RESEP asli Coca-Cola, yang bahannya hanya berubah sedikit dan satu-satunya salinan tertulis dari resep itu disimpan dalam lemari besi di sebuah bank, dirahasiakan selama bertahun-tahun. Ia dikembangkan di halaman belakang seorang dokter dan ahli kimia John Stith Pemberton.
Pemberton lahir 8 Juli 1831 di Knoxville, Crawford County, Georgia. Dia dikenal sebagai “dokter paling terkenal yang pernah dimiliki Atlanta.” Namun, yang melambungkan namanya justru keahliannya di laboratorium, “di mana dia menyempurnakan resep Coca-Cola,” tulis Monroe Martin King dalam situs The New Georgia Encyclopedia, 14 Mei 2004.
Menurut liputan Business Heroes Newsletter, Juli 1998, Pemberton adalah sosok yang terobsesi untuk menemukan obat sekaligus minuman yang sempurna. Suatu ketika dia tertarik dengan khasiat tanaman koka –yang telah dikunyah penduduk asli Peru dan Bolivia selama lebih dari 2.000 tahun– untuk stimulan, membantu pencernaan, afrodisiak (meningkatkan gairah bercinta), dan memperpanjang umur. Dia pun memutuskan untuk mencoba daun koka sebagai bahan dasar minumannya. Sebelumnya, daun koka telah digunakan sebagai bahan anggur bermerek Vin Mariani, yang meraih sukses besar di Eropa dan Amerika Serikat.
Baca juga: Kisah Coca-Cola di Bawah Panji Nazi
Pada 1885, Pemberton meluncurkan minumannya: Pemberton’s French Wine Coca. Dia mengiklankan produknya sebagai “minuman intelektual” dan “energi untuk otak”. Pemberton menjelaskan ramuan minumannya kepada Atlanta Journal pada 1885, “Ini terdiri dari ekstrak daun koka Peru, anggur paling murni, dan kacang kola. Ini yang paling baik dari semua tonik. Membantu pencernaan, memberikan energi ke organ-organ respirasi, dan memperkuat otot dan sistem saraf.”
“Pemberton lalu mengakui bahwa minumannya didasarkan pada Vin Mariani,” tulis Martin King.
Menurut Laura Lambert, “John Pemberton: Inventor of Coca-Cola”, dalam Marshall Cavendish, Inventors and Inventions, meski yang membuat resepnya adalah Pemberton, tapi merek dan logo Coca-Cola diciptakan oleh Frank Robinson, penata buku Pemberton. “Robinson mengembangkan nama alternatif Coca-Cola, dan mengubah k dari Kola nut menjadi c, untuk menambahkan efek visual. Dia juga yang menggoreskan huruf C, yang masih mendefinisikan merek itu saat ini,” tulis Laura Lambert.
Coca-Cola kali pertama dijual di toko obat Jacob’s Pharmacy di Atlanta, pada 8 Mei 1886 –tanggal ini dijadikan hari jadi Coca-Cola. Penjualan tertingginya hanya 13 gelas per hari dengan harga lima sen per gelas. Padahal saat itu Atlanta sedang musim panas. Pada tahun pertamanya penjualan Coca-Cola tersendat. Belum juga merasakan kesuksesan, Pemberton sakit, bahkan sekarat, akibat kanker dan kecanduan morfin –yang dikenalnya ketika terluka dalam Perang Sipil. Saat itulah ahli farmasi Asa Griggs Candler membeli saham Coca-Cola pada awal 1888. Dua minggu setelah kematian Pemberton pada 16 Agustus 1888, Candler membeli sisa sahamnnya.
Pada 1892, Candler dan sebuah konsorsium membangun Coca-Cola Company. Setelah logo Coca-Cola didaftarkan pada 1893, Candler mulai menawarkan sampel dan mengembangkan serangkaian produk seperti jam, kalender, dan timbangan kimia yang memasang logo Coca-Cola. Dia juga gila-gilaan dalam beriklan; beberapa di antaranya dibintangi para penyanyi opera yang glamor. Strategi iklan “orang-orang keren” berlanjut sampai sekarang.
Baca juga: Sejarah Fanta, Fantasi Perang
Menurut Laura Lambert, pada 1903, muncul skandal karena terdapat kokain dalam Coca-Cola, walau dalam jumlah kecil. Meski Candler mengubah resep untuk menghapus kokain dengan menambahkan asam sitrat, minuman ini terus memiliki reputasi negatif sehingga Biro Federal Kimia mengirim agennya ke Atlanta untuk menyelidiki pengaruh minuman Coca-Cola pada 1907. Laporannya menjelaskan “Coca-Cola iblis” berkeliaran di jalanan dan menyatakan keprihatinan yang mendalam karena anak-anak berumur empat tahun diizinkan mengkonsumsi minuman ini. “Delapan Coca-Cola mengandung cukup kafein untuk membunuh,” demikian berita utama media massa saat itu.
Dalam kondisi usaha goyah, Candler terpukul mengetahui istrinya menderita kanker payudara. Dia ditawari US$25 juta untuk menjual perusahaannya tapi dia menolak. Dia memutuskan mewariskan perusahaannya kepada anak-anaknya. Candler terpukul untuk kali kedua karena anak-anaknya menjual perusahaan itu pada 1919 seharga US$25 juta pada sebuah konsorsium yang dipimpin pebisnis Ernest Woodruff.
Empat tahun kemudian, Woodruff memasrahkan Coca-Cola kepada anaknya, Robert Winship Woodruff, yang memimpin Coca-Cola selama 31 tahun dan membawanya tersebar ke seluruh dunia.
Baca juga: Minuman Beralkohol Khas Nusantara
Yang menarik adalah bagaimana Coca-Cola merambah Timur Tengah. Di kawasan ini, keberhasilan sebuah bisnis sering tergantung pada sentimen anti-Israel. Untuk menghindari boikot Liga Arab dan tetap bisa menjual ke pasar Arab yang besar, Coca-Cola menghentikan rencananya membangun pabrik di Israel pada 1949. Namun, pada 1961, seorang pegawai negeri di Mesir, Mohammad Abu Shadi, bilang menemukan Coca-Cola bertuliskan Amharic (bahasa Israel) yang diproduksi di Ethopia. Coca-Cola juga dituding melakukan bisnis dengan Israel. Manajer operasional Coca-Cola Mesir segera menepisnya bahwa Coca-Cola tak mungkin melakukan bisnis dengan Israel karena pasarnya terlalu kecil.
Pada 1 April 1966, Moshe Bronstein, seorang pengusaha Tel Aviv, menuduh Coca-Cola memboikot Israel karena tak mau berbisnis dengan Israel demi memenuhi tuntutan pasar Arab. Liga Anti-Fitnah –NGO anti-Semit yang berbasis di Amerika Serikat– mempertanyakan: jika Coca-Cola bisa beroperasi di Siprus, yang hanya sepersepuluh ukuran Israel, mengapa Israel terlalu kecil untuk operasi Coca-Cola?
Khawatir akan tekanan dari Yahudi Amerika Serikat, Coca-Cola pun berjanji membuka pabrik di Tel Aviv. Sebagai tanggapan, Liga Arab memboikot Coca-Cola pada Agustus 1968 (sampai Mei 1991), sebagai bagian dari boikot ekonomi Israel.
Pesaingnya, Pepsi, justru menikmati kesuksesan, bahkan monopoli. “Pepsi jauh lebih mapan di Timur Tengah daripada Coca-Cola, dan dalam hal respons tidak terlalu reaktif. Ini bukannya lebih bergantung pada kenyataan bahwa mereka telah ada 20 tahun lebih lama dari Coca-Cola,” tulis Sarah Diston, “Cola giants continue battle for Middle East market”, yang dimuat just-drinks.com, 6 April 2001.
Baca juga: Menghirup Sirup dan Air Belanda
Pada 1990-an sanksi akhirnya dicabut dan Coca-Cola diizinkan berdagang secara bebas di negara-negara Arab. Tapi ia masih menghadapi perjuangan berat dan, untuk sementara, penghinaan karena dijuluki konsumen Arab sebagai “Pepsi merah”. Upaya untuk menghancurkan Coca-Cola, melalui rumor maupun boikot, juga tak pernah surut.
Pesaing baru juga bermunculan. Iran mengawalinya dengan membuat Zam Zam Cola. Awalnya, ini adalah anak perusahaan Pepsi Iran pada 1954. Setelah revolusi Islam Iran 1979, Pepsi dinasionalisasi oleh pemerintah Iran dan mereknya diganti menjadi Zam Zam Cola sebagai bentuk perlawanan terhadap Amerika Serikat dan produk-produknya. Hingga saat ini, Zam Zam Cola menjadi minuman populer di Iran, Pakistan, dan negara-negara Arab lainnya. Ia juga dijual di sejumlah wilayah di Eropa yang memiliki pemeluk Muslim besar. Banyak konsumen memilihnya bukan karena rasanya tapi karena percaya bahwa Coca-Cola dan Pepsi dikendalikan oleh kepentingan Barat.
Dengan alasan serupa, belakangan muncul produk serupa seperti Mecca Cola di Prancis, Qibla Cola dan Evoca Cola di Inggris, atau Qolbu Cola yang dibikin Manajemen Qolbu milik Ustad Abdullah Gymnastiar di Indonesia. Uniknya Evoca Cola mengandung habbatussauda, obat manjur asli Arab.
Coca-Cola dan produk sejenisnya bukan lagi sekadar minuman menyegarkan. Seperti diharapkan Pemberton, mereka juga menjadi “obat penyejuk hati”.