DENGAN mendekap selimut dan mantel seadanya, sejumlah tawanan perang Jerman turun dengan hati-hati dari tangga kapal. Udara di Pelabuhan Hoboken, New Jersey, Amerika Serikat di awal Januari 1945 itu dingin dan bersalju.
Roman muka muram para tawanan itu seketika berubah kala salah seorang di antara mereka melihat papan iklan di pelabuhan yang sangat familiar buat mereka. Dari kasak-kusuk satu tawanan yang kemudian menyebar, hampir semua takjub dan saling menunjuk ke reklame itu hingga membuat para penjaga keheranan.
“Seorang penjaga berteriak memerintahkan para tawanan untuk tenang dan menuntut penjelasan. Seorang tawanan yang bisa berbahasa Inggris menguraikan, ‘kami terkejut. Bahwa kalian juga punya Coca-Cola di sini’,” tulis Mark Pendergrast dalam For God, Country and Coca-Cola: The Definitive History of the Great American Soft Drink and the Company That Makes It.
Anekdot itu, lanjut Pendergrast, populer di antara para bos minuman soda termashyur itu pasca-Perang Dunia II. Para tawanan itu minim pengetahuan tentang Coca-Cola merupakan produk yang lahir di Amerika.
Baca juga: Fanta: Fantasi Perang
“Tetapi cerita yang signifikan sesungguhnya hanya bisa dijelaskan melalui konteks Jermannya Hitler. Demi bisa berjaya di Jerman Nazi, waralaba-waralaba Cola mesti mendongkrak kampanye besar-besaran untuk memisahkan diri mereka dari akar yang berbau Amerika,” lanjutnya.
“Sementara soft drink itu menjadi simbol kebebasan Amerika yang selalu jadi dambaan setiap serdadu Amerika yang pergi berperang, logo Coca-Cola yang sama dengan paten bertengger bersebelahan dengan swastika. Kisah Coca-Cola Jerman yang bertahan selama maupun pasca-Perang Dunia II berpusar pada satu sosok sentral –Max Keith, figur yang paling mewakili Coca-Cola sekaligus kolaborator Nazi,” tambah Pendergrast.
Booming Berkat Olimpiade
Siapa tak meneteskan air liur melihat botol Coca-Cola dingin dengan bulir-bulir air yang menyegarkan? Der Führer Adolf Hitler pun tak kuasa menahannya hingga acap meneguk minuman berkarbonasi itu sambil menonton film Gone with the Wind di bioskop pribadinya. Kisah itu takkan ada jika Coca-Cola tak survive di tengah persaingan keras di masa “gelap” itu.
Lahir di Amerika pada 1886, Coca-Cola hadir di Jerman sejak 1929 atau empat tahun sebelum Hitler menjabat kanselir. Cabang Coca-Cola di Jerman, Coca-Cola GmbH, dibuka ekspatriat Amerika Ray Rivington Powers. Sepeninggal Powers yang wafat pada 1938, Keith meneruskan perjuangan Powers memimpin Coca-Cola Jerman.
Keith dipercaya sebagai tangan kanan Powers sejak 1933. Sebagai manajer pelaksana, Keith tak menyia-nyiakan Olimpiade Berlin 1936 untuk membesarkan brand-nya. Sponsorship Coca-Cola sejak Olimpiade Amsterdam 1928 dilanjutkannya di Berlin dengan menjadi salah satu sponsor utama pesta olahraga terbesar sejagat itu.
Baca juga: Cola Islami Melawan Hegemoni
“Olahraga menyediakan sebuah kesempatan memperkenalkan Coca-Cola, sebuah cara untuk menyebarkan promosi,” ujar Walter Oppenhoff yang pernah bekerja di bagian legal Coca-Cola GmbH, dikutip Jeff Schutts dalam “Marketing Coca-Cola in Hitler’s Germany” yang dimuat di Selling Modernity: Advertising in Twentieth-Century Germany.
Spanduk-spanduk dan papan reklame Coca-Cola pun bertebaran di Berlin. Topi-topi sun-visor para atlet yang dipakai jelang perlombaan pun disediakan Coca-Cola. Bahkan pita garis finis cabang atletik juga menampilkan logo Coca-Cola.
Namun, komposisi kafein Coca-Cola dimanfaatkan para kompetitornya untuk menjatuhkan Coca-Cola dengan memanfaatkan aturan larangan mengemudi di bawah pengaruh alkohol dan kafein berlebihan yang tengah digalakkan Jerman.
Baca juga: Etalase Nazi di Olimpiade Berlin 1936
Akibatnya, Oppenhoff bolak-balik bernegosiasi dengan para birokrat di Kementerian Kesehatan Jerman Nazi. Sementara, Keith meluncurkan kampanye guna menjelaskan bahwa Coca-Cola tak berbahaya untuk kesehatan.
Ide kampanye Keith namun justru dianggap kurang tepat oleh Presiden Coca-Cola Robert Woodruff. “Woodruff yang datang ke Olimpiade merespon: ‘Semestinya jangan pernah melakukan kampanye defensif. Itu sama saja memberi martabat pada saingan-saingan Anda dan memperpanjang isu itu sendiri’,” tulis Schutts.
Nasihat Woodruff membuat Keith mengubah haluan kampanyenya. Ia menyebarkan brosur-brosur Coca-Cola dengan gaya baru, yang menyantumkan informasi tentang fakta-fakta event dan para atlet di Olimpiade.
Sebulan pasca-Olimpiade, pergulatan Coca-Cola dimulai. Hal itu dipicu oleh kebijakan “Four Year Plan” (Rencana Pembangunan Empat Tahun) yang diambil Presiden Reichstag (parlemen Jerman Nazi) Hermann Goering pada September 1936. Kebijakan itu berisi antara lain penghentian ekspor-impor dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing.
“Keith dan Oppenhoff dalam suratnya kepada Kantor Pendapatan Negara berusaha menjelaskan bahwa Coca-Cola GmbH adalah perusahaan bisnis Jerman, walau faktanya sebagian besar masih dimiliki The Coca-Cola Company (di Amerika) dan soal itu, Oppenhoff juga menguraikan bahwa modal dari asing itu sekadar berupa ‘pinjaman’,” sambung Pendergrast.
Baca juga: Hermann Goering, Sang Tiran Angkasa Nazi Jerman
Kebijakan Goering juga mengakibatkan sulitnya impor bahan baku konsentrat untuk Coca-Cola. Ini membuat Keith kalang kabut. Pasalnya Coca-Cola tengah booming, di mana pada permulaan 1936 mereka sudah bisa menjual satu juta peti Coca-Cola di seluruh pelosok Jerman. Kebijakan Goering membuat Coca-Cola GmbH takkan bisa menjawab permintaan pasar lagi.
“Di sinilah Woodruff turun tangan. Melalui koneksi-koneksinya di perbankan New York, Woodruff bergerak di belakang layar untuk memengaruhi Goering. Ia meminta bantuan Henry Mann, perwakilan Jerman untuk sejumlah bank di Amerika, untuk meyakinkan Goering agar beredia mengizinkan impor konsentrat Coca-Cola,” lanjutnya.
Walau tak sepenuhnya berhasil, Coca-Cola GmbH diizinkan mengimpor “Merchandise No. 5” dan “7X dari sekian bahan konsentrat dari Amerika. Dua bahan inilah yang lantas jadi bahan pokok untuk Keith memproduksi sendiri bahan konsentratnya.
Disukai Hitler
Tidak hanya soal negosiasi di bawah tangan dengan Goering yang mesti dilewati Coca-Cola Jerman. Banyak perusahaan soft drink imitasi yang mencoba menjatuhkannya. Salah satunya Afri-Cola, produk minuman serupa Coca-Cola milik Karl Flach. Flach yang juga anggota Deutsche Arbeitsfront (DAF) atau Serikat Buruh Jerman Nazi, menuduh Coca-Cola sebagai perusahaan Yahudi. Segala yang berbau Yahudi haram di Jerman selama di bawah kekuasaan Hitler.
“Pada 1936 Flach bersama para perwakilan DAF bertamu ke Amerika dalam rangka tur ke sejumah perindustrian Amerika. Powers juga mengatur kunjungan mereka ke pabrik Coca-Cola di New York, di mana Flach memerhatikan tutup botolnya terdapat tulisan Ibrani mengindikasikan bahwa Coca-Cola adalah produk kosher (halal versi Yahudi, red.),” ungkap Pendergrast.
Baca juga: Minuman Beralkohol Khas Nusantara
Cap kosher di tutup botol Coca-Cola itu dibutuhkan untuk memasarkan produk di antara populasi Yahudi yang besar di New York. Itu kemudian difoto oleh Flach dan digunakan untuk membuat pamflet yang kemudian disebar ke berbagai tempat di Jerman. Seiring dengannya, Flach terus mengkampanyekan Coca-Cola adalah perusahaan Yahudi yang dipimpin Yahudi asal Atlanta, Harold Hirsch.
“Imbasnya grafik penjualan (Coca-Cola) menukik tajam. Markas Partai Nazi buru-buru membatalkan pesanan rutin mereka. Situasi bisnisnya mulai kacau dan Keith memohon Woodruff untuk mencopot Hirsch dari dewan direksi atau setidaknya mengklarifikasi bahwa dia (Hirsch) bukan pemilik perusahaan. Walau kemudian Woodruff mengklarifikasi fakta terakhir itu, kampanye hitam Flach tetap tak terbendung,” tambahnya.
Baru pada 1937 Coca-Cola bisa perlahan bangkit dari keterpurukan. Keith seperti harus memulai dari awal, merelakan sedikit kerugian untuk memproduksi sampel secara massal guna dibagikan gratis di event-event pemuda dan olahraga seperti perlombaan balap sepeda dan parade-parade Hitlerjugend (Pemuda Hitler).
Baca juga: Kiper Legendaris Manchester Bekas Pemuda Hitler
Saat perlombaan sepeda hingga para pemuda (Hitler) berparade dalam formasi militer, truk-truk Coca-Cola selalu mengiringi dengan harapan bisa memancing ketertarikan generasi muda. Ketika Reich Schaffendes Volk menggelar pameran di Düsseldorf pada 1937, Keith mempromosikan berbotol-botol Coca-Cola di spot-spot sentral pamerannya.
“Dalam satu waktu ketika Goering berkunjung hingga rehat sejenak dengan meneguk Coca-Cola, fotografer perusahaan (Coca-Cola) yang awas segera menjepret momen itu. Sementara itu walau tak pernah terdokumentasi, Hitler diketahui juga menyukainya dan senantiasa meminumnya sambil menonton film Gone with the Wind di bioskop pribadinya,” tulis Pendergrast lagi.
Sejak saat itu grafik penjualan Coca-Cola merangkak naik. Seiring Anschluß (pencaplokan Austria, 12 Maret 1938), Keith melebarkan sayapnya dengan membuka Coca-Cola GmbH cabang Wina. Namun kekhawatiran Keith muncul lagi ketika Jerman Nazi menginvasi Polandia pada 1 September 1939, membuat Prancis dan Inggris mendeklarasikan perang sekaligus menandai dimulainya Perang Dunia II. Selain khawatir akan ditutupnya tirai impor untuk konsentrat 7X, Keith cemas akan nasionalisasi perusahaan asing secara sepihak.
Hal itu menjadi latar yang mendorongnya masuk birokrasi pemerintahan Nazi dengan bantuan Oppenhoff. Ia masuk Dinas Properti Musuh untuk mensupervisi semua pabrik minuman ringan, baik di Jerman maupun wilayah-wilayah yang diduduki.
Seiring peperangan, sebagaimana para pebisnis lain, Keith turut berkontribusi dengan mensuplai Coca-Cola sebagai minuman ringan para serdadu Jerman. Minuman berkarbonasi itu jadi pelipur lara para prajurit Jerman di berbagai medan perang, termasuk mereka yang akhirnya ditangkap dan jadi tawanan yang dibawa ke Hoboken.