Masuk Daftar
My Getplus

The Two Popes, Dua Paus dalam Sejarah Kelam

Kisah dua paus yang punya jejak masa lalu getir. Sarat konflik batin dalam rezim diktator Jorge Videla dan Adolf Hitler.

Oleh: Randy Wirayudha | 21 Sep 2020
The Two Popes. (Netflix, 2019).

USAI menggelar sebuah kebaktian umum di Buenos Aires pada suatu hari di bulan April 2005, Kardinal Jorge Mario Bergoglio (diperankan Jonathan Pryce) mendapat kabar Paus Yohanes Paulus II wafat. Ia pun bergegas menuju Vatikan untuk bergabung dengan 116 kardinal lain menghadiri Konklaf atau pemilihan paus baru di Kapel Sistina di Vatikan.

Bergoglio bersama Kardinal Joseph Ratzinger (Anthony Hopkins) dari Jerman jadi kandidat terkuat. Keduanya seolah jadi “pertarungan” gereja Katolik yang reformis dan konservatif. Saking sengitnya, pengambilan suara sampai harus dilakoni empat kali lantaran seorang kardinal baru bisa diputuskan menjadi paus jika mendapat sedikitnya 77 suara dari total 117 pemilih.

Kardinal Ratzinger akhirnya terpilih menjadi paus baru. “Hebemus Papam (Kita memiliki Paus)!” demikian pengumuman yang diterima ribuan umat Katolik yang menanti kabar di Lapangan Santo Peter usai melihat cerobong di atap Kapel Sistina mengeluarkan asap putih pertanda paus baru telah terpilih. Ratzinger kemudian keluar balkon dan menyapa umatnya sebagai paus baru dengan mengambil nama Benediktus XVI.

Advertising
Advertising

Adegan itu bukanlah klimaks, melainkan pembuka film biopik bertajuk The Two Popes garapan sutradara asal Brasil Fernando Meirelles. Meirelles menyisipkan sejumlah footage berita televisi mengenai pendapat masyarakat Katolik di seluruh dunia tentang terpilihnya Paus Benediktus XVI. Baik dari umat yang mendukung konservatisme maupun yang kontra sama-sama mengharapkan gereja Katolik tak lagi kaku dengan dipimpin paus yang lebih reformis.

Adegan Kardinal Jorge Bergoglio dalam prosesi Konkaf. (netflix.com).

Meirelles lantas mengubah titimangsa dalam alur film ke tujuh tahun berselang. Saat itu Gereja Katolik diguncang “Vati-Leaks” atau Skandal Vatikan. Sejumlah dokumen terkait dugaan korupsi, pemerasan, pencucian uang, hingga isu homoseksualitas di kalangan pastur bocor dalam skandal itu.

Dalam kegegeran itu, Kardinal Bergoglio yang tengah menjalani rutinitasnya di Buenos Aires, dipanggil ke Vatikan. Ia merasa ada yang ganjil. Ini seperti pertanda. Pasalnya, sebelumnya ia juga sudah memesan tiket untuk terbang ke Vatikan sebelum adanya pemanggilan itu. Kardinal Bergoglio tak pernah percaya pada sebuah kebetulan. Baginya, setiap kejadian ada tangan Tuhan di baliknya.

Baca juga: The Old Guard, Misteri Ksatria Abadi dalam Lorong Sejarah

Kardinal Bergoglio pun bersua Paus Benediktus XVI di kediaman musim panasnya, Istana Castel Gandolfo. Kardinal Bergoglio bermaksud ingin menyerahkan surat pengunduran dirinya namun ditolak sang paus karena dianggap justru akan memperburuk citra gereja Katolik.

Kardinal Bergoglio dikenal luas sebagai agamawan Katolik reformis dan enggan terkekang aturan-aturan kaku Vatikan. Salah satu bentuk “protes” Bergoglio menurut paus adalah keengganan Bergoglio tinggal Istana Kekardinalan.

Perdebatan keduanya berlangsung dengan menyinggung banyak hal, termasuk gereja Katolik harus berkenan menjawab perubahan zaman. Hal ini enggan dituruti Paus Benediktus XVI semasa memimpin. Hingga pertemuan itu berjalan beberapa hari, Paus Benediktus XVI memutuskan ingin mengundurkan diri.

Selain beradu argumen, kedua sosok Paus juga hanyut dalam kehangatan kala menonton final Piala Dunia 2014 antara Argentina vs Jerman. (netflix.com).

Bergoglio mengingatkan bahwa seorang paus adalah martir bagi umatnya. Kepemimpinan yang dipegang hendaklah hingga akhir hayat.

Paus Benediktus XVI lalu menjawab dengan menukil kisah Paus Selestinus V yang mengundurkan diri pada tahun 1294. Paus Benediktus XVI ingin Bergoglio jadi suksesornya.

Padahal bukan itu yang dimau Bergoglio. Ia hanya ingin gereja Katolik tetap dipimpin Benediktus XVI, namun dengan jalan kepemimpinan yang berbeda. Agar lebih dekat dan intim dengan umatnya.

Untuk itulah baiknya Anda saksikan sendiri The Two Popes guna mengetahui lebih detail perdebatan sarat intelektualitas keduanya. Walau sudah tayang sejak 27 November 2019, film ini masih bisa ditonton via layanan daring Netflix.

Jejak Kehidupan Dua Paus

Walau The Two Popes didominasi adu argumen dua tokoh, sebagai sineas Meirelles tak melulu menyoroti wajah keduanya dengan sudut yang monoton. Kombinasi antara teknik pengambilan gambar dari beragam sudut dan alur kisah masa muda Bergoglio dengan gambar hitam-putih merupakan kekuatan yang “menghidupkan” film ini.

Ketidakkakuan The Two Popes juga datang dari sisipan beberapa adegan jenaka ditambah music scoring apik garapan komposer Bryce Dessner. Komposisi musik klasik berbau Latin seperti yang mengiringi scene-scene masa lalu Bergoglio hingga sisipan tembang lawas “Dancing Queen” dari Abba, lagu yang disukai Bergoglio, membuat scene-scene The Two Popes begitu hidup.

Baca juga: Mula Kristen di Sri Lanka

Namun, tetap saja tiada gading yang tak retak. Dari adegan ke adegan tentang perdebatan keduanya, Meirelles hanya menggambarkan masa lalu Bergoglio sejak 1956. Bergoglio dikisahkan memutuskan jadi agamawan dengan masuk Seminari Inmaculada Concepción lantaran ditolak Amelia, gadis pujaannya.

Jorge Bergoglio pada 1970-an dekat dengan Diktator Argentina Jorge Videla. (desinformemonos.org).

Meirelles tak sedikitpun menggambarkan bagaimana masa lalu Ratzinger atau Paus Benediktus XVI. Padahal dalam salah satu footage berita televisi yang disisipkan Meirelles, tampak seorang narasumber memaki sang paus dengan sebutan Nazi. “Saya kenal Ratzinger. Orang Nazi itu tak semestinya terpilih (menjadi Paus)!”

Benarkan Ratzinger seorang Nazi di masa lalunya? Mengapa masa lalunya tak dibahas Meirelles?

“Karena film ini mengenai Paus Fransiskus. Bahkan sampai Mei (2019) filmnya masih punya tajuk The Pope. Dimulai sebagai biopik. Kami punya adegan tentang masa kecilnya dan banyak adegan di Argentina namun sedikit demi sedikit kami menyeimbangkannya, sampai kami memutuskan memberi judul The Two Popes,” kataMeirelles menerangkan, dikutip The Sydney Morning Herald, 6 Desember 2019.

“Memang ada cerita yang mengatakan dia (Ratzinger/Benediktus XVI) seorang Nazi, namun itu omong kosong. Dia memang masuk dalam pasukan Nazi (Pemuda Hitler) saat berusia 14 tahun, dia terpaksa, seperti anak-anak lainnya. Sampai sembilan bulan kemudian dia kabur. Dia hanya jadi bagian dari mereka selama sembilan bulan, bukan berarti dia seorang Nazi. Dia mengambil risiko dengan melarikan diri. Bisa saja dia kemudian dibunuh,” lanjutnya.

Ratzinger Eks Pemuda Hitler

Lahir di Marktl am Inn, Bavaria pada 16 April 1927 dengan nama Joseph Alois Ratzinger, Paus Benediktus XVI merupakan bungsu dari tiga bersaudara. Dia terpaksa masuk Hitlerjugend (Pemuda Hitler) pada 1941 karena keterpaksaan.

Diungkapkan Peter Seewald dalam Pope Benedict XVI: Servant of the Truth, sedari kecil Ratzinger ingin mengikuti jejak kakaknya, Georg, jadi pastur. Namun, keinginan itu kandas karena saja sejak 1941 seminari tempatnya menuntut ilmu agama ditutup militer Jerman Nazi.

“Kami bertiga (Ratzinger dan kedua kakaknya) bukanlah anggota Nazi. Namun ketika datang seruan kewajiban untuk bergabung (dari pemerintah Jerman Nazi), saya terdaftar ke Pemuda Hitler,” tutur Ratzinger saat diwawancara Seewald pada 1996.

Joseph Alois Ratzinger dan keluarganya (Foto: snpcultura.org)

Ayahnya, Joseph Ratzinger Sr., sebagaimana yang diakui sang paus, merupakan mantan polisi yang anti-Nazi. Penentangannya terhadap Adolf Hitler kian gencar saat berlangsung program euthanasia atau suntik mati bagi para penyandang cacat. Salah satu korban euthanasia adalah sepupu Ratzinger berusia 14 tahun yang menderita kelainan mental down syndrome. Namun tiada yang bisa dilakukan lebih selain sekadar protes keras karena ayah Ratzinger masih memikirkan keselamatan istri dan ketiga anaknya (Georg, Maria dan Joseph Alois).

Setelah seminarinya ditutup, Ratzinger pindah ke Gymnasium (setingkat SMA) Traunstein dan di situlah ia, sebagaimana semua murid, diwajibkan masuk ke barisan Pemuda Hitler untuk dilatih dasar-dasar kemiliteran dan doktrin-doktrin antisemit.

Baca juga: Jojo Rabbit, Satir Pemuda Hitler

Di usia 16, Ratzinger ditugaskan ke Luftwaffenhelfer (pasukan perbantuan pengawal anti-pesawat) yang melindungi pabrik BMW dekat Munich. Tetapi menjelang perang berakhir, Ratzinger memutuskan untuk desersi. Ia memberanikan diri ambil risiko itu lantaran para desersi akan ditembak di tempat oleh pasukan Schutzstaffel (SS, paramiliter Nazi).

“Namun Ratzinger selamat. Dia sempat dicegat dua prajurit reguler Jerman dekat Traunstein, dan walau mereka menduga ia desersi, mereka melepaskan Ratzinger. Di kali kedua ia juga beruntung. Ketika ia pulang ke rumah, terdapat dua prajurit SS sedang menginap di rumah orangtuanya. Tentu mereka curiga ketika Ratzinger pulang. Akan tetapi ketika ia hendak dibawa untuk diinterogasi, ayahnya mengamuk dan kedua pasukan SS itu melarikan diri,” sambung Seewald.

Ratzinger kala bertugas di unit Luftwaffenhelfer (Foto: Repro "Pope Benedict XVI")

Usai kapitulasi Jerman, Ratzinger ditahan pasukan Amerika lantaran kedapatan memiliki seragam hitam Pemuda Hitler. Ratzinger ditahan dengan para tawanan perang lain di kamp interniran dekat Ulm. Baru pada 19 Juni 1945 ia dibebaskan lantaran dari hasil pemeriksaan, Ratzinger masih dinyatakan sebagai anak-anak dan golongan minor itu tak dianggap sebagai seorang Nazi.

Baca juga: Kiper Manchester Bekas Pemuda Hitler

“Saya sempat teridentifikasi sebagai tentara. Saya diperintah memakai kembali seragam saya dan mengangkat tangan untuk dibariskan dengan para tawanan. Perih rasanya melihat hati ibu saya terluka melihat putranya dibariskan dengan nasib yang tak menentu,” ungkap Ratzinger dalam memoarnya, Milestones: Memoirs 1927-1977.

Selepas dibebaskan, Ratzinger melanjutkan pendidikannya di Seminari Santo Michael di Traunstein, Seminari Ducal Georgianum di Universitas Munich. Ia meraih gelar professor di Universitas Bonn pada 1959, kemudian menjadi Uskup Agung Munich dan Freising.

Data film

Judul: The Two Popes | Sutradara: Fernando Meirelles | Produser: Dan Lin, Jonathan Eirich, Tracey Seaward | Pemain: Anthony Hopkins, Jonathan Pryce, Juan Minujín, Lisandro Fiks, Germán da Silva, Maria Ucedo | Produksi: Netflix | Durasi: 125 Menit | Rilis: 27 November 2019.

TAG

film katolik vatikan

ARTIKEL TERKAIT

Pyonsa dan Perlawanan Rakyat Korea Terhadap Penjajahan Jepang Benshi, Suara di Balik Film Bisu Jepang Warrior, Prahara di Pecinan Rasa Bruce Lee Exhuma dan Sisi Lain Pendudukan Jepang di Korea Eksil, Kisah Orang-orang yang Terasing dari Negeri Sendiri Jenderal Orba Rasa Korea Sisi Lain dan Anomali Alexander Napoleon yang Sarat Dramatisasi Harta Berdarah Indian Osage dalam Killers of the Flower Moon Alkisah Bing Slamet