti dari Kerajaan Majapahit yang berisi kutukan antara lain Prasasti Waringin Pitu, Prasasti Cangu, dan Prasasti Kudadu. “Ketika dibandingkan (antara beberapa prasasti yang mengandung kutukan, red), ada kesamaan besar dalam penggunaan dan struktur kata,” tulis Veerdonk.
Menurut Veerdonk, bagian kutukan dalam prasasti akan diawali dengan deskripsi persiapan upacara pengucapan kutukan. Setelah itu dilanjutkan doa kepada dewa tertentu dan makhluk gaib lainnya. Mereka inilah yang diyakini berada di manapun dan menjadi saksi setiap pelanggaran atas ketentuan prasasti. Baru kemudian tertera peringatan dan permohonan atas hukuman mengerikan bagi para pelanggar.
Menurut arkeolog Universitas Gadjah Mada, Tjahjono Prasodjo, kutukan (sapatha) dalam prasasti merupakan cara agar semua orang patuh pada keputusan penguasa. Sanksi yang dipilih ini memang lebih bersifat sakral kedewaan, bukan sanksi atau denda sebagaimana pada masa sekarang.
“Saya kira pada zamannya, ketika orang sangat percaya dengan kekuatan kutukan, itu adalah cara yang paling efektif untuk mengamankan dan melindungi kelangsungan sebuah penetapan atau piagam,” ujar Tjahjono kepada Historia.
Secara umum, Tjahjono menjelaskan, dalam prasasti yang ditemukan di Jawa, kutukan biasanya termuat dalam prasasti penetapan sima, yaitu tanah perdikan yang memiliki hak istimewa tidak dipungut pajak. “Kecuali ada satu atau dua prasasti yang memuat ketetapan hukum,” lanjutnya.
Selain di Jawa, pada abad ke-7/8, Kerajaan Sriwijaya pun mengeluarkan prasasti kutukan, seperti Prasasti Kota Kapur dan Telaga Batu. Namun, menurut Tjahjono, prasasti kutukan yang ditemukan di Sumatera itu ditujukan kepada pejabat kerajaan agar patuh kepada raja. Sementara dalam prasasti-prasasti di Jawa kuno kutukan diarahkan agar semua orang mematuhi keputusan yang telah dibuat penguasa.
Uniknya, Majapahit masih mengeluarkan sanksi kutukan ini, di saat kerajaan itu sudah memiliki kitab perundang-undangan sendiri. Dalam Kitab Agama misalnya, Majapahit mengatur tindak pidana, yang dikenakan berupa denda atau hukuman mati.
“Di samping undang-undang hukum pidana,” tulis Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, “terdapat juga undang-undang hukum perdata. Bab seperti jual beli, pembagian warisan, perkawinan, dan perceraian.”
[pages]