SEJAK Desember 2022, isu perbudakan menggema lagi. Pemicunya, permintaan maaf Perdana Menteri (PM) Kerajaan Belanda Mark Rutte atas dosa-dosa negerinya di masa kolonial. Tak hanya di Karibia dan Amerika Selatan, PM Rutte juga mengakui dosa perbudakan Kongsi Dagang Hindia Timur, VOC, di Asia pada 250 tahun silam.
“Di Asia, antara 660 ribu dan lebih dari satu juta orang – kami belum tahu angka pastinya, diperdagangkan di dalam wilayah-wilayah kekuasaan Kongsi Dagang Hindia Timur. Angka ini sungguh luar biasa. Penderitaan manusia di baliknya bahkan tak bisa dibayangkan,” kata PM Rutte atas nama pemerintah Belanda, 19 Desember 2022.
Dalam rangka kelanjutan berbagi pengetahuan, Rijksmuseum dan pemerintah Belanda juga berkolaborasi dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menghelat sebuah pameran bertajuk “Slavery: Ten True Stories of Dutch Colonial Slavery”. Pameran yang digelar pada 27 Februari-30 Maret 2023 di lobi tamu markas PBB di New York, Amerika Serikat itu menghadirkan 10 kisah yang diangkat dari beragam arsip PBB. Salah satunya tentang kisah sejumlah budak VOC yang dinamai “Van Bengalen”.
Baca juga: Permintaan Maaf Belanda atas Praktik Perbudakan di Masa Lalu
Maria Holtrop dalam artikel “Van Bengalen: Shipped to Batavia, Banda, Cape Town and Dokkum” yang termaktub dalam katalog Slavery: The Story of João, Wally, Oopjen, Paulus, Van Bengalen, Surapati, Sapali, Dirk, Lohkay mencatat sejumlah arsip VOC yang masih eksis tentang para budak yang diberi nama “Van Bengalen” itu merujuk pada orang-orang yang diperbudak dan berasal dari wilayah selatan India. Mereka diangkut dari Teluk Benggala ke Jawa hingga Tanjung Harapan.
“Arsip-arsip itu memberikan kita secuplik gambaran kehidupan orang-orang ini. Dari arsip-arsip VOC ini pula kehidupan mereka bisa sedikit direkonstruksi. Maart, Calistra, Amon, Horij, Francina, Januarij, Marij, Angela, Susana, Abraham, Augustus dan Baron van Bengalen semua hidup dalam perbudakan di tempat-tempat berbeda dan keadaan yang berbeda pula. Kesamaan mereka adalah Teluk Benggala yang jadi titik mula perjalanan mereka,” tulis Holtrop.
Habis Kebebasan Terbitlah Perbudakan
Sebagaimana di Nusantara (kini Indonesia) pada abad ke-17, perbudakan di selatan India hingga Arakan (kini Rakhine, Myanmar) lazim terjadi karena status sosial atau ekonomi. Banyak orang memilih menjadi budak dengan cara menyerahkan diri kepada para bangsawan lokal karena alasan utang atau menghindari kelaparan.
Tentu ada budak yang berasal dari tawanan perang usai penaklukan wilayah sejumlah raja lokal. Setelah kedatangan orang-orang Portugis, budak pun jadi komoditas tersendiri yang diperdagangkan para raja lokal kepada para pendatang Eropa.
“Menjadi lazim kemudian perbudakan didapat dari penculikan. Orang-orang Portugis dan Belanda lantas memanipulasinya demi keuntungan mereka. Para budak bernama Van Bengalen itu salah satu contohnya. Mereka orang-orang yang diculik dari desa-desa mereka di sekitar Sungai Gangga dan dibawa ke pasar budak di Pipely (kini Pipili) dan Arakan (kini Mrauk-U),” imbuh Holtrop.
Baca juga: Budak Bukan Manusia?
Sastrawan Dinesh Chandra Sen dalam babad Nasar Malum yang termaktub dalam Eastern Bengal Ballads Mymensing, Volume 4 mengisahkan, penculikan itu biasanya dilakoni kaum Harmads atau armada Portugis yang disewa jasanya oleh para raja lokal untuk menculik penduduk desa-desa sekitar muara Sungai Gangga. Dengan kedatangan VOC yang mendirikan koloni dan pos dagangnya di Pipely mulai tahun 1602, permintaan akan komoditas budak pun meningkat tajam.
Arsip VOC di Nationaalarchief Den Haag bernomor 1.04.02. inv. No. 1143, fols. 619-620 mencatat adanya perjanjian antara VOC dengan seorang raja Arakan pada tahun 1642. Raja mengizinkan pihak Belanda memperjualbelikan budak Benggala baru.
Holtrop menggarisbawahi lema “baru” di atas lantaran sang raja tak menghendaki para hamba sahayanya sendiri diperjualbelikan. Artinya, 88 budak baru yang dibeli VOC dari Arakan dan dikirim ke Batavia (kini Jakarta) pada 1642 merupakan para korban penculikan dan dijual di pasar budak di Arakan.
“Antara 1624 dan 1665, VOC membeli dan mengirim 26.885 orang dari Arakan ke Batavia. Banyak dari mereka yang tak selamat sampai tujuan. Tetapi di sisi lain situasi di Benggala sedikit berbeda. Tidak ada bukti VOC, sebagai perusahaan, terlibat langsung dalam perdagangan budak. Yang berperan besar justru para pelaku dan pejabat VOC secara pribadi, bukan atas nama perusahaan,” lanjutnya.
Baca juga: Konflik Perbudakan Belanda-Portugis dari Mata João
Mereka yang lantas diberi identitas nama belakang “Van Bengalen” itu tetap saja korban penculikan yang kemerdekaan hidupnya berakhir. Penderitaan dalam lika-liku perbudakan kemudian jadi pengalaman mereka.
Seorang dokter bedah Belanda yang berperjalanan ke pesisir Pipely punya penggambaran atas apa yang ia saksikan sendiri. Dalam catatan harian yang dibukukan pada 1676, Oost-Indische Voyagie, Schouten melihat bagaimana para korban penculikan orang-orang Harmads itu terenggut kebebasannya dan diperlakukan laiknya benda mati.
“Pagi itu, 22 Januari 1662, tampak 10 jelias (perahu dayung) mendekat. Siapapun bisa membayangkan rintihan dan tangisan mereka yang ada di perahu. Orang-orang yang malang yang hidupnya bebas dan nyaman dirampas untuk diculik, diikat, dipukuli, ditelanjangi, kemudian diperbudak. Mereka dijual kepada orang-orang Kristen, Moors (kulit berwarna), dan para pendosa lain untuk selamanya terpisah dari orang-orang terkasih ke seantero dunia,” tulis Schouten.
Mereka, imbuh Schouten, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak rata-rata dijual 20 rupee atau setara 10 koin mata uang rijksdaalder di pasar budak. Tujuannya adalah perkebunan atau pertambangan di Jawa, Banda, Tanjung Harapan, atau jadi pekerja domestik di Alkmaar dan Dokkum, Belanda. Praktik itu terus terjadi hingga abad ke-18.
“Maart van Bengalen salah satu korban para pelaku trafficking itu. Pada 21 April 1778 ia tercatat dijual di pelelangan publik di Hooghly (kini Hughli-Chuchura) kepada kepala dokter bedah VOC, Johannes Plusker seharga 80 sicca rupee. Nama ‘Maart’ mungkin berkelindan dengan sebutan bulan ‘Maret’, di mana di bulan itu ia pertamakali dibeli oleh seseorang sebelum Plusker,” sambung Holtrop.
Baca juga: Perbudakan di Bawah Koloni VOC
Lain lagi dengan kisah Amon van Bengalen. Jika nasib akhir Maart tak diketahui, nasib Amon masih terlacak. Ia jadi budak di kediaman seorang mardijker, Dirk Jansz. Amon diketahui pernah kabur tapi tertangkap. Imbasnya ia disiksa dan memilih bunuh diri di sebuah pohon dekat sebuah gudang rumah tuannya. Mayatnya baru ditemukan pada 1 Februari 1729.
Nasib nahas juga dialami Calistra van Bengalen medio 1765. Calistra dipekerjakan sebagai asisten rumah tangga (ART) di kediaman Willem Ferdinandus, seorang pengurus Portugeesche Binnenkerk (kini Gereja Sion) di Batavia. Calistra diketahui meninggal dengan banyak bekas luka akibat perlakuan majikannya.
Namun, tidak semua budak berakhir nestapa. Horij van Bengalen, misalnya. Dalam catatan VOC bertanggal 23 Januari 1682, ia dibebaskan dari statusnya sebagai budak. Itu terjadi setelah sebuah perusahaan pengolahan kayu di Pulau Onrust berkenan mengabulkan permintaannya agar Horij pensiun di masa tuanya sebagai orang bebas usai jadi budak pekerja sejak 1632.
Juga Francina van Bengalen, perempuan budak yang dibebaskan pada 6 Juli 1746. Sebelumnya ia budak dari seorang akuntan VOC di Batavia, Jacobus van Nes. Alasan pembebasannya masih jadi misteri, apakah ia dibebaskan untuk dinikahi atau benar-benar dibebaskan mengingat Francina masih sangat muda, 26 tahun.
Januarij van Bengalen bahkan diperbolehkan punya tempat tinggal bersama istrinya, Dina, dan kedua anaknya. Januarij tercatat merupakan budak milik pedagang perhiasan di Batavia, Hendrik Rennebaum. Januarij punya keahlian sebagai pengrajin perak dan jadi tulang punggung bisnis Rennebaum bersama dua budak pengrajin lainnya, October van Boegies dan Julij van Soembawa, pada kurun 1775-1780.
Di Kepulauan Banda, seorang pendeta bernama François Valentijn dalam buku hariannya kurun 1724-1726, Oud en nieuw Oost-Indiën, vervattende een naaukeurige en uitvoerige verhandelinge van Nederlands mogentheyd in die gewesten, mencatat pertemuannya dengan seorang budak bernama Marij van Bengalen. Ia merupakan seorang budak tuan tanah bernama Lucas Claasz de Jong.
Baca juga: Kraspoekol dan Kontradiksi Dirk dalam Perbudakan
Dari kesaksian Marij, Valentijn mendapatkan seluk-beluk kehidupan para budak di perkebunan pala di Banda. Setidaknya, catat Valentijn, perkebunan De Jong itu digarap 90 budak yang bisa menghasilkan panen berupa 12,5 ton buah pala dan tiga ton bunga pala per tahun.
“Penggambaran pekerjaan yang dilakukan di Banda ibarat cerminan perkebunan di Amerika, termasuk tentang bagaimana budak-budak itu diperlakukan. VOC memperkenalkan sebuah sistem perkebunan, di mana seorang budak seperti Marij dipaksa bekerja sampai mati,” ungkap Valentijn.
Nasib Angela van Bengalen jauh lebih beruntung. Menjadi budak milik Pieter Kemp di Batavia, pada 1656 ia dan ketiga anaknya dibawa Kemp ke Cape Town ketika ingin pulang kampung. Di Kaapkolonie, sebuah koloni VOC di Tanjung Harapan (Afrika Selatan), ia lalu dijual kepada perwira VOC Jan van Riebeeck.
Angela dan ketiga anaknya lalu berganti pemilik, dari Van Riebeeck ke Abraham Gabbema. Pada 1666, Gabbema yang bersimpati pada kondisi Angela, memutuskan untuk memerdekakannya. Sebagai perempuan merdeka, Angela kemudian dinikahi seorang Belanda bernama Arnoldus Willemsz ‘Basson’ van Wesel pada 1696. Angela menjadi janda kaya ketika Basson wafat dengan mewarisi harta 6.495 gulden.
Budak perempuan lain, Susanna van Bengalen, juga tercatat berakhir di Cape Town. Bedanya, Susanna dikirim ke Cape Town via Batavia pada 1658 sebagai hukuman.
Sebelumnya, Susanna diperlakukan dengan buruk. Satu telinganya dimutilasi hingga ia mendapat julukan “Susanna Een Oor” atau Susanna “si Satu Telinga”. Ia juga diperlakukan dengan kejam oleh seorang majikannya yang marah karena Susanna melahirkan Elsje, seorang bayi Mestizo (campuran kulit hitam-Eropa). Ia pun mendapat hukuman keji: payudaranya dimutilasi dan ditenggelamkan. Tak diketahui lagi bagaimana nasib sang bayi.
Baca juga: Suramnya Perbudakan Belanda di Suriname
Sementara, nama Augustus van Bengalen jadi salah satu yang paling dikenal. Pasalnya, ia jadi satu dari sedikit budak “Van Bengalen” yang pernah tergambar sosoknya dalam sebuah ilustrasi. Catatan bertanggal 18 Agustus 1789 mengungkapkan, Augustus merupakan pelayan kesayangan seorang pemilik perkebunan anggur di Cape Town, Hendrik Cloete.
“Dalam sebuah sketsal kecil, ia berdiri dengan gagah mengenakan busana pelayan domestik, menggenggam sebuah pipa panjang. Diperkirakan ia berusia 15-25 tahun ketika ilustrasinya dibuat (oleh Cloete),” tambah Holtrop.
Sementara di Dokkum, Belanda, terdapat nama Baron van Bengalen. Ia dibawa dari Batavia ke Dokkum via Cape Town pada 1689 sebagai “budak khusus”. Pemiliknya, Gualther Zeeman, merupakan seorang pejabat tinggi VOC yang mengajukan izin khusus membawa sejumlah budak ke negeri Belanda yang notabene melarang praktik perbudakan. Baron van Bengalen dan istrinya, Rosette van Sambauwa, termasuk yang dibawa.
“Zeeman mengajukan permintaan membawa Rosette van Sambauwa, Baron van Bengalen, Grietje van Tominij, Michel Cochin, Matij van Punto de Gale, Martha van Makassar, Calamatacke, dan seorang budak perempuan yang baru dibeli di Cape Town, untuk dibawa demi ikut merawat anak mereka yang masih bayi di Belanda,” tulis Holtrop lagi.
VOC mengabulkan dengan “imbalan” 68 rijksdaalder per budak untuk menambah kas VOC. Nasib Baron dan istrinya tak diketahui lagi ketika sudah tiba di Belanda, kecuali tercatat Baron dan Rosette punya anak, Filander van Baron, yang lantas “mengikuti jejak” orangtuanya sebagai pelayan domestik.
Baca juga: Cerita Perbudakan dari Arsip-Arsip VOC