PADA 1943, Raja Gianyar Anak Agung Ngurah Agung digantikan oleh putranya yang jebolan sekolah tinggi hukum Recht Hogeschool Batavia zaman Hindia Belanda. Kendati Anak Agung Ngurah Agung tidak meninggal dunia, dia tak jadi raja karena dibuang penguasa Jepang ke Lombok.
Anak Agung Gde Agung, raja yang menggantikan itu, menjadi raja yang kuat di Bali setelah Jepang kalah. Dia adalah pemimpin milisi Pemuda Pembela Negara (PPN) yang terbentuk sekitar 1945. Milisi yang berubah haluan politik itu menjadi andalan sang raja.
“Tadinya bertujuan menjaga keamanan daerah Gianyar saja serta melindungi Puri Raja Gianyar, dengan mendadak sontak menyatakan bekerja sama dengan NICA,” kata Nyoman S. Pendit dalam Bali Berjuang.
Dalam Sisi Gelap Pulau Dewata, Geoffrey Robinson menyebut raja Gianyar yang pernah dua kali diculik pada 1945 itu memakai PPN untuk menindas kaum Republiken. Saking bencinya, kaum Repuliken mengejek PPN sebagai singkatan dari Penjilat Pantat Nederland.
Setelah Negara Indonesia Timur (NIT) dicanangkan, Anak Agung Gde Agung aktif di dalamnya. Dirinya bahkan menjadi perdana menteri NIT dari Desember 1947 hingga 1949. Saat memangku jabatan itulah beredar cerita tidak sedap tentang keluarganya.
“Raja memungut pajak yang terlalu tinggi, menuntut lebih dari yang diwajibkan oleh rakyatnya untuk membayar,” kata Nyonya MA Friederich-Roth di koran De Nieuwsgier tanggal 13 September 1948.
Raja yang dimaksud Friederich-Roth adalah Anak Agung Ngurah Agung, ayah dari PM NIT Anak Agung Gde Agung. Ketika dia menjadi raja pada zaman pendudukan Jepang, rakyat Nusantara sedang mengalami kesulitan ekonomi. Pungutan berlebih tentu amat memberatkan.
Tak hanya soal pungutan saja yang dibahas oleh Nyonya Friederich-Roth, tapi juga soal bagaimana raja yang dicap pro-Belanda itu memperlakukan para perempuan yang bukan orangtuanya. Friederich-Roth menggambarkan Anak Agung Ngurah Agung yang tidak menghormati perempun.
“Semua orang tahu bahwa dia mengklaim gadis-gadis baik untuk haremnya yang lengkap dan membunuhnya serta keluarganya ketika mereka menolak atau mencoba melarikan diri. Saat dia marah, Raja ini melempar merica ke mata gadis-gadis itu,” kata Friederich-Roth.
Tradisi patrilineal begitu kuat di banyak kerajaan di Nusantara sejak lama. Raja atau penguasa feodal lain punya relasi kuasa besar untuk memperlakukan perempuan yang menjadi rakyat jelata di wilayahnya. Apa yang dipraktikkan raja Gianyar itu merupakan salah satu contoh saja.
Raja, kata Friederich-Roth, sedang “menjunjung tinggi tradisi nenek moyangnya sebelum perang.”
Konon, menurut Friederich-Roth, Anak Agung Ngurah dibuang ke Lombok oleh pemerintah militer Jepang karena sikapnya yang kejam terhadap perempuan dan pungutan pajaknya yang kejam. Namun anaknya membantah, ayahnya dibuang karena menggalang perlawanan kepada tentara Jepang. Militer Jepang tentu tak kalah kejam terkait pungutan dan perempun di Indonesia.
Tulisan Friederich-Roth di De Nieuwsgier itu tentu membuat Raja Anak Agung Gde Agung yang sedang jadi perdana menteri NIT tidak terima. Koran Het Dagblad 22 tanggal September 1949 menyebut, perdana menteri sebagai mantan mahasiswa hukum itu mengajukan pengaduan pada tanggal 19 September 1948 dan menggugat Friederich-Roth. Ada denda 300 gulden yang harus dibayarkannya.
Het Parool tanggal 27 September 1949 memberitakan bahwa Friederich-Roth lalu diadili di Pengadilan Batavia. Hakim menjatuhinya hukuman denda 250 gulden atau penahanan dua puluh hari karena menghina raja Gianyar.
Punya banyak istri atau apapun sebutan perempuan untuk pelampiasan seksual adalah hal umum pada raja-raja nusantara. Meski istilah “harem” tak dikenal, raja selalu punya perempuan yang memuaskan birahinya. Perdana Menteri Anak Agung Gde Agung belakangan menceritakan ritual seksual ayahnya.
“Sudah menjadi kebiasaan ayah untuk memanggil salah satu istrinya setiap malam untuk memenuhi kebutuhan seksnya. Pada saat ayah berhubungan intim dengan satu istrinya kadang kala kami terbangun dari tidur. Oleh karena tempat tidur kami tidak dipisahkan dengan dinding, maka kami terpaksa menjadi saksi mata atas suatu pertunjukan yang seharusnya belum boleh kami lihat,” aku Anak Agung Gde Agung dalam Kenangan Masa Lampau: Zaman Kolonial Hindia Belanda dan Zaman Pendudukan Jepang di Bali.