Masuk Daftar
My Getplus

Pelukis Belia di Medan Laga

Dengan membawa kertas dan cat minyak, lima pelukis cilik mengabadikan momen bersejarah negeri ini.

Oleh: Aryono | 22 Apr 2017
Judul: Painting of War | Sutradara: Agustinus Dwi Nugroho | Pemain: Dullah, Pujiningsih, Eka Putra Bhuwana, Trisno Yuwono, Nur Ali, Teddy S, Sigit Hendro, Agus Dermawan T, Julius Pour, Bambang Purwanto, Mikke Susanto | Produser: Himawan Pratista | Produksi: Montase, Museum Dullah, DictiArt laboratory | Genre: Dokumenter | Rilis: 2016.

Matahari baru muncul dari ufuk timur. Sebagian rakyat Yogyakarta belum beraktivitas. Maklum, hari Minggu. Tiba-tiba, suara pesawat merobek pagi yang tenang. 14 Desember 1948, Belanda menerjunkan tentaranya di lapangan udara Maguwo untuk menguasai Yogyakarta, ibukota republik Indonesia kala itu.

Dari Maguwo, pasukan yang dipimpin Letnan Kolonel Van Beek bergerak menuju jantung kota Yogya. Sesampai di tengah kota, situasi memanas. Aksi ala koboi diperlihatkan tentara Belanda. Rakyat sipil kocar-kacir.

Di sanggar Seniman Indonesia Muda (SIM), tak ada yang berani beraktivitas. Dalam kondisi kacau ini, pelukis Dullah mengumpulkan anak-anak didiknya yang berusia belasan tahun. Mereka adalah Mohammad Toha (11 tahun), Muhammad Affandi (12), Sarjito (14), FX. Soepono (15), dan Sri Suwarno (14). Mereka dianggap mumpuni karena sudah diasuhnya lebih dari setahun.

Advertising
Advertising

Setelah kelimanya terkumpul, Dullah memberi gambaran singkat mengenai aktivitas mereka yang sarat bahaya. Dia menginstruksikan agar mereka menggambar apapun: kekejaman Belanda, situasi perang, hingga penangkapan-penangkapan.

“Sesudah Belanda menyerbu Yogya, saya langsung mencari anak didik saya yang masih kecil itu. Lantas saya pimpin untuk membuat lukisan-lukisan dokumentasi pendudukan Yogyakarta,” ujar Dullah.

Mulailah kelima pelukis cilik itu beraksi. Setiap ada peristiwa menarik, mereka mengeluarkan alat gambar dan mulai melukis.

Goresan Perjuangan

Operatie Kraai atau Operasi Gagak dalam agresi militer Belanda II, yang dipakai sebagai adegan pembuka, diambil dari potongan film koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Adegan ini lalu diramu sedemikian rupa dengan keterangan ahli, seperti Julius Pour –penulis buku Doorstoot Naar Jogja– dan sejarawan Bambang Purwanto dari Universitas Gadjah Mada. Dari sini adegan bergerak menuju aksi lima anak yang melukis suasana perang di Yogya.

Adegan pun mengalir lancar. Suka-duka para pelukis cilik itu digambarkan apik dengan keterangan dari narasumber yang masih hidup; beberapa di antaranya mantan murid-murid Dullah.

“Pak Toha mengatakan pada waktu itu ada rasa gentar, ada rasa takut tapi dimotivasi untuk kembali dengan hasil. Karena itu dengan berbagai cara diatur sendiri. Misalnya dengan pura-pura berjualan rokok. Dan alat lukis itu disimpan di tempat jualannya,” ujar Agus Darmawan T, kurator lukisan, menirukan ucapan Mohammad Thoha.

Lukisan mereka kecil. Bahkan lebih kecil dari ukuran kartu pos. Hal itu sebagai siasat supaya mereka tak ketahuan dan ditangkap Belanda. Tapi lukisan kecil mereka memuat informasi besar soal apa yang tengah terjadi di negeri ini.

“Karya ini impresionistik, sederhana tidak dibuat-buat. Tetapi lukisan anak-anak ini menyiratkan sifat kekanak-kanakan sekaligus keberanian melakukan pencatatan itu secara cepat,” ujar Mikke Susanto, yang didapuk memsupervisi film dokumenter ini.

Pada pertengahan film, berdurasi hampir dua menit, sutradara menyisipkan adegan yang membandingkan foto-foto lama seputar agresi militer Belanda II dengan karya anak-anak tersebut. Misalnya foto barisan pesawat di angkasa disandingkan dengan lukisan barisan pesawat pula. Begitu pula pesawat yang menimpa perumahan peduduk, jip dari Komisi Tiga Negara (KTN), hingga barisan lasykar masuk kota.

Kelima murid Dullah itu menghasilkan 84 lukisan. Namun, dua anak bernasib tak mujur. Sarjito ditangkap dan dimasukan penjara anak di Tangerang pada 1949 dan wafat di sana. Sementara Sri Suwarno, setelah melukis lukisan-lukisan perjuangan ini, tak terlacak keberadaannya.

Apa yang dilakukan Dullah bersama kelima muridnya terdengar pula oleh Presiden Sukarno. Sepulang dari pengasingannya di Bangka pada 1949, Sukarno mencari Dullah. Setelah Dullah sampai di Gedung Agung, Sukarno malah tak menghiraukannya. Sekali kesempatan, mereka bertemu muka.

“Hei Dullah, kemana saja kamu selama Belanda menyerang?,” tanya Sukarno agak ketus.

Dullah pun menjelaskan aksi bersama anak didiknya yang melakukan pendokumentasian situasi perang di Yogyakarta dengan media lukisan. Mendengar hal itu, Sukarno langsung memeluk Dullah.

“Apa yang dihasilkan Dullah dengan anak-anak ini akan menjadi aset bangsa.”

Informasi Baru

Setelah perang usai, sebagian lukisan disimpan Dullah. Pada 1978, 30 tahun setelah agresi militer II, Dullah menggelar pameran 300 lukisan dengan tema perjuangan di Gedung Agung, Yogya. Beberapa karya kelima siswanya turut ditampilkan. Pameran ini sekaligus menjadi ajang pertemuan Dullah dengan mantan anak didiknya. Setahun kemudian, pameran kedua dihelat di Gedung Aldiron, bilangan Blok M, Jakarta. Akhirnya, pada 1982, Dullah menerbitkan buku berisi kompilasi lukisan anak dengan judul Karya Dalam Peperangan dan Revolusi.

Lukisan-lukisan karya pelukis cilik itu disimpan di dua museum: Museum Dullah di Solo dan Rijksmuseum di Amsterdam, Belanda. Mengapa bisa sampai di Amsterdam? Menurut Mikke Susanto, beberapa lukisan milik Mohammad Thoha dijual ke sana.

Sebelumnya, 45 lukisan karya Mohammad Toha dipinjam pemerintah Belanda untuk dipamerkan di Legermuseum (Museum Angkatan Bersenjata) di Delft tahun 1992. Bahkan pemerintah Belanda membuat film televisi yang merekonstruksi kisah Toha melukis di tengah desingan pelura dan dentuman bom. Film yang dibikin IDTV Amsterdam itu menjadi bagian dari film berjudul Een Waarheid Met Vele Gezichten (Kebenaran dalam Banyak Wajah).

Untuk membuat film ini, Dwi mungkin tak kesulitan meramu informasi seputar aksi kelima bocah itu. Beberapa narasumber, seperti keluarga pelukis dan murid-murid Dullah lainnya, masih hidup dan bisa memberikan keterangan.

Sebagai film dokumenter, film ini memberikan informasi penting mengenai aksi heroik lima bocah ingusan yang membuat lukisan situasi saat kota Yogyakarta tercabik-cabik oleh aksi brutal Belanda. Film dokumenter ini juga kembali mengingatkan kita bahwa perjuangan tak mengenal usia dan tak harus dengan memanggul senjata.

[pages]

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Antara Lenin dan Stalin (Bagian I) Situs Cagar Budaya di Banten Lama Pemusnah Frambusia yang Dikenal Dunia Perupa Pita Maha yang Karyanya Disukai Sukarno Musik Rock pada Masa Orde Lama dan Orde Baru Pasukan Kelima, Kombatan Batak dalam Pesindo Tertipu Paranormal Palsu Poorwo Soedarmo Sebelum Jadi “Bapak Gizi” Antiklimaks Belanda Usai Serbuan di Ibukota Republik Perlawanan Perempuan Nigeria Terhadap Kebijakan Pajak