Masuk Daftar
My Getplus

Agen Lokal CIA di Sumatra

Pengusaha Minang ini menjadi penghubung antara perwira pembangkang dengan CIA.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 25 Des 2019
CIA.

Suatu pagi, pengusaha Hasjim Ning menemani Presiden Sukarno sarapan di Istana Merdeka. Selagi makan, Sukarno menyuruh Hasjim untuk pergi ke Padang menemui Letkol Ahmad Husein, Ketua Dewan Banteng dan Komandan Resimen IV. Sebagai bentuk protes terhadap pemerintah pusat, Husein mengambil alih pemerintahan sipil dari Gubernur Sumatra Tengah, Ruslan Muljohardjo, dan mengangkat dirinya sebagai Ketua Daerah.

Sukarno meminta Hasjim menyampaikan pesannya: "Katakan pada A. Husein bahwa dia telah aku pandang anakku sendiri. Tindakannya mengambil oper pemerintahan dari gubernur dapat membahayakan negara. Karena mungkin panglima atau komandan militer lainnya akan melakukan hal yang sama."

Besok harinya Hasjim berangkat ke Padang. Dia langsung ke rumah Husein di Jalan Hatta, kemudian menjadi Jalan A. Yani. "Di sana aku juga bertemu dengan St. Simawang bersama Rus Alamsjah," kata Hasjim Ning dalam otobiografinya, Pasang Surut Pengusaha Pejuang.

Advertising
Advertising

Baca juga: Agen CIA Pertama di Indonesia

Simawang membawa rencana besar untuk membangun Sumatra Tengah, misalnya mambuat jalan dan membangun sumber listrik tenaga air di Antokan atau Agam. Pembiayaannya dari hasil ekspor perkebunan, seperti karet, kopra, dan kayu manis. Ekspornya langsung ke Amerika Serikat atau Inggris tanpa melalui Singapura. Untuk meyakinkan Husein, Simawang membawa Rus Alamsjah, seorang staf senior pada Biro Devisa Negara.

Sementara itu, Husein menyangka kedatangan Hasjim, yang dijuluki Raja Mobil dan Henry Ford Indonesia, akan membantu gerakannya. Dia meminta Hasjim agar menginap di rumahnya.

"Sehingga St. Simawang menjadi mengkerut keningnya. Mungkin dia menyangka kedatanganku akan menyampaikan rencana besar lainnya untuk mengambil kesempatan berusaha seperti yang dia lakukan," kata Hasjim.

Setelah para tamu pergi, Hasjim menyampaikan pesan Sukarno kepada Husein. "Ah, Bung Hasjim, tidak ada pikiranku, apalagi mengangan-angankan untuk memisahkan Sumatra Tengah dari Republik Indonesia. Kami hanya menuntut keadilan dan hak-hak kami kepada pemerintahan Ali (Sastroamidjojo). Bukan kepada Bung Karno," kata Husein.

"Bagaimana aku harus menyampaikannya pada Bung Karno, bahwa Pak Husein tetap menjunjung tinggi pribadinya selaku presiden?" tanya Hasjim.

"Aku akan mengirim surat padanya. Surat dari seorang anak kepada bapaknya," kata Husein.

Baca juga: Intel Indonesia Dilatih CIA

Hasjim kembali ke Jakarta setelah seminggu di Padang. Dia tak perlu banyak memberi keterangan kepada Sukarno karena surat Husein sudah lebih dulu sampai. Namun, surat itu tidak meredakan ketegangan hubungan daerah yang bergolak dengan pemerintah pusat.

Husein sendiri berhubungan erat dengan Simawang yang menawarkan berbagai bantuan. "Dia terlibat membantu pembangunan daerah, termasuk melakukan perdagangan barter dengan Singapura," tulis sejarawan Mestika Zed dan Hasril Chaniago dalam biografi Ahmad Husein: Perlawanan Seorang Pejuang.

Tak hanya itu, Simawang juga menjadi penghubung Husein dan para perwira pembangkang dengan Paman Sam. Sebelum bekerja pada Amerika Serikat, Simawang bekerja untuk Belanda.

Ikut Belanda

Keterangan tentang Simawang diceritakan temannya, Alizar Thaib. Mereka saling kenal dan berteman baik sejak sekolah. Mereka kemudian memilih jalan berbeda. Simawang menjadi serdadu KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda), sedangkan Alizar menjadi anggota tentara Indonesia. Ketika pecah Perang Dunia II, Simawang ikut pemerintah Belanda ke Australia.

"Dia saya kenal benar, serdadu KNlL yang dibawa oleh Belanda mengungsi ke Australia sewaktu Jepang menduduki lndonesia," kata Alizar dalam biografinya, 19 September dan Angkatan Pemuda Indonesia.

Simawang kembali ke Indonesia pada 1948 dengan menyamar sebagai romusha (pekerja paksa) dari Burma. Dia mendatangi Kapten Alizar, anggota CPM (Corps Polisi Militer) di Yogyakarta, dan tinggal di rumahnya selama dua minggu. Dia kemudian bergabung dengan kelompoknya.

Baca juga: Agen CIA Merampok Bank Indonesia

"Bahkan dia berhasil menggabungkan diri dengan para mahasiswa baru (Universitas) Gajah Mada dan ikut perploncoan yang kebetulan saya sebagai senior diminta memimpin acara perploncoan itu. Saya dengar bahwa yang membawanya ke Gajah Mada, seorang kenalannya yang bernama Harsubeno," kata Alizar.

Alizar mencurigai Simawang dan melaporkannya kepada Kolonel Gatot Soebroto. Gubernur Militer Yogyakarta itu memerintahkan Alizar untuk mengikuti gerak-gerik Simawang dan romusha-romusha lain yang masuk ke Yogyakarta. Pada suatu hari, Alizar bertemu Simawang di Markas Lasykar Buruh di Jl. Gondomanan. Mereka berbicara mengenai soal umum saja.

"Tapi waktu saya pulang dan berjalan keluar dari markas, dia mengikuti saya dari belakang dan saya mendengar ucapan kepala markas itu, Effendi namanya, mengatakan: ‘You can kill him now’ (kau bisa membunuhnya sekarang)," kata Alizar. "Rupanya, meskipun sudah ada aba-aba untuk melakukan pembunuhan itu, dia masih merasa bahwa pertentangannya dengan saya, belum bisa mengalahkan keakraban kami dulu."

Baca juga: CIA dan Operasi Jakarta di Chile

Alizar pura-pura tidak mendengar ucapan Effendi itu dan terus berjalan dengan tenang kembali ke markas CPM. Dia kemudian melaporkannya kepada Gatot Soebroto yang memerintahkan CPM untuk memeriksa Markas Lasykar Buruh dan Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia).

"Dalam pemeriksaan ditemukan lencana-lencana dan bendera-bendera merah-putih-biru. Barang-barang itu dibawa oleh para romusha masuk ke Yogya. Karena penemuan ini, maka dua markas Pesindo terpaksa dilucuti," kata Alizar.

Alizar tak menceritakan bagaimana kehidupan Simawang setelah peristiwa itu. Namun, dia kemudian menjadi pengusaha. Simawang tercatat mendirikan majalah mingguan Merah Putih pada 14 Maret 1953. Kantor redaksinya di Jalan Krakatau No. 13 Jakarta. Mungkinkah dia menjadikan media ini sebagai cover pekerjaannya di dunia intelijen?

Agen Lokal CIA

Berbeda dengan keterangan Alizar, sejarawan Mestika Zed menyebut selama melarikan diri di Australia, Simawang pernah mendapat latihan intelijen dari CIA, dan kemudian masuk kembali ke Indonesia menjadi "agen CIA". Sampai pertengahan 1950-an, dia tetap membina hubungan dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, dari Duta Besar Merle Cochran, kemudian digantikan Hugh S. Cumming Jr., lalu John Allison.

Simawang memainkan perannya ketika terjadi pergolakan di Sumatra. Menurut Kenneth Conboy dan James Morrison dalam Feet to the Fire: CIA Covert Operations in Indonesia 1957-1958, semua kegiatan "perwira pembangkang" di luar Jawa diamati secara cermat oleh markas CIA di Jakarta yang memiliki jaringan dengan agen lokal.

"Salah satu agen lokal CIA di Indonesia adalah Sutan Alamsjah Simawang," tulis Mestika dan Hasril. "Dari Simawang, CIA selalu mendapat laporan perkembangan di daerah bergolak, khususnya Sumatra Tengah."

Baca juga: Agen CIA di Medan

Simawang dibina oleh James M. Smith Jr., seorang perwira CIA di Jakarta. Smith pernah ditempatkan di Medan, sehingga dia mengenal banyak perwira lokal TNI, termasuk Kolonel Simbolon.

"Sumber saya di Padang, seorang perwira muda menceritakan bagaimana Smith mendekati dirinya. Dia menginap di Hotel Muaro, menyamar sebagai turis dan membuka kursus Inggris. Si perwira muda tadi adalah salah seorang peserta kursus dan di luar kelas senang berkunjung ke rumahnya sekalian memperlihatkan gambar-gambar senjata mutakhir buatan Amerika Serikat. Dia mulanya tak tahu tugas penyamaran yang dilakukan Smith yang pemurah dan siap memberikan bantuan uang dan buku-buku," tulis Mestika Zed dalam "Keterlibatan CIA dalam Kasus PRRI", makalah disampaikan pada seminar nasional tentang PRRI yang diselenggarakan STKIP PGRI Padang, 14 Maret 2009.

Kepala stasiun CIA di Jakarta, Valentine Goodell, yang sebelumnya juga pernah bertugas di perkebunan di Sumatra Timur, mengizinkan Smith untuk membina hubungan dengan perwira Sumatra via Simawang. Tentunya setelah mendapat izin dari Washington.

Operasi pertama CIA ke Sumatra Tengah juga bermula dari Smith. Ketika mendapat informasi dari Simawang bahwa Simbolon mulai kesulitan membiayai pasukannya yang melarikan diri dengannya ke Padang, karena Husein hanya memberikan bantuan sekadar uang beras, Smith segera mengontak Washington.

Baca juga: Agen CIA dalam Pemberontakan di Sumatra

Atas persetujuan markas besar CIA di Washington, sekitar September 1957 Smith berangkat ke Sumatra Tengah untuk bertemu Husein dan Simbolon di Bukittinggi. Dalam kesempatan itu, mereka tidak membicarakan bantuan senjata, melainkan hanya bantuan finansial dan radio komunikasi. Bantuan pertama ini dikirim melalui seorang perwira CIA bernama Dean Almy. Dia menyerahkan bantuan sebesar US$50.000 dolar kepada Simbolon di Bukittinggi.

Menurut sejarawan Baskara T. Wardaya dalam Indonesia Melawan Amerika: Konflik Perang Dingin 1953-1963, dalam pertemuannya dengan Dean Almy di Bukittinggi, Simbolon tidak pernah menyinggung masalah bantuan militer Amerika Serikat dan tidak pernah mengatakan bahwa tujuannya adalah memisahkan diri dari Republik Indonesia. Namun, Almy memiliki pandangan berbeda. Meskipun menyadari kepentingan utama para pemberontak adalah bantuan ekonomi, dia tetap menganggap hal itu sebagai jalan bagi kemungkinan dijalankannya aksi militer oleh Amerika Serikat.

Kemungkinan itu pun terjadi. Setelah tuntutan ditolak pemerintah pusat, para perwira pembangkang mendeklarasikan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia). Percaya dengan kemampuan militer pemberontak, CIA siap memberikan berbagai bantuan: perlengkapan dan pelatihan militer, logistik, dan tenaga personel.

Baca juga: Operasi Terakhir Petinggi CIA di Indonesia

Untuk menghadapi PRRI, pemerintah pusat mengerahkan semua kekuatan angkatan bersenjata (darat, laut, udara, serta polisi dan satuan intelijen). Kekuatan PRRI di kota-kota dengan mudah dapat didobrak dan mundur ke pedalaman dengan melancarkan perang gerilya.

Menurut Mestika, lambat laun CIA kecewa dengan "kemajuan" yang diharapkannya dari PRRI di medan pertempuran. Direkturnya, Allen Dulles merasa "not very happy" dengan keadaan mitra mereka di Sumatra. Secara berangsur-angsur, CIA mengurangi dukungan ke PRRI, bahkan berbalik membantu Jakarta.

"Politik Amerika Serikat terhadap Indonesia juga mengalami perubahan hingga akhirnya membiarkan PRRI kalah, dan semakin mengencangkan dukungannya ke Jakarta setelah kejatuhan rezim Orde Lama Sukarno," tulis Mestika.

Sayang, setelah perang, kita tak tahu bagaimana nasib Simawang.

TAG

intelijen cia prri hasjim ning

ARTIKEL TERKAIT

Arief Amin Dua Kali Turun Pangkat Peredaran Rupiah Palsu di Taiwan George Benson Kawan Yani Kisah Jenderal Gorontalo Juragan Besi Tua Asal Manado D.I. Pandjaitan dan Aktivis Mahasiswa Indonesia di Jerman Drama Tapol PRRI dan Tapol PKI dalam Penjara Petualangan Nawawi Sukarno, Jones, dan Green Yusman Sudah Komando Sebelum Sekolah Perwira