MINGGU (23/06/24) pagi, Walikota Sabang Reza Pahlevi menyambut peserta Muhibah Budaya Jalur Rempah (MBJR) yang belum lama turun dari KRI Dewaruci yang berlayar dari Dumai pada 19 Juni 2024. Tarian dipersembahkan remaja putri Sabang yang menyuguhkan sirih isi kapur dan cengkih kepada orang-orang yang baru datang itu di akhir tarian.
Setelah disambut walikota dan pejabat pemerintahan lainnya, semua yang hadir disuguhi pertunjukan teater bertema sejarah. Disutradarai Fauzan Santa, pertunjukan berupa reka ulang itu sangat apik menggambarkan suasana pasar yang memperdagangkan rempah dan juga budak. Digambarkan pula Banda Aceh, di seberang Sabang, sebagai daerah yang ramai dan didatangi bangsa-bangsa asing yang ingin berdagang. Temanya sesuai tema pelayaran yang diadakan Pokja Diplomasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Selain disuguhi teater reka ulang sejarah, peserta juga disuguhi hidangan Kuah Beulangong yang berbahan pisang kepok, nangka, daging kambing, dan pastinya rempah-rempah. Rempah yang dipakai antara lain kelapa dan kayu manis. Selain Kuah Beulangong, rendang, ayam goreng, telur berbumbu dan sambal (yang disebut sambal ganja) pun dihidangkan. Hidangan itu dimakan dengan nikmat. Di luaran, masakan Aceh –termasuk mie Aceh– terkenal sebagai makanan enak.
Setelah perjamuan makan yang nikmat itu, peserta diajak naik mobil menuju Jaboi. Daerah Jaboi berada di sisi selatan Pulau Weh, sementara Pelabuhan Sabang terletak di sisi utara. Orang kerap menyebut keseluruhan Pulau Weh dengan Sabang semata.
Dari pusat kota Sabang ke Jaboi membutuhkan waktu sekitar satu jam. Jalannya berkelok-kelok dan penuh tanjakan. Pulau Weh punya relief yang berbukit-bukit dengan Gunung Jaboi sebagai titik tertingginya.
Sesampai di Jaboi, sebuah kawasan kawah terlihat. Belerang dihasilkan di sini, sejak dulu.
“Belerang berlimpah-limpah di semua pulau itu dan dibawa ke Pedir dan Pasai,” catat Denys Lombard dalam Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda 1607-1636.
Belerang dijadikan bahan membuat mesiu. Tentu kerajaan-kerajaan kuat yang pernah ada di Aceh memanfaatkannya.
Jaboi tak hanya punya belerangnya saja. Seperti tempat lain, Jaboi punya sejarah.
“Jaboi salah satunya adalah kota yang pertama kali ada di Sabang,” ujar Hidayatullah, seorang pegiat wisata di Jaboi.
Dalam bahasa Aceh, seperti tercatat dalam Kamus Basa Aceh: Kamus Bahasa Aceh: Acehnese-Indonesian-English Thesaurus yang disusun Bukhairi Daud dan Mark Durie, kata “Weh” berarti “pergi meninggalkan suatu tempat.” Daerah ini dianggap titik awal kedatangan orang-orang dari Aceh daratan. Jaboi yang berada di selatan Pulau Weh tentu merupakan titik pendaratan terdekat bagi orang-orang Aceh yang datang naik kapal ke pulau itu.
Pulau Weh dan Sabang sebagai pusat pemeritahannya barangkali tidak terkesan sebagai penghasil atau bahkan tempat perdagangan rempah-rempah. Hubungannya dengan rempah-rempah adalah hubungan tidak langsung, sebatas Pulau Weh terkait dengan Kerajaan Aceh yang kaya rempah-rempah. Hubungan dengan Aceh daratan lebih kentara pada dijadikannya Pulau Weh oleh raja Aceh sebagai tempat membuang orang dari Aceh daratan dan tempat mengambil belerang dari Jaboi demi kepentingan militernya. Begitulah peran Pulau Weh bagi Kerajaan Aceh di zaman perdagangan rempah.
Kota Sabang di sisi utara Weh adalah kota baru yang modern di awal abad ke-20. Pada 1881, pemerintah kolonial Belanda membangun pangkalan batubara, yang dibawa dari Sawahlunto, Sumatra Barat, untuk kepentingan pelayaran. Sejak 1896 Sabang dijadikan pelabuhan bebas (Vrij Haven) untuk perdagangan umum. Pengelolanya adalah NV Zeehaven en Kolenstation Sabang te Batavia alias Sabang Maatschappij. Setelahnya, perkantoran dibangun di Sabang hingga muncul kawasan niaga di dekat Pelabuhan Sabang.
Perumahan hingga sekolah dasar pun kemudian dibangun di Sabang. Sabang juga punya hunian pedagang Tionghoa yang biasanya menjadi daerah ekonomi. Sampai kini, bangunan-bangunan tua di Sabang masih tersisa. Antara lain rumah administratur dan kantor Sabang Maatschappij, dan juga bekas Europe Lager School (ELS) di sisi SDN 2 Sabang.
Sementara itu, tugu titik nol kilometer terletak di Desa Iboih. Tak sampai satu jam mencapainya dari pusat kota Sabang. Dalam perjalanan menuju tugu, Pulau Rubiah yang tempat karantina haji era kolonial akan terlihat.
Wisata sejarah Sabang tergolong menarik. KRI Dewaruci sudah empat hari di Pelabuhan Sabang. Tiap hari, kapal legendaris ini tak pernah sepi kunjungan. Rabu (26/06/24) sore sekitar pukul 16.10 WIB, Dewaruci bertolak dari Sabang menuju tujuan berikut, dalam rangka memaknai riwayat perdagangan rempah di Indonesia.*