Masuk Daftar
My Getplus

Pelukis Istana Asal Negeri Sutera

Sukarno mengangkatnya menjadi pelukis Istana. Gerakan 30 September membuatnya hijrah ke Singapura dan dianggap sebagai pelukis besar Singapura.

Oleh: Darma Ismayanto | 24 Feb 2012
Sumber: Lee Man Fong, Oil Painting Volume II karya Agus Dermawan T. Ilustrasi: Micha Rainer Pali

PERJALANAN hidup membawanya tinggal di Indonesia. Ini bermula ketika Lee Ling Khai, ayahnya, seorang pejuang kemerdekaan China, membawa istri dan anak-anaknya, termasuk Lee Man Fong yang masih berusia empat tahun, meninggalkan negeri leluhur untuk merantau ke Singapura. Di sana Ling Khai merintis bisnis dagang dan berhasil meraih sukses berkat bantuan seorang sahabat bernama Dr Sun Chung-Shan –nama lain dari Dr Sun Yat Sen.

Lee Man Fong, lahir di kota Guangzhou, China, pada 14 November 1913, sempat mengenyam pendidikan di Anglo-Chinese School dan belajar melukis pada seorang guru bernama Lingnan. Tapi jiwa pejuang ayahnya sepertinya belum padam meski tinggal di negeri orang. Ling Khai terlibat dalam dunia politik yang membangkrutkan bisnisnya, dan akhirnya meninggal dunia karena sakit pada 1929. Hidup menjadi pertarungan sesungguhnya bagi Man Fong, yang menggunakan keahliannya menggambar untuk menafkahi ibu dan ketujuh saudaranya. Sayang, hasilnya tak pernah mencukupi.

Terlilit kesulitan hidup di Singapura, pada 1932 Man Fong memutuskan hijrah ke Batavia. Dia bekerja sebagai editor seni sebuah majalah China lalu desainer di Kolf and Co., sebuah perusahaan Belanda di bidang percetakan dan penerbitan. Dua tahun kemudian dia mendirikan agen advertensi dan bekerja sebagai seniman komersial. Karena bakat melukisnya, Man Fong mendapat undangan dari pemimpin asosiasi Hindia Belanda Timur pada 1936 untuk ikut berpameran di Belanda. Ini menyulut kemarahan anggota komunitas seniman Belanda, karena biasanya hanya anggota komunitas merekalah yang boleh ikut berpameran.

Advertising
Advertising

Bukan hanya karier yang lebih baik, Man Fong juga menemukan pasangan hidupnya di Batavia. Dia menikahi seorang pianis bernama Lie Muk Lan dan memiliki seorang putra bernama Lee Ramm.

Man Fong akhirnya menggeluti seni lukis secara total sejak 1940. Demi menggapai impian untuk pameran tunggal, dia meninggalkan seni komersial untuk melukis di Bali. Selama periode tersebut, alam dan kehidupan masyarakat Bali terekam di atas kanvasnya. Setelah tiga bulan dia kembali ke Jawa dan menggelar pameran di Jakarta pada Mei 1941 lalu diikuti pameran di Bandung. Kariernya terhenti sesaat ketika pada 1942 dia mendekam di hotel prodeo akibat turut menentang kolonialisme Jepang. Enam bulan jadi tahanan, atas jasa Takahashi Masao, seorang opsir-cum-seniman ikebana (seni merangkai bunga bunga) yang terpikat kecakapan lukis Man Fong, dia dibebaskan. Man Fong kembali melakoni rutinitasnya sebagai pelukis.

Pada 1949 dia mendapat beasiswa Malino dari Gubernur Jenderal Belanda Van Mook untuk memperdalam seni rupa di Negeri Kincir Angin. Tiga dari karyanya diterima dengan baik. Selama tinggal di Eropa, dia mengunjungi Inggris, Prancis, Switzerland, Italia, Luxemburg, dan Belgia.

Kembali ke Indonesia pada akhir 1952, Man Fong sempat berprofesi sebagai editor seni di Nanyang Post, majalah bergambar yang terbit di Jakarta. Pada tahun yang sama, Presiden Sukarno mengunjungi studionya di Jalan Gedong. Pameran-pameran yang digelar Yin Hua, organisasi pelukis Tionghoa yang didirikan Man Fong pada 1955 dan bermarkas Prinsenpark (sekarang Lokasari), Jakarta, juga kerap disambangi Sukarno.

Sukarno jatuh hati. Karya-karya Man Fong yang “menyejukkan” hati lewat tampilan gambar-gambar realis bernuansa alam, hewan, dan aktivitas kehidupan sederhana masyarakat diibaratkan Sukarno sebagai ventilasi di tengah sibuknya Revolusi.

“Lukisan Lee Man-Fong yang realistik bukan salinan realitas yang mencari kebenaran. Lee Man-Fong sendiri menyatakan bahwa lukisan realistiknya adalah hasil transformasi observasi realitas yang sangat mendalam. Observasi ini memerlukan penghayatan dan kejujuran. Tentang teknik melukis yang disebutnya ‘rendering’, ia menyatakan teknik ini harus mencapai tingkat kemampuan yang sophesticated untuk bisa merekam hasil observasi realitas,” tulis kurator Jim Supangkat, “Chusin’s Realistic Painting. A Thesis”, dalam katalog pameran tunggal pelukis Chusin Setiadikara di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, Maret 2011.

Bersama seniman Yin Hua lainnya, Man Fong memenuhi undangan dari Republik Rakyat China pada pertengahan 1956. Mereka berkunjung selama lima bulan serta mengatur pameran di Peking dan Kanton. Di China, Man-Fong bertemu pelukis Ch’i Pai-Shih, yang dikenal sebagai salah seorang pembaharu seni lukis tradisional, di Beijing, bahkan membuat potretnya. Di sinilah lukisan realistik Man Fong mendapat pengakuan. Sekembali ke Indonesia, Man Fong menggelar pameran di Jakarta yang menampilkan lebih dari 80 karyanya.

“Kerbau”, “Tiga Kuda”, “Merpati Putih di Senja Hari’, “Gadis Bali (Nude)”, dan “Sepasang Kuda” adalah sebagian kecil judul lukisan terkenal garapan Man Fong. Seperti terbaca dari judulnya, Man Fong memang senang mengangkat tema-tema sederhana, dari binatang hingga pemandangan alam. Dalam hal pencapaian artistik, karya-karyanya disetarakan dengan karya maestro lukis seperti Affandi, Hendra Gunawan, dan Sudjojono.

“Lukisan-lukisan Lee Man Fong bersifat orisinil, dengan figur-figur realistik dan penerapan warna yang matang. Dia menggabungkan antara gaya lukis Barat dan gaya Chinese art. Karya Man Fong memberi warna baru bagi dunia seni lukis Indonesia saat ini,” kata Kuss Indarto, kurator seni rupa asal Yogya.

Pada 1961, atas anjuran pelukis Dullah, Sukarno mengangkat Man Fong menjadi pelukis istana sekaligus memberinya kewarganegaraan Indonesia. Man Fong menunjuk kawannya, Lim Wasim, sebagai asistennya. Lim pelukis kelahiran Bandung, 9 Mei 1929, yang pernah menempuh pendidikan di Institut Seni Sentral Beijing tahun 1950, selain sempat mengajar di Perguruan Seni Xian di Kota Xian, China.

Selain melukis, Man Fong menguratori benda-benda seni koleksi Soekarno. Meski berat menyesuaikan diri dengan pekerjaan yang terjadwal dan urusan protokoler, Man Fong menjalaninya dengan baik. Pada 1964, Man Fong ditunjuk Presiden Sukarno untuk membuat koleksi karya seni Presiden Sukarno. Terbitlah “Lukisan-lukisan dan Parung dari Koleksi Presiden Sukarno dari Republik Indonesia” dalam lima jilid.

Keadaan mulai tak menentu bagi Man Fong saat Sukarno lengser. Terkurung dalam ingar-bingar politik, Man Fong bersama keluarganya terpaksa hijrah ke Singapura. Lama tinggal di sana, Man Fong mendapat status penduduk tetap dan akhirnya dianggap sebagai salah satu tokoh dan pelukis besar Singapura.

Le Man Fong baru kembali ke negeri yang dicintanya, Indonesia, pada 1985. Dia tinggal di rumahnya di Bogor. Namun sejak itu dia dikenal sebagai pribadi yang pendiam dan tertutup. Pada 1988, Lee Man Fong tutup usia akibat sakit liver dan paru. Kumpulan lukisannya diterbitkan dalam buku Lee Man Fong: Oil Paintings, dua jilid, oleh Art Retreat Museum pada 2005. Buku ini ditulis kritikus seni Indonesia Agus Dermawan T. Kedua buku itu memuat 471 lukisan pilihan Man Fong milik para kolektor dari seluruh dunia.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Lebih Dekat Mengenal Batik dari Kota Batik (Bagian I) Peran Radius Prawiro dalam Reformasi Pajak Presiden Korea Selatan Park Chung Hee Ditembak Kepala Intelnya Sendiri Pengungsi Basque yang Memetik Bintang di Negeri Tirai Besi Warisan Budaya Terkini Diresmikan Menteri Kebudayaan Aksi Spionase Jepang Sebelum Menyerang Pearl Harbor Radius Prawiro Mengampu Ekonomi Masyarakat Desa Tuan Tanah Menteng Diadili Mimpi Pilkada Langsung Jurus Devaluasi dan Deregulasi Radius Prawiro