ENOLA Holmes (diperankan Millie Bobby Brown) sudah jadi anak yatim sejak balita setelah ditinggal mati sang ayah. Dibesarkan sendiri oleh sang ibu, Eudoria (Helena Bonham Carter), Enola tak hanya dididik intelektualitasnya dengan beragam literasi, namun juga ditempa kemampuan fisiknya dengan berlatih tenis, pertarungan pedang, hingga beladiri tangan kosong jujitsu.
Adik detektif partikelir kondang Sherlock Holmes itu juga diajarkan banyak hal tentang pemecahan teka-teki, utamanya kode-kode terenkripsi dari kata-kata acak. Ia “dilatih” sang ibu untuk dibentuk jadi Sherlock perempuan. Semua yang diajarkan sang ibu ternyata sangat penting ketika Enola ditinggal pergi Eudoria kala usianya baru genap 16 tahun.
Scene-scene informatif di atas dikombinasikan dengan klip-klip komikal digulirkan sineas Harry Bradbeer dengan cepat dalam lima menit, menjadi preambul film misteri dan dark comedy bertajuk Enola Holmes. Film ini diadaptasi dari salah satu seri novel detektif The Enola Holmes Mysteries karya Nancy Springer.
Alur cerita lantas beringsut pada kepulangan kedua kakak Enola ke Ferndell Hall dari London. Kedua kakak itu adalah si sulung Mycroft Holmes (Sam Claflin), yang menjadi pejabat pemerintah, dan Sherlock Holmes (Henry Cavill), detektif yang sedang melejit kariernya. Sejak itu hidup Enola berubah.
Baca juga: The Two Popes, Dua Paus dalam Sejarah Kelam
Mycroft yang jadi wali Enola menghendaki Enola tumbuh menjadi perempuan terhormat dengan masuk sekolah kepribadian pimpinan seorang guru “killer” Nona Harrison (Fiona Shaw). Enola jelas berontak. Selama ini ia dididik sang ibu bukan untuk hidup jadi perempuan terkekang sebagaimana perempuan lain.
Enola yang lebih berambisi bertualang sembari mencari ibunya yang menghilang lalu kabur dari rumah berbekal sejumlah petunjuk yang ditinggalkan ibunya. Dalam perjalanannya, Enola bersua Marquess of Basilwether (Louis Partridge), bangsawan muda yang juga tengah kabur dari wajib militer Viscount Tewksbury.
Lantas? Lebih baik Anda tonton sendiri seperti apa keseruan petualangan investigasi Enola yang bahkan bakal menandingi kejeniusan sang kakak Sherlock. Enola Holmes sudah tersedia di layanan streaming daring Netflix sejak Rabu, 23 September 2020.
Hak Kesetaraan Perempuan
Dengan diiringi scoring musik dari komposer Daniel Pemberton, keseruan aksi-aksi dalam Enola Holmes begitu terasa. Pun ketika plot film dibawa ke dalam adegan-adegan sendu dan sentimentil macam saat Enola dan kedua kakaknya maupun beberapa adegan jenaka kala Enola bersama Lord Tewksbury.
Lewat adegan per adegan, sutradara Bradbeer berupaya mengajak penonton masuk ke dalam aksi-aksi investigasi Enola terkait isu kesetaraan gender dalam hak politik. Bradbeer memang tak menerangkan titimangsa latarbelakang Kerajaan Inggris saat itu, namun sedikit demi sedikit penonton bisa menebak eranya adalah kurun 1880-an di mana gerakan feminis sudah mulai muncul.
Dua petunjuk kentara soal titimangsa itu adalah kala Enola kabur dengan menaiki Benz Patent-Motorwagen. Kendaraan bermotor ciptaan Karl Benz itu merupakan mobil produksi massal pertama di dunia, 1885. Mobil itu diciptakan Karl Benz dan istrinya, Bertha Benz. Bertha pada Agustus 1888 menjadi pionir perempuan dalam industri otomotif sebagai pengemudi mobil jarak jauh. Dia berhasil berkendara 105 kilometer dengan rute Mannheim-Heidelberg-Wiesloch-Pforzheim. Bertha juga jadi penemu kampas rem, yang digunakan di mobil Benz Patent-Motorwagen.
Baca juga: Kisah Ken Miles di Balik Ford v Ferrari
Petunjuk lain adalah artikel di sejumlah koran dan pamflet yang ditemukan Enola, di mana turut termaktub artikel tentang isu Reform Bill/Representation of the People Act yang tengah diperdebatkan dalam House of Lords (Parlemen Kerajaan Inggris). Tokoh Lord Tewksbury jadi sosok sentral soal isu ini lantaran punya pemikiran politik baru bagi Inggris. Dia berulang-kali diselamatkan Enola dari upaya pembunuhan.
“Film ini membuat kita melihat lagi (isu) feminisme di masa-masa awal dari era 1840-an hingga 1880-an. Saya sendiri senang bisa menggali lagi akar sejarah pergerakan feminisme awal dan bagaimana perkembangannya. Dengan cara ini saya merasa bisa membawa dimensi lagi soal ketertarikan saya tentang gerakan-gerakan feminis,” ujar Bradbeer dalam wawancaranya via Zoom dengan PTI, dikutip The Week, Selasa (22/9/2020).
Gelombang pertama gerakan feminisme di Inggris (1839) bertolak dari tragedi yang menimpa Caroline Norton. Ia tak punya hak menggugat cerai suaminya dan tak diizinkan mendapat hak asuk ketiga anaknya dari sang suami yang seorang anggota parlemen, George Chapple Norton.
Menukil Until They Are Seven, The Origins of Women’s Legal Rights karya John Wroath, Caroline melancarkan protesnya kepada parlemen lewat sejumlah pamflet dan puisi. “Pamflet-pamflet yang disebarkan Caroline berisi argumentasi bahwa para ibu punya hak dasar terhadap anak-anaknya, hingga menimbulkan perdebatan di kalangan politisi parlemen,” tulis Wroath.
Baca juga: Captain Marvel, Antara Nostalgia dan Isu Feminisme
Kampanye-kampanye Caroline akhirnya membuahkan hasil dengan dikeluarkannya Custody of Infants Act of 1839 atau Undang-Undang (UU) Hak Asuh Anak di Bawah Umur tahun 1893. Itu jadi “kemenangan” tersendiri bagi gerakan feminisme awal. Dalam UU tersebut, perempuan berhak menggugat cerai dan pihak ibu diizinkan mendapat hak asuh anak, setidaknya hingga sang anak berusia tujuh tahun.
Sejak saat itu, gerakan feminisme kian menjamur menuntut kesetaraan gender di bidang edukasi, lapangan pekerjaan, hingga hak properti untuk perempuan. Bagaimana dengan hak perempuan dalam demokrasi dan memiliki hak suara dalam politik?
Petunjuk soal itu dalam Enola Holmes berpusar pada sosok sang ibu, Eudoria, yang bersama sejumlah aktivis perempuan berencana mewujudkan rencana berbau kekerasan. Di akhir cerita, Bradbeer menguraikan bahwa figur Lord Tewksbury kemudian jadi aristokrat penting di balik lolosnya Representation of the People Act (UU Perwakilan Rakyat).
Namun jika dicocokkan dengan setting waktunya, maksud dari lolosnya UU itu adalah UU Perwakilan Rakyat yang dikeluarkan pada Juni 1884. Perubahan radikal dalam UU tersebut adalah diberikannya hak pilih bagi para buruh tani di seantero Inggris dan Wales, baik di kota-kota besar maupun kota-kota kecil, sebagai perluasan UU serupa pada 1867.
Baca juga: Sepakbola Tanpa Batas Gender
Dalam UU Perwakilan Rakyat sebelumnya, hak pilih hanya diberikan kepada pemilik properti di kota-kota besar dengan nilai minimal 10 poundsterling dan penyewa properti dengan nilai sewa tahunan juga 10 pounds. UU Perwakilan Rakyat 1884 itu digalang para politisi oposisi liberal pimpinan Joseph Chamberlain.
“UU ini adalah revolusi terbesar yang pernah dijalani negara ini,” kata Chamberlain usai UU itu disahkan, dikutip Norman Lowe dalam Mastering Modern British History.
UU Perwakilan Rakyat 1884 melejitkan jumlah pemilih hingga 60 persen dari sebelumnya. Namun, UU itu belum bersifat universal lantaran hak pilih perempuan masih dikesampingkan. Perkara itulah yang jadi misteri, di mana Bradbeer memberi kesempatan pada para penonton untuk menelaah pengaruh UU tersebut lewat adegan penutup Enola Holmes berupa pertemuan kembali Enola dengan ibunya walau hanya untuk sesaat.
Sang ibu masih punya obsesi memperjuangkan apa yang disisihkan para politisi parlemen dalam UU Perwakilan Rakyat 1814. Para aktivis feminis yang sebelumnya masih bergelut dengan hak-hak buruh perempuan, mulai menengok hak pilih mereka dalam politik.
Women’s Social and Political Union (WSPU) yang dibidani Emmeline Pankhurst dan kedua putrinya, Christabel dan Sylvia, sejak 10 Oktober 1903 mempelopori upaya tersebut. Selain menggalang pendukung dari para perempuan lewat pertunjukan-pertunjukan teater dan aksi mogok makan, WSPU beberapakali bikin onar dan bertindak vandalis seperti melempari kaca jendela-jendela gereja atau membakar kotak-kotak pos dalam perjuangan tuntutannya. Aksi-aksi menggegerkan itu diharapkan bisa membuat tuntutan-tuntutan politik mereka didengar.
Baca juga: Lyudmila Pavlichenko Sniper Kondang Uni Soviet
Bagi sejarawan Martin Pugh, kekerasan-kekerasan macam itu justru dianggap menodai tujuan mulia mereka. “Militansi macam itu jelas merusak tujuan utama. Efek dari militansi itu malah jadi langkah mundur dari tujuan politik untuk perempuan memiliki hak pilih,” tulis Pugh dalam State and Society: A Socual and Political History of Britain Since 1870.
Masyarakat dan aparat yang resah lalu membuat perhitungan kala sekitar 300 aktivis perempuan WSPU berdemonstrasi dan melakukan longmarch dari Caxton Hall menuju Gedung Parlemen pada Jumat, 19 November 1910. Di depan gedung parlemen, para demonstran WSPU dicegat barisan aparat polisi.
Ketegangan terjadi dan 300 demonstran feminis itu diserang, dipukuli dengan tongkat-tongkat polisi. Sejumlah pria yang kebetulan berada di lokasi turut serta menyerang para demonstran.
Sebanyak 112 demonstran lantas ditangkapi. Puluhan korban pihak demonstran mengaku juga sempat mengalami pelecehan seksual. Namun tuntutan untuk penyelidikan tentang kebrutalan polisi dan pelecehan seksual dalam peristiwa yang dikenal sebagai Black Friday itu ditolak Menteri Dalam Negeri Winston Churchill.
Selain WSPU, kelompok feminis yang memperjuangkan hak perempuan adalah National Union of Women’s Suffrage Societies (NUWSS). Kelompok yang didirikan Millicent Fawcett pada 1897 ini memilih jalan konstitusional dalam perjuangannya. NUWSS berjuang dengan lobi-lobi politik di parlemen meski sempat vakum akibat Perang Dunia I (28 Juli-11 November 1918).
Sepuluh bulan jelang Perang Dunia I berakhir parlemen akhirnya mulai melunak soal tuntutan hak pilih untuk perempuan. Keputusan itu berangkat dari fakta kaum perempuan terbukti menjadi “tulang punggung” dalam upaya militer Inggris menghadapai Kekaisaran Jerman dalam medan perang. Saat banyak warga laki-laki dimobilisasi, kaum perempuanlah yang berjibaku dalam pertanian untuk logistik pasukan di berbagai wilayah. Mereka juga bekerja di pabrik-pabrik persenjataan, bahkan turun di medan perang sebagai perawat dan juru masak di markas-markas militer.
Baca juga: Bukan Churchill Biasa
Upaya para aktivis perempuan akhirnya membuahkan hasil pada 6 Februari 1918 dengan dikeluarkannya Representation of the People Act 1918 (UU Perwakilan Rakyat 1918) sebagai perluasan UU 1884. Dalam UU baru, semua pria berusia 19 tahun, termasuk prajurit dan pelaut, serta perempuan berusia minimal 30 tahun punya hak memilih dan dipilih.
“Reform Bill Passed: Women’s Vote Won,” demikian judul berita suratkabar Manchester Guardian edisi 7 Februari 1918. “UU Perwakilan Rakyat yang telah menggandakan jumlah pemilih, memberi parlemen tambahan suara sekitar enam juta pemilih perempuan,” demikian potongan beritanya.
UU tersebut jadi tonggak pertama hak kesetaraan gender dalam politik. Lantas lewat Pemilu 14 Desember 1918, Countess Constance Markievicz, anggota NUWSS, jadi perempuan pertama yang duduk di Parlemen Inggris dengan daerah pemilihan Dublin St. Patrick’s.
Data Film
Judul: Enola Holmes | Sutradara: Harry Bradbeer | Produser: Mary Parent, Alex Garcia, Millie Bobby Brown, Paige Brown | Pemain: Millie Bobby Brown, Henry Cavill, Helena Bonham Carter, Sam Claflin, Fiona Shaw, Frances de la Tour, Louis Partridge | Produksi: Legendary Pictures, PCMA Productions | Distributor: Netflix | Durasi: 123 Menit | Rilis: 23 September 2020 (Netflix).