Masuk Daftar
My Getplus

Sepakbola Tanpa Batas Gender

Dulu pesepakbola yang berseragam celana kulot dianggap vulgar. Kini, perempuan dengan seragam berjilbab dianggap tak sesuai.

Oleh: Darma Ismayanto | 14 Feb 2012
Sumber: http://www.spartacus.schoolnet.co.uk, http://www.donmouth.co.uk. Ilustrasi: Micha Rainer Pali

KEIKUTSERTAAN perempuan dalam sepakbola bukanlah kemarin sore. Di Tiongkok, sebuah lukisan di dinding kuno menggambarkan para perempuan sudah memainkan sepakbola sejak zaman Dinasti Donghan (25-220 Masehi). Setelah itu geliatnya seolah meredup, terlebih memasuki era Dinasti Qing (1644-1912) yang melarang sepakbola perempuan. Memasuki abad ke-18, para sejarawan mencium adanya aktivitas sepakbola perempuan di Skotlandia. Pertandingannya cukup unik, mempertemukan tim yang sudah menikah dengan yang belum. Pertandingan ini sekaligus menjadi ajang cari jodoh bagi para pria lajang.

Inggris, sebagai penemu cabang olahraga ini, lebih serius lagi. Seiring berkembangnya liga sepakbola modern pria pada 1888, kaum perempuan tak mau kalah. Mereka membentuk tim profesional dan menggelar kompetisi yang cukup prestisius.

Nettie Honeyball adalah perempuan Inggris pertama yang membentuk tim sepakbola profesional. Pada 1894, dia memasang iklan di media-media Inggris yang mengajak sekitar 30 perempuan untuk bergabung dalam British Ladies Football Club (BLFC). Dia dibantu temannya, Florence Dixie, yang kemudian jadi presiden BLFC. Klub ini dihuni perempuan-perempuan kelas menengah. Nettie, yang waktu itu seorang advokat dan pejuang hak-hak perempuan, menggunakan sepakbola sebagai sarana menyuarakan persamaan hak.

Advertising
Advertising

Momen indah terjadi saat digelar pertandingan pada 23 Maret 1895 di daerah Crouch End, London. Sambutannya luar biasa, dihadiri 8.000 penonton. Di masa ini, blus dengan paduan celana kulot hingga sebatas betis menjadi kostum wajib. Sementara betis mereka tertutup benda serupa decker (pelindung tulang kering). Meski berbusana tertutup, perjalanan BLFC bukan tanpa tentangan. Setelah pertandingan pertama mereka, harian The Manchester Guardian menulis: “Kostum yang mereka gunakan cukup menarik perhatian banyak orang... Setelah masa ketertarikan itu memudar, kami tak yakin pertandingan sepakbola perempuan akan tetap ditonton banyak orang.” Namun BLFC terus menggelar pertandingan dan meraih antusiasme penonton.

Meraih sukses di beberapa kota yang disambanginya, perlahan BLFC kehilangan penggemar. Pertandingan di South Shield, Darlington, dan Jesmond hanya ditonton 400 orang. Sepi penonton, kondisi keuangan klub pun mulai goyah. Saat tim tak mampu lagi mengongkosi pertandingan tour keliling, BLFC kembali ke kota asalnya London dan bubar pada 1896. Masa sepakbola perempuan dari kalangan kelas menengah harus berakhir. Denyutnya berdetak kembali saat Perang Dunia I, kali ini dilakoni kaum buruh perempuan.

Pada 4 Agustus 1914, Inggris mendeklarasikan perang melawan Jerman. Karena sebagian besar pria Inggris pergi berperang, kaum perempuan bekerja di pabrik-pabrik untuk memenuhi kebutuhan hidup. Melihat para buruh perempuannya kerap mengisi waktu senggang dengan bermain sepakbola, Dick, Kerr & Co yang memproduksi lokomotif kereta api dan selongsong peluru berinisiatif membentuk tim sepakbola perempuan di Preston pada 1917. Tim besutannya merujuk langsung nama perusahaan, Dick, Kerrs Ladies FC. Richard Witzig dalam bukunya The Global Art of Soccer mengisahkan, sebuah pertandingan sepakbola perempuan yang digelar pada 1920 di Everton antara tim Dick, Kerr Ladies FC melawan tim asal kota Lancashire berjuluk St. Helen Ladies sukses menyedot 53.000 penonton.

Sepakbola perempuan kembali bergelora. Sebuah turnamen yang diperuntukan bagi buruh perempuan pembuat amunisi di timur laut Inggris digelar pada Agustus 1917. Turnamen tersebut berjuluk “Tyne Wear & Tees Alfred Wood Munition Girls Cup” yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan “The Munitionettes′ Cup”. Sayangnya, turnamen ini hanya berumur dua musim.

Kaum konservatif Inggris masih memandang sepakbola perempuan sebagai tontonan vulgar. Sebuah batalion yang disebut “Para Ahli Medis” maju ke depan untuk mencela dengan mengatakan bahwa sepakbola berbahaya bagi kesehatan perempuan. Sementara perempuan-perempuan konservatif mengatakan sepakbola “tak wajar bagi perempuan terhormat”.

Golongan feminis bahkan berada di antara para penentang. Seorang penulis terkenal Madame Sarah Grand (Frances Bellenden Clarke), di harian Daily Chronicle terbitan Newcastle tanggal 25 Agustus 1921, mengatakan, “Gadis bermain sepakbola, tinju, atau senam, dan jenis latihan fisik lain yang terlalu berat, dadanya rata dan ototnya mengeras, penampilannya tidak akan pernah ideal.” Pernyataan ini terbilang kontradiktif karena datang dari seseorang yang melahirkan konsep “perempuan baru” melalui novelnya The Heavenly Twins (1893).

Usai perang, pada 5 Desember 1921 Asosiasi Sepakbola Inggris (FA) mengeluarkan dekrit yang melarang segala aktivitas persepakbolaan perempuan. Alasannya: sepakbola hanya untuk laki-laki. Tak mau mundur, pelarangan tersebut justru berbuah lahirnya Asosiasi Sepakbola Perempuan Inggris (ELFA). Mereka membuat aturan-aturan sepakbola sendiri di luar ketetapan FA. Ketua pertamanya, Len Bridgett, menyumbangkan sebuah piala perak guna mendukung keterselenggaraan turnamen ELFA Cup. Pada musim semi 1922, turnamen ELFA berlangsung, diikuti 24 tim.

Pelarangan serupa dengan alasan yang sama diterapkan Jerman dan Belanda pada 1955. Sebaliknya, Italia, Prancis, dan Denmark tak memberlakukan larangan. Pada 1969 Italia bahkan menggelar kompetisi tidak resmi sepakbola perempuan Eropa, yang kemudian menjadi benih turnamen UEFA Women’s Championship.

Atas tekanan Asosiasi Sepakbola Uni-Eropa (UEFA), pada 1971 FA mencabut larangan dan para perempuan Inggris dapat kembali bermain sepakbola dengan bebas. Begitu pula kaum perempuan di Jerman dan Belanda. Setelah itu, Asosiasi Sepakbola Perempuan Inggris (WFA) yang baru terbentuk pada 1969 menggelar turnamen berjuluk “Mitre Trophy”. Turnamen ini kemudian bermutasi menjadi FA Women’s Cup pada 1993 seiring pembekuan WFA oleh FA.

Melihat perkembangan signifikan, pada 1991 untuk kali pertama Asosiasi Sepakbola Dunia (FIFA) menggelar kejuaraan dunia sepakbola perempuan di China. Amerika Serikat, yang baru membentuk organisasi sepakbola perempuan pada 1970, keluar sebagai juara. Sepakbola perempuan lalu dipertandingkan di Olimpiade sejak 1996.

Menariknya, jika dulu seragam yang tertutup jadi sorotan, kini FIFA justru melarang pesepakbola perempuan menggunakan jilbab. Tim-tim asal Timur Tengah seperti Iran terkena larangan bermain karena menolak melepas jilbab pada putaran kedua kualifikasi Olimpiade 2012.

Bagaimana dengan Indonesia? Sepakbola perempuan masih dipandang sebelah mata. Padahal Indonesia pernah menjadi “macan Asia” pada era 1970 dan 1980-an. Buktinya dari dulu hingga saat ini hanya ada satu nama pesepakbola perempuan yang melekat di telinga: Muthia Datau, yang juga seorang artis. Berposisi sebagai kiper, dia membawa Indonesia meraih posisi keempat pada AFF Women’s Championsip 1977 di Taiwan. Di ajang yang sama di Hongkong pada 1986, tim nasional kembali harus mengubur impian melaju ke babak final setelah tumbang dari Republik Rakyat China dengan skor 9-0. Setelah itu, kiprah sepakbola perempuan Indonesia makin melempem.

Di sisi lain, turnamen sepakbola Galanita (Gabungan Sepak Bola Wanita) yang digelar setiap tahun juga belum mendapat perhatian masyarakat.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Mimpi Pilkada Langsung Jurus Devaluasi dan Deregulasi Radius Prawiro Mobil yang Digandrungi Presiden Habibie Jenderal Belanda Tewas di Lombok Jusuf Muda Dalam Terpuruk di Ujung Orde Radius Prawiro Arsitek Ekonomi Orde Baru Hilangnya Pusaka Sang Pangeran Cerita Presiden RI dan Mobil Mercy-nya Keluarga Jerman di Balik Serangan Jepang ke Pearl Harbor Tanujiwa Pendiri Cipinang dan Bogor