Omnibus Law dari Masa Lampau
Omnibus Law dianggap sebagai undang-undang anti-demokrasi. Ironisnya pertamakali eksis di Tanah Paman Sam yang acap mempromosikan demokrasi.
SEJAK masih jadi RUU, isu Omnibus Law Cipta Kerja (OLCK) selalu ramai oleh pro-kontra. Maka begitu disahkan menjadi undang-undang, OLCK menuai penolakan di sebagian masyarakat hingga memantik aksi turun ke jalan yang berujung pada kerusuhan di sejumlah provinsi pada Kamis (8/10/2020).
Omnibus Law RUU Cipta Kerja mulai jadi polemik setelah penggodokannya dimunculkan lewat Sidang Umum MPR RI pada Agustus 2020. Terdapat ribuan pasal yang merupakan turunan dari 70 UU di dalamnya. Pemerintah sebagai pengajunya berdalih untuk mempermudah investasi demi pertumbuhan ekonomi.
Klaster ketenagakerjaan yang sangat berkaitan dengan nasib buruh jadi salah satu pemicu kerusuhan. Terlebih, ada kesimpangsiuran informasi di masyarakat terkait isi RUU Cipta Kerja yang di beragam linimasa tak bisa diakses publik.
Baca juga: Koeli Ordonantie, UU Cipta Kerja Ala Kolonial
Dalam program Mata Najwa bertajuk “Mereka-Reka Cipta Kerja”, Rabu (7/10/2020), Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar mengkritik tajam metode omnibus law karena di Indonesia tak ada landasan hukumnya.
“Kita enggak ada dasar hukum untuk membahas Omnibus Law. UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak mengakomodir tata cara pembentukan omnibus. Omnibus ini tidak berangkat dari gagasan, ini berangkat dari kepanikan kegagalan negara mengelola negaranya, mengelola pemerintahannya, akhirnya muncullah ide omnibus dari Sidang Umum MPR,” ujar Haris.
Menanggapi Haris, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menyebut, situasi pandemi COVID-19 memperparah kebutuhan akan lapangan pekerjaan di Indonesia. Oleh karena itu metode omnibus law dipilih sebagai solusi agar mempermudah masuknya investasi asing yang selama ini acap terbentur berbagai aturan sektoral.
“Investasi masuk itu kan problem utama terjadi apa yang disebut dengan ego sektoral. Kita akui bahwa terjadi ego sektoral antar-kementerian-lembaga, aturan tumpeng-tindih antara kabupaten, kota, provinsi. Itulah salah satu kenapa UU Omnibus Law ini lahir,” timpal Bahlil.
“UU ini melakukan sinkronisasi lewat norma standar pelayanan yang ada. Dulu sekalipun kita punya izin, di pusat sudah ada, tapi kalau izin lokasi di daerah belum diteken bupati/gubernur, itu enggak ada instrumen pusat untuk bisa melakukan kontrol,” sambungnya.
Baca juga: Di Balik Pendudukan Gedung DPR
Sinkronisasi jadi kata kunci yang diamini Ketua Badan Legislatif DPR Supratman Andi Agtas. “Sinkronisasi ini adalah terkait perizinan dasar. Ini kan tumpang-tindih di antara kementerian satu dan kementerian lain. Ini yang kita sinkronkan. Jadi benar 79 yang akhirnya jadi 73 UU yang disinkronisasi dari sisi untuk perizinan perusahaan. Kalau mau dengarkan semua KL (klaster), semua kewenangannya enggak akan lepas. Itulah pentingnya omnibus, mensinkronkan satu kewenangan yang bisa diambil dalam satu keputusan yang tepat,” tuturnya.
Pertanyaannya, apa itu Omnibus Law dan bagaimana urgensinya sehingga pembahasan RUU-nya dikebut oleh DPR hingga disahkan pada pada Senin (5/10/2020) lalu?
Mula Omnibus Law dari Tanah Paman Sam
Menurut pakar linguistik asal Swedia Tore Janson dalam A Natural History of Latin, lema omnibus berakar dari bahasa Latin yang artinya “untuk semua”. Dalam bidang legislasi dan hukum tata negara, omnibus law (bill) diartikan sebagai satu paket UU yang meliputi beragam perbedaan regulasi sektoral. Terkadang, omnibus law dianggap anti-demokrasi lantaran membatasi peluang untuk perdebatan.
Walau kemunculannya di Indonesia menimbulkan bara, metode omnibus law bukan perkara asing di berbagai belahan dunia. Indonesia jadi satu “kasus” baru lantaran omnibus law digunakan untuk UU Cipta Kerja.
Baca juga: Volksraad, DPR ala Hindia Belanda
Indonesia mengikuti beberapa negara lain yang menggunakan omnibus law sebagai metode pembuatan legislasi. Pada 2016, Selandia Baru menggunakanya terkait Kemitraan Trans-Pasifik. Sebelumnya, Serbia juga menggunakannya saat menangani status otonomi Vojvodina pada 2002. Jauh sebelum itu, Kanada menggunakan metode omnibus law untuk mengamandemen UU Hukum Pidana (1968), Republik Irlandia juga menggunakannya ketika dalam proses amandemen kedua UUD-nya (1941). Amerika Serikat bahkan pernah empat kali menggunakannya sejak pertengahan abad ke-19.
Omnibus law pertama adalah omnibus law tentang Compromise of 1850, paket undang-undang yang terdiri dari lima UU terpisah yang disahkan Kongres Amerika Serikat pada September 1850. UU kompromi itu diketuk palu demi merampungkan perdebatan berkepanjangan di parlemen terkait status satu wilayah yang diserahkan Meksiko pasca-Perang Amerika-Meksiko (1846-1848) via Traktat Guadalupe Hidalgo, 2 Februari 1848.
Wilayah luas di barat daya Amerika yang dimaksud adalah wilayah yang kini terpecah jadi negara bagian California, Utah, Arizona, New Mexico, Colorado, dan Wyoming. Yang dipermasalahkan tak lain menyangkut perkara apakah wilayah tersebut akan dijadikan negara bagian bebas atau wilayah yang masih melegalkan perbudakan.
“Traktat itu mengubah wilayah Amerika lebih luas hanya dalam satu hari dari seluas 1.753.588 mil per segi menjadi 2.944.337 mil per segi – meluas hampir 68 persen dari pesisir timur ke barat. Di satu sisi, hal itu jadi kemenangan tersendiri tapi di sisi lain, jadi ancaman kehidupan bernegara,” tulis sejarawan John C. Waugh dalam On the Brink of Civil War: The Compromise of 1850 and How It Changed the Course of American History.
“Fakta itu memperbarui kebuntuan sektoral yang pahit dan lagi-lagi membahayakan keseimbangan politis yang rapuh antara negara-negara bagian yang melegalkan perbudakan dan yang tidak, di mana persoalan itu sejak lama memecah-belah persatuan negara-negara bagian di selatan dan utara,” tambahnya.
Baca juga: Pelanggaran Amerika terhadap Resolusi PBB soal Yerusalem
Namun, percikan-percikan yang muncul dari wilayah baru itu mulanya tak disadari Presiden Zachary Taylor (1849-1850). “Pada awal Desember (1849) ia mengatakan: ‘Amerika Serikat saat ini adalah pemerintahan permanen paling stabil di seluruh dunia.’ Faktanya, di antara 31 anggota kongres terpilih di Washington, masih bertikai hebat soal isu apakah perbudakan diperbolehkan atau tidak di wilayah-wilayah baru ini,” imbuh Waugh.
Melihat perdebatan berkepanjangan itu, Henry Clay Sr., senator dari Negara Bagian Kentucky, pada 29 Januari 1850 mengemukakan gagasan UU Omnibus sebagai langkah kompromi. Dalam gagasan omnibusnya itu terkandung delapan resolusi terpisah.
“Delapan resolusi ini dileburkan bersama-sama dengan tujuan menciptakan kompromi yang bersahabat tentang semua persoalan kontroversial antara negara-negara bagian yang bebas dan negara-negara bagian yang melegalkan perbudakan,” ungkap Clay, dikutip Gary Matthews dalam More American Than Southern.
Usulan omnibus Clay itu mengundang polemik hingga enam bulan setelahnya. Terlebih salah satu isi omnibus yang diusulkannya menyinggung klaster terkait UU Pelarian Budak tahun 1793, yang substansinya adalah negara-negara bagian Utara yang bebas perbudakan wajib mengembalikan para budak yang kabur dari negara-negara bagian Selatan.
“Pada 22 Juli (1850) Clay menyampaikan pidato terakhirnya di Senat, menyerukan disahkannya UU Omnibus. Jika disahkan, California akan menjadi negara bebas budak seperti halnya negara-negara bagian Utara, dan penghapusan perdagangan budak di Washington DC, sementara negara-negara bagian Selatan akan mendapat kepastian yang lebih tegas terkait UU Pelarian Budak. Kompromi ini, ditegaskan Clay, merepresentasikan reuni dari persatuan (Amerika),” lanjutnya.
Baca juga: Edward Colston Tokoh Perbudakan dan Rasisme
Sayangnya, usulan Clay justru mendapat tentangan baik dari para senator dari negara bagian Utara maupun Selatan. Sepekan setelah pidatonya itu, usulan omnibus Clay ditolak mayoritas kongres.
Kendati begitu, metode serupa diusulkan lagi oleh senator dari Negara Bagian Illinois Stephen Douglas. Douglas membongkar-pasang poin-poin dari sejumlah UU di paket omnibus awal usulan Senator Clay untuk menyusun paket UU baru guna diajukan kembali ke kongres.
Menukil biografi The Life of Stephen A. Douglas karya William Gardner, lima poin UU terpisah yang disusun Senator Douglas terkandung substansi antara lain: Diizinkannya praktik perbudakan di Washington DC, namun perdagangan budaknya dilarang; Menetapkan berdirinya negara bagian California sebagai negara bagian yang bebas perbudakan; Menetapkan berdirinya Utah dan New Mexico sebagai negara bagian yang menentukan sendiri legislasi perbudakan; Menentukan perbatasan baru negara bagian Texas dengan merujuk Perang Amerika-Meksiko dan kompensasi USD10 juta kepada negara bagian New Mexico terkait beberapa area yang diklaim Texas; Menetapkan UU Pelarian Budak tahun 1850 yang memberi kewenangan warga sipil menangkap para budak pelarian, serta menolak hak hukum budak di pengadilan.
Baca juga: Kala Presiden Amerika Terpapar Virus Influenza
Paket UU itulah yang pada medio September 1850 disetujui dan disahkan kongres. Salah satu faktor yang membuatnya disahkan tak lain adalah digunakannya hak eksekutif Presiden Millard Fillmore yang sedari awal memberi dukungan. Fillmore berharap paket “Compromise of 1850” itu bisa menghindarkan Amerika dari perang saudara.
“Klimaks perdebatan memang pada akhirnya berlalu, namun di balik itu Kongres Amerika sejatinya masih terbelah. ‘Omnibus’ telah disahkan, itupun setelah fragmen-fragmen awalnya dibongkar dan disusun kembali menjadi beberapa UU terpisah. Kompromi besar telah tercapai dan persoalan perbudakan dinyatakan selesai,” tulis Gardner.
Namun, kompromi via UU omnibus itu hanya bertahan satu dekade. Perang Saudara Amerika pecah setelah itu (1861-1865). Salah satu penyebabnya adalah, 11 negara bagian memutuskan memisahkan diri dan mendirikan Confederate States of America tak lama setelah Abraham Lincoln, tokoh yang ingin menghapuskan perbudakan, terpilih jadi presiden tanpa pemungutan suara di 10 negara bagian di Selatan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar