Masuk Daftar
My Getplus

Hak dan Kewajiban Raja sebagai Titisan Dewa

Raja mengaku titisan dewa untuk melegitimasi kekuasannya. Dia pun harus memiliki sifat-sifat dewa.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 27 Jul 2019
Candi Kidal, di mana Raja Anusapati dari Singhasari didharmakan. (Wikipedia).

Seorang raja melegitimasi kekuasaannya dengan menganggap dirinya titisan dewa. Dengan menyandang gelar dari dewa, raja punya hak dan kewajiban, baik terhadap dewa maupun rakyatnya.

Riboet Darmosoetopo dalam Sima dan Bangunan Keagamaan di Jawa Abad IX-X TU menyebut raja diakui masyarakat sebagai penguasa tertinggi dalam negara yang berbentuk kerajaan. Ia adalah penjelmaan dewa di dunia.

“Raja mendapat puji-pujian setara dengan dewa,” tulis epigraf Universitas Gadjah Mada itu.

Advertising
Advertising

Puji-pujian kepada dewa atau raja terdapat pada manggala prasasti. Biasanya dewa penitis yang dipilih adalah Dewa Wisnu, sang pemelihara dunia atau Dewa Siwa, sang perusak dunia.

Baca juga: Raja Sebagai Penjelmaan Dewa

Sebagaimana Raja Balitung yang mengaku titisan Dewa Rudra, salah satu aspek Siwa. Dalam Prasasti Wanua Tengah III disebut Rudramurti. Sementara Raja Airlangga mengaku titisan Wisnu yang disebut dalam Prasasti Pucangan dari 1041.

Raja-raja juga suka menggunakan gelar dengan kata tunggadewa. Maksudnya untuk menyatakan dirinya sebagai wakil dewa di dunia. Misalnya, Raja Tulodong yang punya nama gelar Rakai Layang Dyah Tulodong Sri Sajjanasanmatanuragatunggadewa.

Dengan gelar yang membawa nama dewa, raja punya hak dan kewajiban. Dia punya kewajiban menyembah dewa dan patuh pada dharmanya. Dia juga harus menjamin kesejahteraan dan kebahagiaan rakyatnya.

Sementara hak raja adalah menarik pajak di wilayah kekuasaannya. Raja juga berhak menghukum orang yang dinyatakan bersalah dan memberi hadiah kepada orang yang berjasa.

Dalam Kitab Ramayana, Raja Rama mengajarkan astabrata kepada Wibisana, adik Rahwana. Astabrata adalah delapan sifat dewa yang sebaiknya dimiliki seorang raja.

Baca juga: Astabrata, Pemimpin Ideal ala Jawa

Seorang raja sebaiknya berperilaku seperti Dewa Indra, yaitu dewa hujan. Dia menghujani anugerah kepada rakyatnya.

Raja sebaiknya berperilaku bagai Dewa Agni, sang dewa api. Dia membasmi semua musuh dengan cepat. Raja hendaknya bersikap laiknya Dewa Yama, dewa kematian. Dia menghukum orang yang bersalah tanpa pandang bulu.

Raja semestinya meniru sifat Dewa Surya, dewa matahari yang mengisap air secara perlahan kemudian mencurahkannya ke bumi bagai hujan. “Maksudnya, dalam menarik pajak mestinya tidak membebani rakyat, caranya ditarik sedikit demi sedikit, hasilnya untuk kemakmuran rakyat,” tulis Riboet.

Raja hendaknya mencontoh sifat Dewa Waruna, dewa laut. Dia harus punya kecerdasan ketika berhadapan dengan situasi sulit. Raja juga harus seperti Dewa Wayu, dewa angin. Dia harus bisa menyusup ke mana pun untuk mengetahui keadaan rakyatnya.

Raja harus seperti Dewa Kuwera, dewa kekayaan. Dia harus bisa menikmati kekayaan miliknya. Sementara sebagai Dewa Soma, dewa bulan. Dia harus menciptakan kebahagiaan bagi seluruh rakyat.

Menurut Sudrajat, sejarawan Universitas Negeri Yogyakarta, konsep dewaraja semakin nampak pada masa pemerintahan Airlangga (1019-1043). Bukti arkeologisnya adalah arca perwujudannya sebagai Wisnu yang menunggangi pundak Garuda.

Dinasti berikutnya yang mengusung konsep dewaraja adalah Dinasti Rajasa yang berkuasa era Singhasari dan Majapahit. Ini nampak ketika Ken Angrok, sang pendiri dinasti, berperang melawan Kertajaya di Desa Ganter pada 1222.

Untuk mengalahkan musuhnya itu, Angrok menahbiskan dirinya dengan gelar Bhatara Guru. Saat wafat pun, Angrok memakai gelar Bhatara Siwa yang dicandikan di Kagenengan.

Baca juga: Mencari Candi Pemujaan Ken Angrok

Sudrajat dalam “Konsep Dewa Raja dalam Negara Tradisional Asia Tenggara” yang disampaikan dalam Workshop Mengajar dan Meneliti Asia Tenggara di Pusat Studi Asia Tenggara UGM (2012) menjelaskan setidaknya dimulai dari masa Airlangga, bangunan candi mendapat pemaknaan yang sedikit bergeser. Sebelumnya, di India khususnya, candi didirikan untuk beribadah memuja dewa tertentu.

“Pada abad ke-11 dan seterusnya candi biasanya dihubungkan dengan kematian,” tulis Sudrajat.

Candi, khususnya yang berada di Jawa Timur biasanya diperuntukkan bagi pendharmaan raja tertentu. Misalnya, Candi Kidal dibuat untuk Raja Anusapati, Candi Jago untuk Raja Wisnuwardhana, dan Candi Jawi untuk Raja Kertanegara sebagai Siwa-Buddha.

Pada masa Majapahit konsep dewaraja masih terus berlanjut. Di Candi Simping, Blitar ditemukan arca Harihara yang diduga perwujudan Kertarajasa, raja pertama Majapahit. Dia diwujudkan sebagai Siwa dan Wisnu dalam satu arca.

Baca juga: Asal Usul Raden Wijaya

“Bukan jenazah raja yang ada di candi itu, tetapi terdapat arca perwujudan raja dalam bentuk Dewa tertentu,” tulis Sudrajat.

Konsep dewaraja ditemukan pula di kebudayaan kuno Asia Tenggara sebagai upaya untuk mempersonifikasikan dewa dalam wujud raja.

“Ini berangkat dari konsep bahwa kekuasaan itu konkret, jangan mempertanyakan legalitas karena seluruh kekuasaan diturunkan dari sumber tunggal yang homogen,” jelasnya.

Konsep inilah yang dipahami oleh para raja di Asia Tenggara untuk menopang dan melanggengkan kekuasaannya.

Baca juga: Silsilah Penguasa untuk Berkuasa

TAG

Candi Kerajaan

ARTIKEL TERKAIT

Cerita di Balik Repatriasi Arca Brahma Jalan Panjang Arca Bhairawa dan Arca Nandi Pulang ke Indonesia Prasasti Damalung Wajib Dipulangkan, Begini Kata Arkeolog Pangeran Panji Tolak Politik Uang Sihir Api Petir dari Meriam Majapahit Epos Majapahit Lebih Seru dari Game of Thrones Kembali ke Sunda Kelapa Ziarahi Raja Ali Haji Cerita dari Negeri Segantang Lada Bermula dari Nazar