SUKARNO ingin merayakan ulangtahun pertama kemerdekaan Indonesia dengan pesta seni lukis. Dia meminta pelukis Hendra Gunawan pameran tunggal. Perhelatan digelar di gedung Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) Jl. Malioboro, Yogyakarta.
Di luar protokoler, Hendra diam-diam mengumpulkan puluhan gelandangan dengan penampilan kere untuk menjadi tuan rumah pameran. Protokol presiden menolak gagasan itu. Hendra bergeming. Saat pameran dibuka, Sukarno disambut para gelandangan. Sukarno terkejut, tetapi dia mengangguk dan memeluk Hendra.
“Setiap orang berhak melihat lukisan saya. Dan saya berhak memperkenalkan karya-karya saya kepada siapa saja,” kata Hendra dalam Bukit-bukit Perhatian: Dari Seniman Politik, Lukisan Palsu Sampai kosmologi Bung Karno karya Agus Dermawan T.
Baca juga: Pelukis Belia di Medan Laga
Hendra lahir di Bandung, Jawa Barat, pada 11 Juni 1918 dari pasangan Raden Prawiranegara dan Raden Odah Tejaningsih. Sejak di sekolah dasar, dia telah menunjukkan bakat lukis. Dia tekun menggambar segala macam yang ada di sekitarnya seperti buah-buahan, bunga, wayang (golek dan kulit), serta bintang film.
Hendra mulai serius belajar melukis setamat SMP Pasundan. Mula-mula belajar melukis pada Wahdi Sumanta, seorang pelukis pemandangan. Selain itu, dia sempat menjadi murid Abdullah Suriosubroto, ayah pelukis Basuki Abdullah. Pertemuannya dengan pelukis Affandi menjadi titik kulminasi keseriusannya menekuni seni rupa. Pada 1930-an, bersama Affandi, Barli, Sudarso, dan Wahdi, dia aktif di kelompok Lima Bandung, sebuah kelompok belajar bersama dan saling membantu sesama pelukis. Pada 1940, dia mendirikan Sanggar Pusaka Pasundan.
Memasuki masa-masa perjuangan kemerdekaan, Hendra bersama Sudjojono dan Affandi terlibat dalam berbagai organisasi pemuda dan seniman. Mereka melahirkan dan menghidupkan tradisi sanggar yang jadi lembaga pendidikan alternatif di masa-masa sulit itu. Hendra aktif membimbing para pemuda yang berminat kepada seni lukis dan seni patung, di samping terjun mengorganisasi kegiatan seni dalam Pusat Tenaga Rakyat (Putera).
Baca juga: Pelukis Istana Asal Negeri Sutera
Ajip Rosidi dalam Yang Datang Telanjang mengenang sosok Hendra sebagai orang yang gemar “meracuni” orang lain, terutama para pemuda, untuk melakukan kegiatan kesenian. “Jasanya barangkali bukan hanya, atau bukan terutama hanya, melalui karya-karyanya saja, melainkan pada kegemarannya mengajak dan menarik orang-orang lain, terutama yang muda untuk melakukan kegiatan kesenian,” tulis Ajip.
Setelah proklamasi kemerdekaan, Hendra membuat poster-poster perjuangan, yang konsep-konsepnya dikirim Angkatan Pemuda Indonesia. Pada 1945, bersama beberapa pelukis, dia mendirikan “Pelukis Front” yang aktif melukis di front pertempuran.
Masa perjuangan kemerdekaan tercermin pada karya-karyanya yang mengangkat realitas keseharian masyarakat Indonesia seperti panen padi, berjualan buah, dan suasana panggung tari-tarian. Selain juga mengangkat tema perjuangan seperti terciri pada karya “Pengantin Revolusi”. Ciri khas karya Hendra terletak pada permainan warna yang terpengaruh warna-warna ikan yang dianggapnya begitu tajam. Karakter ikan yang tak bisa diam terimpilkasi pada deformasi sosok yang meliuk penuh gerak.
Baca juga: Sukarno Menjaga Martabat Pelukis
Saat pemerintahan pusat pindah ke Yogyakarta, sejumlah seniman ikut hijrah, termasuk Hendra. Pada saat itu, Hendra bersama Affandi, Rusli, dan Harijadi membentuk Perkumpulan Seni Rupa Masyarakat (PSM), yang berganti nama menjadi Seniman Indonesia Muda (SIM). Hendra tak bertahan lama di SIM. Dia dan Affandi mendirikan organisasi “Pelukis Rakyat”. Agus Sachari dalam Budaya Visual Indonesia mencatat, para pelukis SIM dan Pelukis Rakyat setelah tahun 1950 cenderung terpengaruh paham komunisme.
Keterlibatannya dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) membuat Hendra mendekam di penjara selama 13 tahun (1965-1978). Di penjara, dia terus melukis menggunakan kanvas berukuran besar dengan warna-warna natural.
Selepas penjara pada 1978, Hendra memilih menetap di Bali. Di sana dia berkawan karib dengan seorang penyair Sumba, Umbu Randu Paranngi. Dia menghembuskan nafas terakhirnya di RSU Sanglah Denpasar Bali pada 17 Juli 1983 dan dimakamkan di pemakaman muslimin Gang Kuburan Jalan A. Yani Purwakarta.