Augustin Sibarani (1925-2014), karikaturis lepas, biasa nongkrong dan main catur di restoran “Sederhana” di daerah Pasar Senen, Jakarta. Pada suatu hari, dia didatangi seorang peminat karikaturnya. Dia bekerja di bagian ekspedisi penerbitan majalah dari kantor USIS (United States Information Service).
“Gaji di kantor kami besar,” katanya kepada Sibarani sambil memegang bidak catur dan melahap soto mi, kemudian minum bir.
“Kalau mau, datanglah melamar, saya kira orang Amerika senang sama seorang karikaturis,” katanya yang sayang tidak disebutkan namanya dalam memoar Augustin Sibarani, Karikatur dan Politik.
“Memang demikianlah, ucapannya memang terbukti,” kata Sibarani. “Prof. Dr. Willard Hanna, Direktur USIS, menerima saya dengan baik sekali. Malah kami kemudian menjadi sahabat baik. Pojok tempat kerja saya, secara khusus diatur agar bersebelahan dengan ruang kerjanya agar kami mudah untuk berhubungan.”
Baca juga: CIA dan Karikatur Bintang Timur
USIS merupakan perpanjangan tangan dari USIA (United States Information Agency) yang didirikan di berbagai negara. Badan Amerika Serikat untuk “diplomasi publik” ini beroperasi dari 1953 hingga 1999. Setelah itu diambil alih oleh badan baru, yaitu BBG (Broadcasting Board of Governors) yang kemudian berubah menjadi USAGM (U.S. Agency for Global Media).
Dalam laporan USIA Appropriations Authorization, Fiscal Year 1973, disebutkan bahwa USIA menjalankan program informasi publik dan budaya di 39 pos USIS di 14 negara Asia. Indonesia termasuk negara yang menjadi prioritas USIA. Setelah pergantian kekuasaan, jumlah staf USIS mengalami penurunan. Pada 1961, total staf USIS berjumlah 225 orang, namun sepuluh tahun kemudian, sejak 1971 jumlahnya hanya 82 orang.
USIA dan CCF
Menurut sejarawan Bradley R. Simpson dalam Economists with Guns, pemerintahan Dwight D. Eisenhower berusaha melawan daya tarik Uni Soviet di Indonesia bukan hanya melalui bantuan teknik dan ekonomi, tapi juga melalui diplomasi budaya yang gencar oleh USIA dan, secara sembunyi-sembunyi, melalui CCF (Congress for Cultural Freedom) yang didanai oleh CIA.
“Dengan memanfaatkan Voice of America, pamflet, buku, surat kabar, film, dan majalah, kampanye USIA menekankan keunggulan kapitalisme liberal ala Amerika, demokrasi dan tujuan-tujuan Amerika bagi kawasan ini, yaitu modernisasi liberal dan anti-komunisme,” tulis Bradley.
Dalam tahun 1953 saja, sebut Bradley, pejabat di Kedutaan Besar Amerika Serikat memperkirakan sepuluh juta orang Indonesia telah menonton film-film Amerika yang ditayangkan dari atas truk-truk USIA yang berkeliling di Indonesia.
Baca juga: Indonesia, CIA, dan Crypto AG
Dalam Kekerasan Budaya Pasca 1965, Wijaya Herlambang menjelaskan bahwa CCF merupakan organisasi yang sangat berpengaruh yang dibentuk oleh pemerintah Amerika Serikat untuk mempromosikan liberalisme dan menjadi ujung tombak melawan komunisme di bidang kebudayaan. CCF dibentuk di Berlin oleh CIA pada 1950 dan digerakkan oleh agen CIA, Michael Josselson.
Wijaya mengungkapkan bahwa misi utama CCF adalah untuk melepaskan tautan kaum intelektual dan seniman di seluruh dunia dari komunisme, yang dikendalikan oleh unit khusus CIA yang dikenal dengan OPC (Office of Policy Coordination) yang dikepalai oleh Frank Wisner di bawah komando Direktur CIA Allen Dulles.
Dalam konteks Indonesia, kata Wijaya, CCF berperan sangat penting dalam menciptakan lahan subur bagi kaum intelektual untuk merengkuh idealisme Amerika tentang kebebasan intelektual dan artistik. Hal ini terlihat dalam aktivitas kebudayaan seperti penerbitan dan pendistribusian buku-buku dan jurnal serta penyelenggaraan seminar-seminar dan konferensi.
“Pendistribusian buku-buku juga diikuti dengan penerjemahan karya-karya penulis dan filsuf Barat yang secara ideologis dan politis menentang komunisme,” tulis Wijaya.
Bradley menyebutkan buku-buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh CCF antara lain Animal Farm karya George Orwell, New Class karya Milovan Djilas, dan kumpulan tulisan anti-komunis yang terkenal, The God That Failed.
Baca juga: Sukarno dan Buku yang Mengguncang CIA
Kebetulan pekerjaan Augustin Sibarani berhubungan dengan buku Animal Farm. “Tugas pertama saya adalah membuat ilustrasi, berupa gambar-gambar karikatural untuk buku termasyhur George Orwell, Animal Farm,” kata Sibarani.
Sibarani menerima gaji yang cukup besar. Kalau gaji rata-rata pagawai level menengah Rp500 per bulan, maka Sibarani menerima lebih dari Rp500 per dua minggu. Dengan demikian, penghasilannya lebih dari Rp1.000 per bulan.
“Pekerjaanku juga menyenangkan. Saya bebas mondar-mandir ke berbagai ruangan dan bebas mempelajari buku-buku, terutama tentang seni rupa dan karikatur di perpustakaan,” kata Sibarani.
Selain di Jakarta, USIS juga membuka perpustakaan di Surabaya, Yogyakarta, dan Medan.
Bekerja untuk CIA
Pegawai USIS yang selalu datang menemani Sibarani adalah seorang pemuda Ambon asal Medan bernama John Tetehuka. Dia leluasa dan bisa semaunya bergerak di kantor. “Banyak orang tidak mengetahui pekerjaannya yang sebenarnya. Dia amat fasih berbahasa Inggris, karena selama revolusi dia berada di Australia,” kata Sibarani.
Sibarani menyebut bahwa gaji Tetehuka paling besar dari semua orang Indonesia yang bekerja di kantor USIS. Paling tidak menurut penjelasannya sendiri. Dia punya biro tersendiri, di mejanya selalu bertumpuk koran dan majalah luar negeri. Dia amat erat berhubungan dengan tokoh-tokoh tertentu dari staf USIS. Dia membuat laporan keadaan politik, yang tampaknya dikuasainya dengan mendalam.
Baca juga: Agen Lokal CIA di Sumatra
“Bersahabat dengan orang seperti Tetehuka amat menyenangkan, karena temperamen Ambonnya yang ria, selalu disertai dengan cerita pengalamannya dengan wanita,” kata Sibarani.
Dari Tetehuka juga, Sibarani dapat meminjam majalah Amerika yang bergengsi seperti Life, Saturday Evening Post, Time, dan Newsweek. “Dengan demikian, saya mendapat masukan dan ide untuk membuat karikatur,” kata Sibarani.
Sibarani menyebut Tetehuka sebagai pegawai USIS yang memiliki kedudukan istimewa. Gajinya paling besar mungkin karena pekerjaannya membuat berbagai laporan khusus untuk orang-orang Amerika tertentu. “Belakangan hari dia mengakui, bahwa orang-orang yang dilayaninya itu para agen CIA,” kata Sibarani.
Ditutup Sukarno
USIS pun menjadi sasaran. Pada 15 Agustus 1964, ribuan pemuda yang tergabung dalam Front Nasional Sukarno masuk dan menduduki Perpustakaan Jefferson milik USIS di Jalan Tugu Kulon, Yogyakarta, lalu memaksanya tutup. Setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, tentara menjadikan gedung itu sebagai tempat interogasi dan penahanan darurat.
Wartawan senior Rosihan Anwar dalam Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik, 1961-1965 mencatat pada 4 Desember 1964 massa Presidium Front Pemuda Pusat mengadakan rapat umum di depan Gedung Pemuda untuk memprotes dan mengutuk tindakan agresif dan keganasan Amerika-Belgia di Kongo. Setelah itu, mereka mendatangi gedung USIS di Jalan Segara 4.
“Mereka membakar bendera Amerika, buku-buku perpustakaan dan menghancurkan kaca-kaca jendela gedung itu. Duta Besar AS Howard P. Jones secara resmi mengeluarkan protes atas serangan terhadap gedung dan perpustakaan USIS di Jakarta,” tulis Rosihan.
Baca juga: Teman Lama Ternyata CIA
Bradley menyebut bahwa setelah ribuan demonstran mengepung gedung itu, pada 15 Februari 1965 Sukarno mengumumkan pendudukan perpustakaan USIS di Jakarta. Tiga hari setelahnya, pengunjuk rasa masuk dan merampas sebagian isi Konsulat Amerika Serikat di Medan.
“Direktur USIA Carl Rowan dengan geram meminta agar seluruh bantuan yang masih tersisa dihentikan dan agar Jones dipulangkan,” tulis Bradley.
Menurut Bradley, hubungan dengan Indonesia yang terus memburuk meyakinkan Departemen Luar Negeri bahwa telah tiba saatnya untuk “mengurangi kehadiran Amerika di Indonesia”. Dalam telegram kepada Departemen Luar Negeri tanggal 8 Maret 1965, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta memahami bahwa pengurangan itu tidak bisa lagi dielakkan. Kedutaan mengusulkan penghapusan setahap demi setahap AID (Agency for International Development), MAAG (Military Assistance Advisory Group), dan program-program USIA agar misinya “tetap rapat dan aman”.
“Sementara mempertahankan segelintir staf penghubung untuk urusan keamanan dan satu regu CIA,” tulis Bradley.
Baca juga: CIA dalam Gerakan Buruh Indonesia
Namun, Jones berpendapat “setiap jengkal kita melangkah mundur, setiap jengkal pula kemenangan diraih komunis”. Dia menekankan bahwa “kita harus bertahan dengan kehadiran maksimal yang bisa dipertahankan oleh Amerika” sehingga dapat merespons dengan cepat perubahan keadaan politik di Indonesia.
“Jones menolak desakan untuk merespons dengan keras semua aksi itu, bahkan ketika dia menyampaikannya kepada Sukarno,” tulis Bradley.
Namun, tidak lama setelah pertemuan dengan Jones, Sukarno melarang majalah Time, Life, U.S. News and World Report, dan Newsweek, serta memerintahkan penutupan fasilitas USIA yang masih tersisa.
Akhirnya, perpustakaan USIS di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Medan ditutup. Dibuka kembali setelah Sukarno jatuh dari kekuasaannya.