LYUDMILA Pavlichenko tak habis pikir. Dalam perjalanannya di kota-kota besar Amerika Serikat sepanjang September 1942, letnan Uni Soviet berparas anggun itu tak henti-hentinya dihujani pertanyaan dari wartawan-wartawan Amerika. Baginya itu konyol. Maka sekuat tenaga ia menahan diri supaya tak “meledak” yang bisa mengacaukan misi yang diembannya dari diktator Soviet Josef Stalin.
Pavlichenko datang ke Amerika pada akhir Agustus 1942. Perjalanan panjang menggunakan pesawat terbang ditempuhnya dari Moskow ke Kairo lalu Miami, Florida. Dari Miami ke Washington DC perjalanannya dilakukan menggunakan keretaapi ekspres.
Sejak Juni 1942, Lyuda, panggilan Pavlichenko, ditarik dari medan perang untuk mengemban misi propaganda. Tujuan utamanya agar Amerika mau membuka front kedua di Eropa demi mendesak Jerman Nazi. Maka dikirimlah delegasi mahasiswa Soviet bersama Pavlichenko sebagai primadonanya.
Baca juga: Serangan Jerman Nazi di Danau Ladoga
Namun, di Amerika Lyuda benar-benar keheranan. Entah ketika di Washington DC, New York, atau Chicago, dia lebih sering ditanya wartawan Amerika hal-hal yang baginya sangat sepele.
“Saya terkesima tentang pertanyaan-pertanyaan dari para wartawan perempuan di Washington. Mereka menanyakan hal-hal konyol seperti apakah saya memakai bedak, pemerah pipi, cat kuku, dan apakah saya mengkritingkan rambut. Seorang reporter bahkan berani mengkritik rok panjang saya dengan mengatakan perempuan Amerika biasanya mengenakan rok pendek dan seragam saya membuat saya tampak gemuk,” kata Lyuda kepada Time, 28 September 1942.
“Itu semua membuat saya marah. Saya mengenakan seragam saya secara terhormat. Seragam yang tersemat (medali) Order of Lenin yang sering tertutup bercak darah di pertempuran. Sangat jelas bagi perempuan Amerika lebih mementingkan apakah mereka memakai celana dalam sutera di balik seragam mereka. Namun mereka belum mengerti makna dari seragam itu sendiri,” sambungnya.
Terlepas dari komentarnya yang sarkas, Lyuda menjalani tur ke Amerika dengan sukses. Selain akhirnya Sekutu membuka front kedua bagi Jerman lewat Afrika Utara lalu ke Italia, Lyuda juga membawa pulang oleh-oleh persahabatan dengan Eleanor Roosevelt. Ibu negara Amerika itu sempat mempersilakan Lyuda dkk. menginap di Gedung Putih selama kunjungan di Washington DC.
Mahasiswa Sejarah Jago Tembak
Kecantikan tak pernah masuk dalam kamusnya. Lingkaran hidupnya yang sarat pergulatan membuatnya jadi sosok yang dingin. Semasa muda, cewek tomboy kelahiran Bila Tserkva, Ukraina, 12 Juli 1916 itu sembari bersekolah juga mesti menopang ekonomi keluarga dengan bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik senjata di Kyiv.
“Karena tak punya skill, awalnya butuh waktu setengah tahun bagi saya untuk menyesuaikan diri dengan ritme kehidupan di pabrik dan mendapatkan pertemanan dengan para buruh lain. Saya juga kemudian diterima masuk di Liga Pemuda Komunis,” kenang Lyuda dalam memoarnya, Lady Death: The Memoirs of Stalin’s Sniper.
Baca juga: Vasily dan Tradisi Sniper Rusia
Di pabrik senjata itulah Lyuda mulai mengenal senjata dan menjajal menembakkannya. Orang pertama yang mengajari dan mengetahui ternyata Lyuda punya “bakat alam” dalam menembak adalah Fyodor Kushchenko. Ia anggota Liga Pemuda Komunis yang jadi salah satu instruktur dalam uji tembak senapan di pabrik itu.
“Fyodor memberi saya sepucuk senapan TOZ-8 buatan Pabrik Senjata Tula yang diproduksi antara 1932-1946. Senapan sederhana dengan amunisi 5,6x11 milimeter yang tak hanya biasa disuplai untuk militer, namun juga untuk olahraga menembak dan untuk berburu,” ujar Lyuda.
Sebelum memegang senapan itu untuk kali pertama, Lyuda mendapat briefing singkat tentang cara memegang, mengarahkan, dan membidik sasaran dari Kushchenko. Usai briefing, Kushchenko mengecek semuanya dan memasukkan amunisinya.
Dor! Saat Lyuda menekan picunya, ia terkejut bukan main. Tak hanya oleh bisingnya suara letusan senapan yang belum familiar di telinganya, namun juga popor senapan yang menghentak lengannya.
“Kushchenko tersenyum melihat saya. ‘Itu karena Anda belum terbiasa. Tembak lagi! Anda pasti bisa,’ katanya. Lalu saya mengunci pundak dengan lebih erat dan menembak tiga kali lagi. Saat melihat kertas yang jadi sasaran, ia terkesan. ‘Untuk seorang pemula, hasilnya lumayan bagus. Jelas Anda punya bakat’,” ungkapnya.
Baca juga: Duel Sniper Legendaris di Front Timur
Sejak saat itu, setiap Sabtu Lyuda selalu berlatih menembak dengan instrukturnya selepas jam kerja. Mulai 1936 Lyuda menyambung sekolahnya ke Universitas Kyiv lewat program pendidikan Liga Pemuda Komunis. Sesuai minatnya pada sejarah, ia masuk jurusan Sejarah Arkeologi dan Etnografi Uni Soviet. Di pandai di kelas, Lyuda mahasiswa yang cakap dalam olahraga baik sebagai sprinter maupun pelompat tinggi.
Lyuda turut dalam program sekolah sniper Tentara Merah pada 1939. Pendidikan ini berisi kelas politik, latihan baris-berbaris, pertarungan tangan kosong, dan 220 jam kelas latihan menembak, di mana 30 jam di antaranya latihan menembak taktis. Lyuda juga diperkenalkan senjata-senjata baru macam Simonov AVS-36 dan Tokarev SVT-38 dengan teleskop PE 4x.
Namun ketika kuliahnya di Universitas Kyiv menginjak tahun keempat, Jerman menginvasi Uni Soviet lewat Operasi Barbarossa (Juni 1941). Sebagai anggota Liga Pemuda Komunis, Lyuda pun mengajukan diri masuk Tentara Merah. Ia bersikeras ingin masuk infantri dan menolak ditugaskan sebagai perawat hanya karena dia perempuan.
Baca juga: Neraka Hitler di Stalingrad
Tetapi setelah menunjukkan surat-surat dan sertifikat sekolah menembaknya, Lyuda diizinkan masuk unit infantri di Resimen Senapan ke-54 “Stenka Razin”, Divisi ke-25 Tentara Merah. Ia jadi satu di antara dua ribu kombatan perempuan yang diterima masuk ke infantri. Namun karena minimnya pasokan senjata, Lyuda pertamakali maju ke medan perang di front Odessa hanya dibekali sebutir granat.
“Sungguh membuat frustrasi hanya bisa memantau pertempuran dengan sebutir granat di satu tangan. Tetapi getir rasanya menunggu rekan di samping Anda terluka agar senapannya bisa diberikan kepada Anda. Pada akhirnya sebuah pecahan bom melukai seorang kolega yang sedang berlindung di parit dan memberikan saya senapannya karena dia terlalu terluka untuk bisa menggunakannya,” kenangnya.
Medio Agustus 1941 jadi momen “pembaptisan” Lyuda menewaskan musuh dengan senapannya. Kala itu, ia yang sudah memegang senapan, turun dalam kubu pertahanan di sebuah bukit di Odessa. Mulanya ia hanya bertugas untuk mengintai dan hanya boleh menembak sesuai perintah atasannya.
“Saya melihat pasukan Rumania (Sekutu Jerman Nazi) sedang menggali parit hanya berjarak 300-400 yard dari tempat persembunyian saya. Kami dilarang keras komandan untuk menembak tanpa perintah. Saya pun mengirim pesan: ‘Bolehkah saya menembak?’ Saya menunggu dengan sabar, hingga akhirnya komandan membalas: ‘Anda yakin bisa mengenai mereka?’ Saya jawab dengan yakin, ‘Iya.’ Lalu komandan menjawab: ‘Kalau begitu, tembaklah!’” tulis Lyuda dalam catatan bertajuk “Kill the Enemy”, termuat di buletin informasi Kedutaan Besar Uni Soviet untuk Amerika, Volume II tahun 1942.
“Lalu saya menenangkan diri dan berhati-hati kala membidik dan tembak! Sasaran pasukan Rumania saya tumbang. Rekannya yang mencoba menolong juga saya bidik dan kena. Juga satu lagi tewas oleh peluru saya. Tetapi tiga orang dalam ‘pembaptisan’ saya hanya terhitung tembakan percobaan, walau kemudian mulai saat itu saya dimasukkan di unit sniper,” tambahnya.
Pada Oktober 1941 Lyuda dipindah ke Sevastopol. Di sinilah, pada Pengepungan Sevastopol (30 Oktober 1941-Juli 1942), Lyuda mencetak kelegendarisannya. Hingga Mei 1942, Letnan Lyuda yang berjuluk “Lady Death” mencatatkan angka kill resmi sebanyak 309 nyawa, 36 di antaranya penembak runduk pasukan Axis.
Nestapa di Balik Kebanggaan
Lyuda dijadikan alat propaganda kesayangan Stalin untuk menyuntik moril jutaan serdadu Soviet di berbagai front. Pada Juni 1942, ia terluka akibat terkena pecahan mortir. Stalin pun memilih menariknya dari medan pertempuran. Setelah Lyuda pulih, Stalin menjadikannya “duta perang” keliling Amerika hingga Inggris sepanjang Agustus-November 1942. Lyuda mengemban misi agar Sekutu lekas membuka front baru agar perang di Eropa tak hanya ditanggung Soviet.
“Hadirin. Usia saya 25 tahun dan saya telah membunuh 309 penyerbu fasis. Apakah hadirin tak merasa bahwa kalian sudah terlalu lama bersembunyi di balik punggung saya?” kata Lyuda dalam pidatonya fenomenalnya di Chicago yang mengundang decak kagum ribuan orang.
Sontak ia jadi primadona di Amerika. Ia menjalin persahabatan dengan Ibu negara Eleanor Roosevelt dan namanya bahkan diabadikan dengan lagu karangan Woody Guthrie bertajuk “Miss Pavlichenko”.
Baca juga: Kematian Stalin dalam Banyolan
Sekembalinya ke Soviet, Lyuda dipromosikan dengan pangkat mayor sebagai imbalan kesediaannya untuk tetap di garis belakang. Lyuda berkontribusi sebagai instruktur penembak runduk hingga berakhirnya Perang Dunia II.
Usai perang, Lyuda melanjutkan studi sejarahnya di Universitas Kyiv sampai 1953. Setelah lulus, ia menunaikan cita-citanya sebagai sejarawan sembari jadi asisten peneliti di markas Angkatan Laut Soviet. Eleanor, sahabatnya yang mantan ibu negara Amerika, dua kali mengunjunginya di Moskva, pada 1957 dan 1958.
Sebagai perempuan, Lyuda berusaha jadi ibu yang baik untuk Rostislav, putra semata wayangnya. Dia amat bangga Rotislav mengikuti jejaknya menjadi perwira.
“Rostislav seorang anak yang baik dan karakternya mirip ayah saya. Tinggi, rambut gelap, dan bermata coklat. Dia melanjutkan tradisi di dinas militer. Slava lulus dengan baik dari Fakultas Hukum Universitas Moskva dan Sekolah KGB (Intelijen Soviet). Dia menyandang pangkat perwiranya dengan kehormatan. Saya bangga padanya,” tutur Lyuda dalam memoarnya.
Baca juga: Stalin: Masa Muda Kamerad Koba
Namun di balik kebanggaan itu, terpendam nestapa. Di sisa hidupnya, Lyuda menderita Post-Traumatic Stress Disorder atau kelainan jiwa yang banyak diderita veteran perang. Akibatnya, Lyuda menjadi alkoholik hingga tutup usia karena stroke pada 10 Oktober 1974 di usia 58 tahun.