KONSPIRASI. Mulai dari Martin Luther King Jr. hingga Robert Francis ‘Bobby’ Kennedy, pembunuhan yang mengakhiri hidup keduanya itu tak luput kontroversi. Dua tokoh kemanusiaan itu sama-sama jadi “martir” di tahun yang sama, 1968. King dibunuh pada 4 April, sementara Bobby pada 6 Juni.
Cuplikan-cuplikan foto dan video tentang nahasnya kedua tokoh tersebut dijadikan gerbang masuk oleh sutradara Aaron Sorkin untuk menggambarkan iklim politik Amerika Serikat yang pada 1968 jadi salah satu titik krisis politik paling panas. Klimaksnya adalah kerusuhan di sela Konvensi Partai Demokrat di Chicago, 28 Agustus, yang berbuntut pada sebuah persidangan kontroversial yang juga jadi tajuk drama historis garapan Sorkin, The Trial of the Chicago 7.
Alur cerita lantas melompatkan ke lima bulan pasca-kerusuhan. Pada suatu pagi, Richard Schultz (diperankan Joseph Gordon-Levitt) bersama seniornya sesama jaksa penuntut Distrik Selatan Negara Bagian Illinois, Thomas Foran, menanti dengan sabar di sebuah ruang tunggu di Kementerian Kehakiman Amerika. Diiringi bertubi-tubi bunyi mesin ketik milik seorang sekretaris di hadapannya, jaksa Schultz yang terbengong segera tersadar kala seseorang mengganti sebuah foto besar di dinding ruangan. Foto Presiden Lyndon B. Johnson ditukar foto Richard Nixon, presiden terpilih pada Pilpres Amerika 1968.
Setelah itu, jaksa Foran dan Schultz dipanggil ke ruangan jaksa agung federal yang baru, John N. Mitchell. Isu penting yang diobrolkan ketiganya adalah soal kerusuhan yang menurut Mitchell bukan hanya soal kericuhan yang dimulai oleh pihak Kepolisian Chicago, melainkan ada unsur konspirasi. Kasus tersebut ingin diajukan pemerintah federal via Kementerian Kehakiman untuk menjerat delapan aktivis yang –All-Star dari kelompok-kelompok radikal kiri yang menggalang massa untuk melawan kebijakan Perang Vietnam yang terus digulirkan pemerintahan Presiden Johnson– diduga sebagai provokator dan dalang kerusuhan.
Baca juga: Kisah Pahlawan Perang Vietnam yang Dipertanyakan
Mitchell menganggap janggal sejumlah perusuh yang ditangkap tak diajukan ke muka hukum untuk diganjar lebih tegas, tapi hanya dinyatakan bersalah terkait masuk tanpa izin ke tempat tertentu hingga merusak sarana publik. Mitchell ingin perilaku seperti itu tak lagi terulang dan ia ingin para dalang kerusuhan diadili untuk dijadikan contoh.
Begitulah argumentasi Mitchell pada Schultz dan Foran yang akan ditugasi sebagai ujung tombak pihak penuntut. Dakwaan pelanggaran hukum yang bakal jadi “senjatanya” adalah pasal 2101 ayat 18 dari “Undang-Undang Rap Brown” alias Civil Obedience Act of 1968 (UU Ketertiban Umum tahun 1968). Inti dari pasalnya adalah konspirasi lintas batas negara bagian untuk menciptakan kekerasan dengan ancaman pidana 10 tahun penjara.
Schultz sontak mengernyitkan dahi kala diserahkan tumpukan berkas berisi data delapan aktivis yang akan diajukan ke muka hukum, semisal Abbie Hoffman (Sacha Baron Cohen) dan Jerry Rubin (Jeremy Strong) yang mendirikan Yippies/Partai Pemuda Internasional, David Dellinger (John Carroll Lynch) sang pemimpin MOBE/Komite Mobilisasi Nasional untuk Mengakhiri Perang Vietnam, dan Bobby Seale (Yahya Abdul-Mateen II) si ketua Partai Black Panther.
Schultz keberatan lantaran jika tuntutan ini dibawa ke pengadilan, pemerintah justru akan dianggap mengekang hak kebebasan berpendapat. Namun Mitchell bersikeras agar Schultz dan Moran membawa kedelapan aktivis yang acap merongrong kepentingan pemerintah itu diseret ke pengadilan. Kedua jaksa yang ditugaskan itu juga diwajibkan untuk bisa mencari siapa dalang utamanya. Mitchell tak peduli dengan pernyataan awal bahwa provokator kerusuhan adalah pihak polisi. Ia ingin “membuktikan” sebaliknya bahwa dalang utamanya pasti dari kedelapan aktivis itu.
Baca juga: Cerminan Penindasan dalam Waiting for the Barbarians
Kasus itu akhirnya diajukan ke Pengadilan Negeri Chicago, Illinois, dipimpin Hakim Julius Hoffman (Frank Langella) dalam kasus “69 CR 180: United States of America vs David T. Dellinger, et al”. Tujuh dari delapan terdakwa diwakili pengacara William Kunstler (Mark Rylance).
Sidang pertama digelar pada 20 Maret 1969 dan bergulir secara maraton hingga 151 hari persidangan. Di pertengahan, terdakwa Bobby Seale diputuskan akan disidang secara terpisah hingga membuat julukan “Chicago Eight” berganti jadi “Chicago Seven”.
Persidangan dagelan itulah yang ingin disampaikan sang sineas kepada penonton. Untuk mengetahui bagaimana intrik-intrik dan dinamika persidangannya berjalan, lebih baik Anda tonton sendiri The Trial of the Chicago 7. Walau sempat ditayangkan di beberapa bioskop di Amerika secara terbatas pada 25 September 2020 lantaran masih situasi pandemi COVID-19, film ini bisa disaksikan via platform daring Netflix mulai 16 Oktober 2020.
Cerminan Alam Demokrasi Kekinian
The Trial of the Chicago 7 bisa jadi pilihan menarik karena selain disebut-sebut sebagai salah satu film terbaik 2020, film ini bisa mewakili keadaan sosial-politik yang terasa saat ini. Emosi penonton akan dibawa naik-turun oleh beragam adegan yang diiringi music scoring garapan komposer Daniel Pemberton yang kuat menghadirkan suasana era itu.
Garansi itu bukan tanpa sebab. Sorkin sebelumnya gemar menggarap film drama biopik berbau isu sosial, baik sebagai penulis naskah maupun sutradara. A Few Good Men (1992), The American President (1995), Charlie Wilson’s War (2007), hingga The Social Network (2010) merupakan di antara karya-karyanya. Drama serial seperti The West Wing (1999-2006), dan The Newsroom (2012-2014) juga hasil garapannya.
Tak heran bila lewat film ini Sorkin bisa menyelaraskan nuansa iklim politik pada 1968 dengan apa yang terjadi dalam demokrasi saat ini, terutama sejak Donald Trump terpilih sebagai presiden Amerika ke-45 pada 2017. Pembangkang kaum sipil sebagai reaksi dari ancaman kriminalisasi bagi hak kebebasan berpendapat dan maraknya rekayasa dalam proses hukum menjadi nuansa yang kental mewarnai dua era berbeda tersebut.
Baca juga: Captain Marvel, Antara Nostalgia dan Isu Feminisme
Entah disengaja atau tidak, The Trial of the Chicago 7 rilis beberapa bulan pasca-banjir aksi protes “Black Lives Matter”, yang juga memicu kekerasan aparat, dan satu bulan jelang Pilpres Amerika (3 November 2020). Menariknya, perkara serupa tak hanya terjadi di Amerika. Di Hong Kong, Thailand, dan Indonesia demonstrasi massal juga pecah baru-baru ini.
Dalam The Trial of the Chicago 7, Sorkin mempersepsikan Trump seperti Walikota Chicago Richard M. Daley yang menghalalkan segala cara, termasuk kekerasan, agar aksi massa yang digalang delapan aktivis tak mengganggu Konvensi Partai Demokrat di International Amphitheatre, 26-29 Agustus 1968.
“The Trial of the Chicago 7 memang tidak sepenuhnya dimaksudnya hanya tentang 1968. Filmnya juga dimaksudkan terkait yang terjadi hari ini. Aktivitas Jerry Rubin dan Abbie Hoffman juga paralel dengan isu-isu yang diedarkan di media sosial yang lebih deskriptif untuk membangkitkan pembangkangan di antara para pemuda yang awam. Kita ingin tahu bagaimana orang-orang yang menjadi oposan itu akhirnya terinspirasi untuk melawan pihak yang lebih kuat,” terang Sorkin dalam wawancaranya dengan Vogue, 25 September 2020.
Baca juga: Menertawakan Kepedihan Hidup Bersama Joker
Greget The Trial of the Chicago 7 makin terasa dengan penampilan all-out semua aktornya. Selain penampilan apik perlawanan pengacara William Kunstler yang dimainkan Mark Rylance, Sorkin juga salut terhadap akting Jeremy Strong yang memerankan Jerry Rubin.
“Saya tak tahu aktor lain yang sehebat dia (memerankan Kunstler, red.). Namun saya juga tak tahu aktor lain sehebat Jeremy Strong. Dia mengajukan diri untuk bisa terkena gas air mata sungguhan dalam adegan kerusuhannya. Kebanyakan pemeran ekstra sebagai polisi dalam film juga dimainkan aparat Kepolisian Chicago yang sedang tak bertugas. Jeremy juga minta mereka bertindak kasar padanya secara betul-betul, bukan akting belaka,” imbuhnya.
Meski begitu, The Trial of the Chicago 7 tak 100 persen akurat dalam fakta. Ada beberapa dramatisasi di dalamnya. Eksistensi Daphne O’Connor (Caitlin FitzGerald), agen FBI yang menyamar untuk menyusup ke kelompok para aktivis itu dengan berpura-pura jatuh cinta pada Jerry Rubin, misalnya.
Baca juga: Feminisme dalam Enola Holmes
Faktanya, tokoh Daphne murni fiksi. Fakta historis juga menunjukkan tak ada sosok perempuan di antara para pemimpin kelompok aktivis itu. Daphne direkonstruksi dari sosok Robert Pierson, aparat Kepolisian Chicago. Sorking “menukar” sosok Pierson dengan Daphne untuk mengisi kekosongan tokoh perempuan agar filmnya tak terlalu maskulin.
Dramatisasi juga dilakukan dalam adegan jalannya persidangan. Sebagian ada yang ditambahkan sebagai bumbu penguat agar dramanya bisa lebih terasa gregetnya. Contohnya adegan ketika Tom Hayden menyebutkan satu per satu dari 4.500 tentara Amerika yang tewas di Vietnam dalam persidangan terakhir sebelum vonis. Adegan itu tak ada dalam persidangan asli.
“Di akhir film saya ingin Anda (penonton) merasakan harapan dengan sangat jelas. Bahwa pergerakan hak sipil pada 1960-an memang berjalan pedih dan tak semestinya harus dialami lagi, walau yang terjadi sekarang adalah sebaliknya. Seperti membangun sebuah rumah. Ketika hampir selesai, sekelebatan angin berhembus dan merobohkannya lagi,” tandas Sorkin.
Sosok Pengacara Kontroversial
Hal terpenting dari kekurangan The Trial of the Chicago 7 adalah latar belakang Kunstler (Mark Rylance), pengacara HAM paling kontroversial di era 1960-an. Bila latar belakang delapan terdakwa mendapat ruang, Sorkin tak menyediakan sedikit pun untuk Kunstler yang sampai merelakan waktu, tenaga, dan emosinya dalam pengadilan itu tanpa dibayar. Sorkin hanya memberi secuil clue soal latar belakang Kunstler.
Padahal, figur kelahiran New York, 7 Juli 1919 itu sejak tahun 1957 sudah menjadi pengacara bagi orang-orang yang dikriminalisasi. Saat itu ia membela William Worthy, aktivis cum koresponden suratkabar Baltimore Afro-American.
Sejak saat itu Kunstler memantapkan diri untuk jadi pengacara HAM bagi para aktivis yang dikriminalisasi. Salah satu yang diadvokasinya adalah H. Rap Brown alias Hubert Gerold Brown alias Jamil Abdullah al-Amin, mantan anggota Partai Black Panther yang jadi ketua Komite Koordinasi Pelajar Anti-Kekerasan.
Baca juga: Layar Lebar si Pemeran Black Panther
Kunstler merasa makin “hidup” setelah terjun mengadvokasi perkara-perkara HAM, terutama setelah bertemu Dr. Martin Luther King Jr. pada 1961 di Konferensi Kepemimpinan Kristen Selatan. Di forum itu, King menyuarakan “Freedom Riders”, gerakan untuk menghapuskan pemisahan berdasarkan ras di bus-bus.
“Fred Marks, salah satu teman dekat Kunstler, mengenang: ‘Ia benar-benar hidup dalam pergerakan HAM. Inilah yang sepanjang hidupnya ia selalu kejar. Pergerakan HAM menghadirkan energi tersendiri dalam hidupnya,’” tulis David J. Langum dalam William M. Kunstler: The Most Hated Lawyer in America.
“Periode 1962-1965 Kunstler praktis hidup di atas pesawat, terbang dari selatan, kemudian kembali lagi ke New York, di manapun terjadi kriminalisasi terhadap aktivis. Kunstler menganggap dirinya sebagai pengacara keliling dalam tradisi kolonial Amerika. Kunstler juga sering berpartisipasi dalam kampanye-kampanye King di Albany, Georgia (1962-1963; Danville, Florida (1964), Birmingham, Alabama (1963); dan St. Augustine, Florida (1964).”
Di kota-kota itulah Kunstler mendampingi para aktivis yang ditangkap dan dimejahijaukan, hingga mengatur pembebasan bersyarat. Bersama istrinya, Lotte, Kunstler acap terlibat dalam aksi penggalangan dana untuk kampanye-kampanye HAM warga Afro-Amerika.
“Berdasarkan reputasinya sebagai advokat HAM itulah, Dr. King memintanya menjadi anggota tim khusus kuasa hukum SCLC pimpinan King yang artinya, harus selalu siap kapanpun jasanya dibutuhkan. Permintaan itu jadi awal hubungan keduanya selama beberapa tahun sepanjang aktivitas King,” ungkap Leonard S. Rubinowitz dalam A Notorious Litigant and Frequenter Jails: Martin Luther King, Jr., His Lawyers and the Legal System.
Baca juga: Ironi Pendiri McDonald's dalam The Founder
Pada 16 Desember 1961, King ditangkap bersama 700 aktivis pasca-berdemonstrasi di Albany yang berujung kerusuhan yang dipicu kekerasan aparat sehari sebelumnya. Kunstler mengadvokasinya namun gagal membebaskan King yang divonis kurungan 45 hari atau denda USD178 pada Juli 1962. King memilih dibui dan bahkan menolak uang jaminan pembebasan bersyarat.
Latar belakang itu jadi penting buat memahami betapa geramnya Kunstler dalam persidangan “The Chicago Seven”. Protes-protes kerasnya membuatnya beberapa kali masuk catatan tindakan penghinaan di muka sidang.
Ledakan kemarahan Kunstler terakhir yakni kala melihat terdakwa Bobby Seale disiksa petugas keamanan yang diperintah hakim untuk “penertiban persidangan” pada 30 Oktober 1968. Setelah disiksa, Seale kembali didudukkan di kursi terdakwa dengan disekap mulutnya serta tangan dan kakinya dirantai ke kursinya.
Hakim merasa terganggu atas protes-protes Seale. Seale protes karena persidangan berjalan tanpa pengacaranya, Charles R. Garry, yang absen karena sedang naik meja bedah. Permintaan Seale untuk membela diri pun ditolak hakim.
“Yang Mulia, apakah kita bisa menghentikan penyiksaan era abad pertengahan yang terjadi di ruang sidang ini? Saya pikir ini memalukan. Ini bukan lagi pengadilan yang beradab. Melainkan ini adalah ruang penyiksaan abad pertengahan!” kata Kunstler dalam The Trial of the Chicago 7: The Official Transcript yang dirangkum Mark L. Levine dkk.
Data Film:
Judul: The Trial of the Chicago 7 | Sutradara: Aaron Sorkin | Produser: Stuart M. Besser, Matt Jackson, Marc Platt, Tyler Thompson | Pemain: Sacha Baron Cohen, Eddie Redmayne, Joseph Gordon-Levitt, Frank Langella, Mark Rylance, John Carrol Lynch, Jeremy Strong, Michael Keaton, Yahya Abdul-Mateen II | Produksi: Paramount Pictures, DreamWorks Pictures, Cross Creek Pictures, Marc Platt Productions | Distributor: Netflix | Durasi: 130 Menit | Rilis: 16 Oktober 2020 (Netflix)
Baca juga: The Two Popes, Dua Paus dalam Sejarah Kelam