Masuk Daftar
My Getplus

Konflik Perbudakan Belanda-Portugis dari Mata João

Pelarian budak Portugis yang dimanfaatkan Belanda. Tetapi akhir hidupnya lenyap tak tentu rimbanya.

Oleh: Randy Wirayudha | 03 Mar 2023
Kisah tentang budak bernama João Mina turut diusung dalam pameran bertema perbudakan di markas PBB (Rijksmuseum)

JOÃO. Nama itu begitu umum diberikan orang-orang Portugis pada budak-budak mereka di Hindia Barat pada abad ke-17. Nama João sendiri berasal dari bahasa Ibrani, John, yang berarti Tuhan Maha Pengasih. Namun ketika seorang budak bernama João tertangkap Belanda di Hindia Barat, namanya acap berubah jadi Joan.

Salah satu budak bernama João punya cerita populer, namanya João Mina. Pada 4 Oktober 1646, pelarian budak dari salah satu wilayah capitanias –atau provinsi kolonial Portugis– ke wilayah Belanda di Brasil itu ditangkap dan diinterogasi otoritas Kongsi Dagang Hindia Timur Westindische Compagnie (WIC).

Dia dicatat dengan nama Joan Mina. Nama belakang Mina, tulis Stephanie Archangel dalam “João: Caught in the Crossfire in Dutch Brazil”, yang termaktub di katalog Slavery: The Story of João, Wally, Oopjen, Paulus, Van Bengalen, Surapati, Sapali, Dirk, Lohkay, juga umum diberikan pada budak-budak yang lazimnya datang dari pusat perbudakan di Elmina, Pantai Emas, pesisir barat Afrika (kini pesisir barat Ghana). Ia lantas dijadikan komoditas budak ke Hindia Barat.

Advertising
Advertising

“Sebuah koleksi surat-menyurat di arsip WIC berisi 76 laporan wawancara dengan 110 pengungsi (budak, red.), salah satunya João Mina. Laporan-laporannya mengungkapkan bagaimana João dan para pelarian dalam posisinya bergerak secara strategis antara dua pihak yang berkonflik. Laporan interogasinya dan beberapa sumber sejarah lainnya memberikan kita secuplik insight ke dalam hidup João,” ungkap Archangel.

Baca juga: Untung Surapati Kunjungi New York

Oleh karenanya, sosok João kemudian dikemukakan kembali dalam sebuah pameran tentang perbudakan bertajuk “Slavery: Ten True Stories of Dutch Colonial Slavery” yang dihelat Rijksmuseum, pemerintah Belanda, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pameran yang digelar di lobi tamu markas PBB di New York, Amerika Serikat sepanjang 27 Februari-30 Maret 2023 itu terbuka untuk umum, sebagai kelanjutan pameran serupa di Amsterdam, Belanda pada 2021.

Sosok João hanya satu dari 10 figur yang ditampilkan dalam pameran tersebut. Masing-masing punya kisah dalam sistem perbudakan trans-Atlantik yang dilakoni para kolonialis Belanda, baik di Batavia (kini Jakarta) oleh VOC maupun di Mauritsstad (kini Recife) di Hindia Barat oleh WIC.

“João, Wally, Oopjen, Paulus, kaum Van Bengalen, Surapati, Sapali, Tula, Dirk, dan Lohkay hanya 10 dari jutaan orang yang hidup dalam sejarah 250 tahun kolonialisme Belanda. Melalui mereka, Rijksmuseum berharap bisa mempromosikan gambaran yang lebih luas terkait leluhur kita bersama: mereka yang jadi bagian dari sistem, mereka yang menderita karenanya, dan mereka yang membantu mengakhirinya. Kisah hidup mereka menginspirasi cerminan tentang masa lalu, saat ini, dan masa depan,” tulis Eveline Sint Nicolaas dan Valika Smeulders dalam “Slavery: An Exhibition of Many Voices” di katalog yang sama.

Setelah digelar di Amsterdam pada 2021, Rijksmuseum berkolaborasi dengan PBB menggelar pameran serupa di New York (Rijksmuseum)

Mengulik Isi Perut Musuh dari Kesaksian Budak

Untuk urusan militer, pada abad ke-17 VOC atau WIC lazim menyewa jasa perwira senior sesama bangsa Eropa. Zacharias Wagener asal Jerman salah satu yang disewa. Wagener yang hobi flora dan fauna eksotis dari negeri-negeri baru, pada Medio 1641 menuliskan catatan yang ia bukukan dengan tajuk Thierbuch (terj. Book of Animals).

Namun, di buku itu ia tak hanya mencatat hewan ataupun tanaman tapi juga suasana perbudakan. Lebih tepatnya suasana sentra perbudakan Jodenstraat di Mauritsstad, tempat ia bertugas dari 1637 hingga 1641.

Lantaran bisa melukis, Wagener mengabadikan apa yang ia lihat dengan lebih detail lewat ilustrasi berwarna cat air di bukunya. Wagener memperlihatkan sebuah alun-alun di Jodenstraat yang terdapat banyak orang Eropa dengan tongkat kayu, beberapa di antaranya tengah berbincang dengan sesama, berikut barisan orang Afrika yang digiring ke pasar budak setelah tiba dari pelayaran melintasi Atlantik. Barisan orang Afrika itu hendak diperiksa, dijual, dan dipekerjakan di perkebunan-perkebunan gula.

“Kurang lebih seperti itu yang dialami João Mina sebelumnya, sebagaimana yang juga ia katakan dalam laporan interogasi pada 1646. Tepatnya dari mana João berasal, mustahil dilacak lagi. Yang bisa diketahui adalah dia dijual sebagai budak di Elmina karena WIC menggunakan toponim ‘Mina’ bagi orang-orang yang datang dari Teluk Guinea di Pantai Emas. Yang bisa diketahui lagi adalah, João, seperti kebanyakan budak, harus lebih dulu melewati rute panjang di pedalaman sebelum digelandang ke kapal-kapal dagang Eropa,” tambah Archangel.

Baca juga: Suramnya Perbudakan Belanda di Suriname

Para interogator WIC tak berminat melacak riwayat João, mereka hanya tertarik menggali informasi sebanyak-banyaknya dari pandangan mata dan ingatan João tentang Portugis, yang berbagi wilayah dengan Belanda di Brasil. Informasi João berguna untuk mengintip “isi perut” militer maupun sistem perbudakan dan perdagangan Portugis.

Dalam Geschiedenis van de WIC (1621-1790), Sejarawan Universitas Leiden Henk den Heijer mencatat, pendudukan WIC di beberapa wilayah Brasil dari 1630 hingga 1654 adalah imbas dari Perang 80 Tahun (1566-1648) antara Republik Belanda dan Spanyol. Portugal kala itu masih bagian dari Union Ibérica yang dikuasai Spanyol. Oleh karenanya, Portugis dianggap musuh oleh Belanda. Perang itu menjalar ke wilayah-wilayah koloni dan pada 1630 WIC merebut kota-kota pesisir Olinda (Pernambucano) dan Recife, serta Kepulauan Antônio Vaz di timur laut Brasil.

“Seiring waktu WIC juga merebut sejumlah capitanias Portugis. Pada 1635, WIC sudah menguasai pesisir pantai sepanjang 600 kilometer yang membentang dari Cabo de Santo Agostinho sampai Rio Grande dan di dalamnya didirikan banyak perkebunan dan pengolahan gula,” tulis Den Heijer.

Ilustrasi sentra perbudakan di Mauritsstad karya Zacharias Wagener (Het Mauritshuis Den Haag)

Dalam kurun 10 tahun kemudian, Portugis dan Belanda mencapai gencatan senjata dengan ditandatanganinya Traktat Den Haag pada 1641. Akan tetapi realitanya, perdamaian itu hanya terjadi di Eropa. Di wilayah koloni di Afrika maupun Amerika Selatan, perang-perang gerilya masih merecoki kegiatan ekonomi masing-masing pihak.

“Wilayah-wilayah Belanda masih acap diserang oleh moradores (para pemukim Portugis) yang pasukan gabungannya kombinasi antara serdadu Portugis, pribumi Brasil, dan budak-budak Afrikanya. Tak sedikit pula budak-budak Afrika yang desersi dan melarikan diri hingga bermukim di hutan rimba. Mereka disebut kaum Maroons. Lainnya banyak yang kabur ke wilayah WIC, di mana beberapa di antaranya dipaksa jadi serdadu bagi pihak Belanda untuk memerangi Portugis,” ungkap sejarawan Inggris Sir Charles Ralph Boxer dalam The Dutch in Brazil, 1624-1654.

Baca juga: Budak Bukan Manusia?

João adalah satu dari sekian bekas budak di wilayah Portugis yang melarikan diri ke wilayah WIC. Arsip “Oude West-Indische Compagnie” bernomor 1.05.01.01 yang terdapat di Nationaarachief (Arsip Nasional Belanda) menyebutkan laporan interogasinya. “Pemeriksaan dilakukan pada 4 Oktober 1646 dari seorang (pelarian budak, red.) kulit hitam Joan Mina milik Gabriel Castanio,” kata arsip tersebut.

Sang interogator yang tak tertulis namanya di arsip itu, mengorek “isi perut” Portugis, mulai dari soal militer, suplai, hingga kondisi perdagangan gula di koloninya.

Catatan interogasi João Mina (kiri) dan wilayah koloni WIC di Brasil (Koninklijke Bibliotheek/Repro Katalog Slavery)

Ia bisa melarikan diri dari sang pemilik, Gabriel Castanio, ketika perkebunan tempat ia bekerja diserang serdadu WIC. João dalam arsip itu mengatakan kepada interogatornya, ia bersembunyi di sebuah lavrador (gudang pengolahan gula kecil) di Cabo de Santo Agostinho sejak melarikan diri pada medio September 1646. Dari sana, ia melintasi hutan selama 15 hari untuk sampai ke kota kecil Mingao, tempat ia tepergok serdadu Portugis yang menembak kakinya.

Meski begitu, João tetap mampu melarikan diri hingga menghilang dalam kegelapan malam ke hutan. João sampai di wilayah WIC pada 4 Oktober 1646 dan langsung ditahan untuk diperiksa.

“João juga ditanya, apakah sepanjang perjalanannya ia melihat perwira artileri angkatan laut, Sigismund von Schoppe. João hanya menjawab bahwa ketika terdengar serangan yang menggunakan meriam, semua pasukan kulit putih, cablocos (campuran Eropa-pribumi Brasil) dan mulattos (campuran Eropa-Afrika) mengosongkan perkebunan untuk bergerak ke pesisir pantai,” sambung Archangel mengutip arsip itu.

Baca juga: Yang Merdeka dan yang Melawan

Tentang suplai militer Portugis, João hanya ingat bahwa logistik pangannya hanya berupa penjatahan farinha (tepung singkong), daging segar, dan buah seadanya yang ditemukan. Penjatahan itu ditentukan berdasarkan kelas antara serdadu kulit putih dan campuran seperti cablocos dan mulatto.

Sementara, soal situasi aktivitas ekonomi Portugis, João menguraikan bahwa salah satu pusat perdagangannya ada di Benteng Pontal de Nazaré. Di perkebunan, biasanya João dan sesama budak dipekerjakan untuk menanam, memanen, hingga mengolah tebu menjadi gula. Pengolahan gulanya menggunakan kerbau-kerbau yang ditunggangi para budak untuk menggiling tebu. Tebu lantas diperas dan direbus dengan tangan oleh para budak. Hasilnya berupa sirup yang kemudian dikemas dan dibawa ke Benteng Pontal de Nazaré.

Ilustrasi pengolahan tebu di Brasil karya Frans Post (hausderkunst.de)

Dari benteng itu, komoditas gula dikirimkan dengan perahu-perahu baroques ke Bahia yang jadi pusat koloni Portugis. Dari Bahia, barulah komoditas itu diangkut dengan kapal-kapal dagang ke Eropa.

Dari kesaksian João itu para interogator tak hanya mendapatkan pengetahuan lebih dalam tentang perdagangan gula. Kondisi mengenaskan para budak juga diperoleh. Kondisinya hampir serupa dengan apa yang digambarkan Wagener dalam catatan hariannya, di mana orang-orang Portugis memperlakukan para budak mereka lebih keji ketimbang orang-orang Belanda.

Baca juga: Permintaan Maaf Belanda atas Praktik Perbudakan di Masa Lalu

Wagener menggambarkan budak-budak kulit hitam itu diperlakukan dengan sangat mengerikan. Hanya menerima sedikit makanan, mereka dipaksa bekerja di perkebunan dan pengolahan tebu tanpa jeda hingga membuat mereka nyaris tak bisa bernafas. Mereka yang tak kooperatif bakal dihukum dengan cara digantung dengan tangan terikat dan tubuhnya yang telanjang dipukuli dan dicambuki.

Kendati banyak memberi insight kepada WIC, namun tidak ada lagi catatan yang menguraikan bagaimana nasib João setelahnya. Nasib João pun menjadi misteri. Namun, ia masih lebih beruntung karena namanya tercatat dan catatannya masih terjaga hingga kemudian bisa diungkap. Jutaan budak yang lain tanpa nama, tanpa cerita, dan tanpa suara; hanya untuk jadi pembelajaran sekarang dan di masa depan.

Ilustrasi pengangkutan komoditas gula dengan perahu barques di Brasil karya Frans Post (Repro Katalog Slavery)

TAG

pameran perbudakan brasil penjajahan-belanda

ARTIKEL TERKAIT

Cerita Dua Arca Ganesha di Pameran Repatriasi Menyibak Warisan Pangeran Diponegoro di Pameran Repatriasi Saat Peti Laut jadi Penanda Pangkat Pegawai VOC Menuturkan Sejarah Jakarta Lewat Furnitur Misi Diplomat Australia Sesudah Proklamasi Kemerdekaan Goresan Tinta Seniman Australia Merekam Revolusi Kemerdekaan Ayrton Senna dalam Kenangan Kampung Tua di Sabang Ketika Orang Jawa Mogok Kerja di Belanda Kisah Kampung Jawa di Paris