DI depan jendela kamarnya di Hotel Campo Imperatore di puncak Gran Sasso, Italia, Benito Mussolini duduk santai pada 12 September 1943 sekira pukul 2 siang. Seiring cuaca cerah yang membuyarkan halimun pagi sebelumnya, mata pemimpin fasis Italia itu menikmati panorama Pegunungan Apenina.
Padahal, kepalanya overthinking tak karuan. Fasisme yang ia dirikan di negerinya sudah di ujung tanduk sejurus penahanan dirinya sejak 25 Juli 1943 oleh pasukan Carabinieri (polisi militer). Selain kantor-kantor partai fasisnya di berbagai kota sudah ditutup, Sisilia sudah diduduki Sekutu, dan pemerintahannya telah dijatuhkan Raja Vittorio Emanuele III dibantu Marsekal Pietro Badoglio.
Memang “kawan” Mussolini, Jerman Nazi, masih menduduki Italia bagian tengah dan utara. Namun kejatuhan segenap Italia sepertinya tinggal menunggu waktu lantaran pemerintahan Marsekal Badoglio bernegosiasi dengan Sekutu yang menghasilkan Gencatan Senjata Cassibile pada 3 September 1943, berbarengan dengan invasi Sekutu ke Italia bagian selatan.
“Pada malam 8 September 1943, radio menyiarkan kapitulasi Italia terhadap Sekutu. Penyerahan Mussolini kepada Sekutu adalah salah satu syarat gencatan senjata,” tulis P.K. Ojong dalam Perang Eropa: Jilid II.
Baca juga: Ketika Fasisme Muncul di Muka Bumi
Mussolini sendiri dijadikan tahan rumah di Hotel Campo Imperatore yang berada di ketinggian 2.112 meter di atas permukaan laut itu mulai 28 Agustus. Sebelumnya, pada 25 Juli, ia ditahan di Villa Ada, Roma, lalu dipindahkan ke Gaeta (27 Juli), Pulau Ponza (28 Juli-7 Agustus), dan di Villa La Maddalena (7-27 Agustus). Meski di Gran Sasso dijaga 200 prajurit Carabinieri, Mussolini masih diberi kebebasan berkeliling di sekitar hotel.
“Perlakuan yang diterima Mussolini dari penjaganya lebih manis. Ia dibolehkan naik kuda, mendengar radio, membaca suratkabar, diberi waktu berjalan-jalan ditemani seorang opsir. Suatu hari ia berhasil omong-omong dengan seorang gembala yang mengatakan pada Mussolini, ‘Tuan, orang Jerman sudah mendekati Roma. Tidak lama lagi tentu Pemerintah Badoglio akan melarikan diri. Kami semua masih Fasis, hanya kantor partai saja yang ditutup. Rakyat di desa selalu bicara tentang tuan. Kalau orang Jerman tahu tempat tuan, tentu mereka akan memerdekakan tuan’,” sambung Ojong.
Dua keterangan itu, fasisme masih hidup dan upaya pembebasan pihak Jerman, tentu sulit masuk di akal Mussolini. Namun tak diduga, termasuk oleh Mussolini sendiri, yang dikatakan gembala itu benar adanya.
Saat Mussolini duduk santai di atas sembari menengok ke jendela, tetiba dari kejauhan terlihat beberapa pesawat glider DSF 230 mendarat beberapa ratus meter dari halaman hotel. Tampak sejumlah serdadu berseragam dan bersenjata lengkap bergegas menyiapkan senapan mesin.
“Mussolini tak mengira sedikitpun bahwa orang-orang yang baru mendarat itu adalah orang-orang Jerman,” lanjutnya.
Baca juga: Otto Skorzeny Menyelamatkan Mussolini
Ternyata yang melakoni raid (serangan mendadak) itu adalah 16 personel pasukan infantri ringan Schutzstaffel (SS/paramiliter Jerman) dari Batalyon Jäger ke-502. Pasukan inti itu dibantu oleh dua kompi pasukan payung Luftwaffe (AU Jerman) dari Divisi Fallschirmjäger ke-2.
Pasukan penyusup yang datang dengan 10 glider DSF 230 yang ditarik pesawat intai Henschel Hs 126 itu dipimpin Hauptsturmführer (setara kapten) Otto Skorzeny. Sang komandan juga turut serta membawa seorang jenderal Carabinieri, Fernando Soleti, yang sebelumnya disandera. Para penjaga di Gran Sasso memintanya menyerah tanpa pertempuran.
Meski begitu, raid itu sempat membuat panik penjaga Italia hingga memunculkan baku tembak yang menewaskan dua polisi Italia dan melukai 10 pasukan Jerman. Selebihnya, upaya Skorzeny lewat Operasi Oak itu berjalan mulus. Mussolini dibebaskan tanpa terluka lalu diterbangkan dengan pesawat intai Fieseler F1 156.
“Mereka terbang ke (pangkalan udara) Pratica di Mare. Kemudian dilanjutkan penerbangan ke Wina dengan pesawat Heinkel He 111, di mana Mussolini menginap satu malam di Hotel Imperial. Hari berikutnya ia diterbangkan lagi ke Munich dan pada 14 September, ia bertemu Hitler di markas Wolffschanze dekat Rastenburg,” ungkap Ericy Kuby dalam Betrayal in Germany: How the Third Reich Ruined Italy.
Baca juga: Alkisah Berghof dan Sarang Elang Hitler
"Boneka" Hitler Berakhir Getir
Sejak lama “Der Führer” Adolf Hitler sudah menganggap “Il Duce” Mussolini inferior ketimbang dirinya walaupun Mussolini lebih “senior” dalam menggencarkan politik ektrem sayap kanan. Kegagalan pasukan Mussolini di front Yunani, Ethiopia, hingga Afrika Utara di awal-awal Perang Dunia II membuat Hitler memandang rendah saat Mussolini bertamu ke Wolffschanze (sarang serigala) di Prusia Timur.
Nasib Mussolini dan masa depan fasisme di Italia praktis berada dalam genggaman “yuniornya”. Tetapi terlepas daripada itu, Hitler masih berharap Mussolini mampu mengangkat lagi sisa-sisa para loyalisnya di utara Italia untuk mengadang Sekutu, tak peduli masih ada beberapa politikus fasis selain Mussolini, seperti Roberto Farinacci.
“Farinacci menyatakan kesediannya memimpin pemerintahan fasis Italia di utara dan mendesak rakyat Italia terus berperang melawan Sekutu. Tetapi Hitler memahami bahwa nama Mussolini masih lebih berbobot dan berarti daripada Farinacci,” sambung Ojong.
Baca juga: Politik Dua Kaki Francisco Franco
Pada 14 September pagi, Mussolini tiba di “Sarang Serigala” dan disambut meriah sejumlah kader Partai Nazi serta beberapa perwira SS dan Wehrmacht (tentara reguler Jerman). Wajahnya semringah sembari menyalami setiap orang yang mendekatinya.
Tetapi ekspresi Mussolini berubah ketika sudah memulai pembicaraan (dengan Hitler). Hitler terperangah dengan keengganan Mussolini untuk memburu musuh-musuh politik yang menumbangkan pemerintahannya. Hitler yang marah, tambah Ojong, memotong omongan Mussolini. Ia bermonolog selama satu jam bahwa ia berkehendak mendirikan pemerintahan “boneka” fasis Italia. Jika Mussolini menolak memimpinnya, Hitler menyiratkan ancaman.
“Selama bicara, Hitler memandang terus dengan sorot mata tajam ke arah Mussolini. Kalau menolak, maka akan disiarkan bahwa, ‘akibat kecelakaan pesawat dari Gran Sasso ke Wina, Mussolini telah tewas.’ Keduanya lantas terdiam sejenak saling memandang dengan mata penuh benci,” ungkap Ojong.
Hitler mengumbar bahwa Sekutu takkan mampu menerobos Tembok Atlantiknya di pesisir Normandia. Ia pun sudah punya sejumlah teknologi baru yang akan memenangkan perang. Lantas, Hitler mengakhiri perbincangan dengan ancaman lain: penduduk sipil di Italia akan digelandang ke kamar-kamar gas.
Mussolini akhirnya “menyerah” dan mau menerima “penugasan” dari Hitler. Empat hari berselang, Repubblica Sociale Italiana atau lebih dikenal dengan Republik Salò pun dideklarasikan Mussolini lewat Radio Munich.
Baca juga: Menang atau Mati! Ancaman Mussolini untuk Tim Azzurri
Selain mengisahkan tentang bagaimana dirinya dikhianati raja dan Badoglio cs., Mussolini dalam pidatonya juga menekankan empat poin kepada para loyalisnya: angkat senjata bersama Jerman dan Jepang, bersiap reorganisasi pasukan-pasukan milisi, menghabisi para pengkhianat, dan melenyapkan plutokrasi yang jadi benalu bagi fasisme Italia.
“Mussolini sampai harus meminjam seragam hitam untuk menampakkan penampilan restorasi kediktatorannya. Tapi melihat fakta bahwa Mussolini berpidato via Radio Munich menunjukkan betapa ia bergantung secara total kepada Jerman Nazi. Mussolini praktis ibarat Reichstatthalter (gubernur Reich),” tulis Christian Goeschel dalam Mussolini and Hitler: The Forging of the Fascist Alliance.
Republik Salò berpusat pemerintahan di kota Salò, Italia utara, meski mengklaim ibukotanya tetap Roma secara de facto. Mussolini juga diserahi jabatan perdana menteri, kendati kekuasaan di lapangan tetap dikontrol utusan Hitler, Rudolf Rahn dan Obergruppenführer (setara jenderal) Karl Wolff selaku panglima pasukan Jerman di Italia.
“RSI (Republik Salò) juga kemudian menuntut balas terhadap 19 anggota yang menumbangkan Mussolini dalam Dewan Tinggi lewat Processo di Verona (Pengadilan Verona). Hanya enam yang kemudian berhasil ditangkap dan lima di antaranya dieksekusi mati pada 11 Januari 1944 di Benteng San Procolo, Verona, termasuk menantunya, Galeazzo Ciano,” ungkap J. Alexander De Grand dalam Italian Fascism: Its Origins & Development.
Baca juga: Cini Berani Kritik Mussolini
Tetapi Republik Salò hanya seumur jagung. Negara boneka bikinan Hitler itu kolaps berbarengan dengan makin mendekatnya Sekutu ke Italia Utara medio April 1945. Mussolini dengan ditemani selingkuhannya, Clara Petacci, hendak kabur ke Spanyol via Swiss menggunakan pesawat Luftwaffe ketika disergap dan ditangkap partisan komunis Brigade Garibaldi ke-52 di Desa Dongo dekat Danau Como pada 27 April malam.
Kala kabar penangkapan Mussolini tersebar, tersiar sejumlah telegram dari Comitato di Liberazione Nazionale Alta Italia (CLNAI/Komite Pembebasan Nasional Italia Utara) untuk membawa Mussolini ke markas unit intelijen Sekutu di Siena. Intel Amerika OSS berharap Mussolini bisa ditahan Sekutu untuk kemudian diajukan ke pengadilan kejahatan perang.
“Benito Mussolini, para kaki tangan dan semua anggota fasis yang diduga melakukan kejahatan perang sesuai daftar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), akan ditahan dan diserahkan kepada pasukan PBB (Sekutu),” begitu bunyi salah satu klausul dalam perjanjian gencatan senjata yang diteken Panglima Tertinggi Sekutu Jenderal Dwight Eisenhower dan Marsekal Pietro Badoglio pada 29 September 1943.
Tetapi yang terjadi Mussolini dan Clara bersama sekitar 50 loyalisnya ditahan di markas partisan komunis itu di Desa Dongo. Mussolini dan Clara kemudian diungsikan lagi desa pada dini hari 28 April karena khawatir milisi fasis akan membebaskannya.
Bukannya tegak lurus dengan kehendak Sekutu, petinggi partisan komunis dari Partito Comunista Italiano (PCI) itu justru mengeluarkan perintah yang 180 derajat berbeda. Para milisi partisan pimpinan Sandro Pertini itu memegang penuh perintah Sekjen PCI, Palmiro Togliatti, yang disiarkan via radio: “Hanya hal yang harus diputuskan adalah mereka (Mussolini dan antek-anteknya) harus membayar dengan nyawanya.”
“Sementara menurut Leo Valiani, wakil Partito d’Azione di CLNAI, keputusan untuk menghabisi Mussolini diambil pada malam 27/28 April oleh sekelompok milisi yang mengatasnamakan CLNAI, yakni Sandro Pertini, Emilio Sereni, dan Luigi Longo,” tulis Ray Moseley dalam Mussolini: The Last 600 Days of Il Duce.
Baca juga: Empat Upaya Pembunuhan Hitler yang Gagal
Terlepas dari sengkarut sumber perintah itu, Mussolini dan Clara yang sebelumnya diinapkan di rumah peternakan keluarga De Maria, diangkut ke muka halaman Villa Belmonte di Desa Giulino di Mezzegra pada 28 April petang. Keduanya lantas diperintah berdiri membelakangi tembok gerbang Villa Belmonte.
Para partisan kemudian membacakan keputusan “pengadilan perang” dan menyatakan Mussolini dan Clara divonis mati. Sekira pukul 4.10 sore, partisan bernama Walter Audisio melepaskan rentetan tembakan dari senapan otomatis MAS-38 di tangannya. Seketika Mussolini dan Clara roboh tak bernyawa.
Mayat keduanya kemudian dibawa ke Milan, tempat di mana pada 10 Agustus 1944 Mussolini mengeksekusi 15 tahanan partisan. Setibanya di Milan pada 29 April dini hari, mayat Mussolini, Clara, dan sejumlah simpatisan fasis lain yang dieksekusi di lain tempat, digantung dengan kaki di atas di alun-alun Piazzale Loreto dekat Stasiun Milano Centrale untuk dipertontonkan ke khalayak umum mulai pukul 9 pagi.
“Hari itu hari yang indah dengan cahaya matahari musim semi. Jalan-jalan penuh dengan massa yang penasaran. Banyak dari mereka yang mengumpat. (Mayat) Mussolini tanpa sepatu dan mengenakan kemeja lengan pendek, Petacci dengan gaun gabardine tailleur tanpa sepatu. Saya jadi teringat momen guillotine pada Revolusi Prancis (1789-1799) yang saya saksikan di bioskop tapi apa yang saya lihat sekarang nyatanya lebih buruk daripada itu,” kenang jurnalis Gaetano Afeltra, dikutip Moseley.
Baca juga: Nasib Nahas Kapten Mussolini
Massa yang menyemut meludahi, mengencingi, menendang, hingga melempari mayat-mayat itu dengan aneka macam sayuran. Baru pada petang hari mayat-mayat itu diturunkan lagi seiring kapitulasi pasukan pendudukan Jerman yang menyerah kepada Sekutu di Caserta.
“Hitler mendengar kabar diseksekusinya Mussolini pada 29 April petang. Kebetulan di hari yang sama pada paginya, Hitler juga sudah merekam wasiat terakhirnya, di mana ia memilih bunuh diri ketimbang ditangkap musuh atau jatuh ke tangan massa. Keesokan harinya giliran Hitler yang bunuh diri di Berlin sebelum kota itu jatuh ke tangan Tentara Merah. Jenazahnya dibakar dengan bensin hingga tak menyisakan sisa-sisa mayatnya,” tandas Ian Kershaw dalam Hitler 1936-1945: Nemesis.