SEORANG hakim anonim (diperankan Mark Rylance) di sebuah kota terpencil di perbatasan sebuah kekaisaran mencoba bersikap tenang walau pikirannya dipenuhi tanda tanya. Di hari biasa itu, ia menyambut kedatangan Kolonel Joll (Johnny Depp), perwira Third Bureau, semacam kesatuan polisi rahasia dari ibukota kekaisaran.
Dalam pikirannya sang hakim bertanya-tanya, buat apa seorang kolonel dari Third Bureau sampai datang ke kota terpencilnya yang berpopulasi multietnis dan nyaris jarang terjadi tindak kejahatan. Tetapi belum sempat ia menyelesaikan isi pikirannya, rombongan sang kolonel tiba.
Baca juga: Setelah Multatuli Pergi, Dokumenter Pasca-kolonialisme di Lebak Banten
Dari dalam kereta kuda, sang kolonel keluar dengan wajah tampak dingin. Sejak saat itu, situasi di kota terluar kekaisaran itu tak lagi sama. Begitulah sutradara Ciro Guerra memulai film bertajuk Waiting for the Barbarians. Film drama itu diangkat dari novel dengan judul serupa karya novelis Afrika Selatan John Maxwell Coetzee. Sang novelis juga terlibat sebagai penulis naskahnya.
Menariknya, sebagaimana di novelnya, kisahnya dibuat tanpa detail latar belakang lokasi dan titimangsa. Namun jika diperhatikan sekilas, kota terpencil di perbatasan sebuah kekaisaran itu bisa ditebak berada di kawasan Asia Tengah dan sekiranya berkisar di antara akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20.
Kekaisaran itu mengalami paranoia bahwa suku-suku barbar di luar perbatasan dikhawatirkan akan memberontak. Isu ini yang ternyata membuat Kolonel Joll si perwira bengis datang dari ibukota. Ia juga mengklaim lebih punya kuasa ketimbang sang hakim yang hanya seorang pejabat sipil.
Klaim lebih berkuasa membuat Joll bisa seenaknya bertindak. Seperti misalnya menyiksa seorang pria dan keponakannya yang dituduh pencuri domba dengan keji sampai mati. Joll juga membawa pasukan mendatangi habitat suku barbar sang tertuduh yang tak bersalah itu dan menangkapi warganya dan mencap mereka sebagai tawanan perang. Nasib mereka tak berbeda dari sang tertuduh dan keponakannya sebelumnya, disiksa tanpa peri kemanusiaan.
Baca juga: The Dreamers, Drama Vulgar di Tengah Prahara Politis
Betapapun sang hakim protes, ia tak berdaya. Namun ketika Kolonel Joll melakukan ekspedisi ke luar batas kota, sang hakim mencoba membebaskan para “tawanan perang” itu. Banyak yang memilih kabur ke habitat sukunya, namun beberapa yang terluka parah hidup menggelandang di kota. Salah satunya, seorang gadis yang kedua sendi kakinya patah akibat penyiksaan luar biasa.
Sang gadis barbar (Gana Bayarsaikhan) yang hidup terlunta-lunta di jalan, ditemukan dan dirawat sang hakim. Seiring pulihnya si gadis, hakim mengantarnya kembali ke habitat sukunya sekaligus menjelaskan kesalahpahaman antara kaum imperialis dan suku barbar dengan para tetua barbar.
Tetapi sekembalinya sang hakim ke kota, ia ditangkap Opsir Mandel (Robert Pattinson) dengan tuduhan pengkhianatan dan mata-mata suku barbar. Di dalam tahanan, sang hakim diperlihatkan penyiksaan brutal para “tawanan perang”. Tuduhan berkawan dengan musuh kian diyakini Opsir Mandel dan Kolonel Joll sebagai tindakan berkhianatnya kepada kekaisaran.
Baca juga: Robert Pattinson dan Para Pemeran di Balik Topeng Batman
Sang hakim yang awalnya sekadar ditahan, kini juga ikutan disiksa di muka publik. Bagaimana kelanjutannya? Baiknya Anda tonton sendiri Waiting for the Barbarians yang sudah ditayangkan serentak di seluruh dunia mulai 7 Agustus 2020. Mengingat masih masa pandemi virus corona dan karenanya tak bisa diputar di bioskop, penikmat film tanah air bisa menyaksikannya secara eksklusif di platform digital Mola TV.
Cerminan Paranoia Kolonial
Waiting for the Barbarians menarik secara sinematografi dan substansi. Meski alur ceritanya sederhana, tone film yang terang namun halus dengan latar belakang gurun dan stepa luas ditambah iringan music scoring Giampiero Ambrosi, menambah greget adegan-adegan dramatis.
Sederhana namun punya pesan dalam sebagaimana novelnya yang rilis pada 27 Oktober 1980 di Inggris. Meski Coetzee mengambil judul sama dengan judul puisi Yunani karya Constantine Peter Cavafy, inti ceritanya lebih dipengaruhi novel The Tartar Steppe karya Dino Buzzati yang terbit empat dekade sebelum Waiting for the Barbarians.
Kendati dalam kisahnya Coetzee tak menyebut nama kekaisaran, nama kota ataupun titimangsa, Coetzee menuliskannya sebagai cerminan situasi kaum penindas dan tertindas di negeri kelahirannya yang digulirkan dengan sistem Apartheid, utamanya di era 1970-an. Dalam sebuah ulasan novelnya di suratkabar The New York Times, 18 April 1982, kolumnis Irving Howe menyebutnya “A Stark Political Fable of South Africa” (Fabel Politik Afrika Selatan).
Baca juga: Kisah Terlupakan Perjuangan AURI dalam Kadet 1947
“Bayangkan rasanya hidup sebagai seorang penulis di Afrika Selatan: di tengah bisingnya berita-berita tentang ketidakadilan rasial, mengalami perasaan bahwa hidup seseorang tergadaikan dalam masyarakat yang larut dalam kebencian, sebuah kemarahan yang melelahkan sampai menjadikannya depresi. Tidak ada perasaan lega kecuali diam atau pindah ke lain negeri,” tulis Howe.
“Coetzee mengisahkan sebuah kekaisaran khayalan, berlatarbelakang tempat dan waktu yang tak spesifik, namun bisa sangat diterka sebagai Afrika Selatan versi universal. Hal ini membuat Coetzee bisa memberi jarak antara estetika dan subyeknya meski ia sendiri tak bisa keluar dari keburukan dan kekacauan masyarakat lokal,” imbuhnya.
Senada dengan Howe, David Atwell dalam biografi J.M. Coetzee: South Africa and the Politics of Writing menguraikan, karya Coetzee itu jadi penggambaran situasi pemerintah Afrika Selatan di masa itu yang mengalami paranoia, baik terkait perkara dari dalam maupun dari luar. Di dalam negeri, sejak awal 1970 muncul banyak aksi dan gerakan kaum pekerja ilegal dan resesi yang memperburuk angka pengangguran.
Baca juga: Kolberg, Film Perang di Tengah Perang
Situasi tersebut diperparah dengan Pemberontakan Soweto 16 Juni 1976. Sementara, faktor luar yang berpengaruh adalah goncangan pemerintahan di Portugal pada 1974, menyebabkan kolapsnya koloni-koloni Mozambik dan Angola. Perang gerilya berlangsung dekat perbatasan Afrika Selatan. Periode itu juga diguncang perang saudara di Zimbabwe yang mengantarkan kemerdekaannya pada 1980.
“Sebagai responnya, pemerintah Apartheid melancarkan sejumlah kebijakan yang lebih rasis dan berbau teror terhadap sejumlah organisasi anti-Apartheid. Kelas menengah juga didorong untuk mempersekusi kaum kulit hitam, utamanya para aktivis pergerakan Black Consciousness (BCM) dan dianggap sebagai garda melawan ‘komunisme’. Saat itu pemerintah Apartheid tengah mengedepankan kebijakan-kebijakan anti-komunisme,” tambahnya.
Lorena Russell dalam “Waiting for the Barbarians: Narrative, History, and the Other” yang dimuat dalam Exploration and Colonization menyingkap, inti kisah itu sejatinya tak sekadar mencerminkan Apartheid di Afrika Selatan, namun juga gambaran umum penindasan oleh pihak-pihak neo-imperialis, neo-kolonialis, serta penguasa tiran. Semisal di India di masa kekuasaan Inggris, Jerman di rezim Nazi, Kamboja di rezim Pol Pot, atau Indonesia di masa Orde Baru.
Itu merupakan gambaran lebih universal bahwa sebuah negeri selalu membutuhkan musuh bersama dari luar untuk bisa bertahan dan menguatkan tatanannya. Elemen-elemen masyarakat di bawah bisa digiring pemerintah untuk tetap percaya dan menyokong kepentingan pemerintah untuk memerangi ancaman, entah benar atau hanya isu yang direkayasa. Dalam film dan novel Waiting for the Barbarians, ancaman itu dihadirkan lewat kaum barbar.
Baca juga: Bumi Manusia Rasa Milenial
“Konteksnya adalah pergulatan antara pihak kekaisaran dan kaum barbar, menyingkap sejumlah dinamika sentral secara ideologis dan psikis terhadap kolonialisme. Narasinya memancing pembaca pada pertimbangan yang kompleks terkait kekuasaan, imperialisme dan kolonisasi, serta isu-isu pascakolonial yang berpusat pada jarak yang memisahkan satu golongan dan golongan lainnya,” papar Russell.
“Sebagian besar nilai-nilai yang dikiaskan Waiting for the Barbarians bisa teraplikasi luas dalam sejumlah situasi. Afrika Selatan era Apartheid tak hanya jadi tempat di mana masyarakat hidup dalam rezim yang terlibat pelanggaran HAM. Termasuk salah satunya Amerika di era (Presiden George Walker) Bush, ketika teknik-teknik penyiksaan yang diizinkan negara diimplementasikan sebagai bagian dari ‘Perang Melawan Teror’,” tandasnya.
Data film:
Judul: Waiting for the Barbarians | Sutradara: Ciro Guerra | Produser: Monica Bacardi, Michael Fitzgerald, Andrea Iervolino, Olga Segura| Pemain: Mark Rylance, Johnny Depp, Robert Pattinson, Gana Bayarsaikhan, Greta Scacchi, David Dencik, Sam Reid, Harry Melling | Produksi: Iervolino Entertainment, AMBI | Durasi: 112 Menit | Rilis: 7 Agustus 2020.