Masuk Daftar
My Getplus

Benarkah Khonghucu Memerintahkan Perayaan Tahun Baru Imlek?

Perayaan tahun baru Imlek bisa dikata merupakan hari rayanya kaum tani. Digelar sejak ribuan warsa sebelum kelahiran Khonghucu.

Oleh: Novi Basuki | 06 Feb 2019
Pintu masuk ke Kuil Khonghucu. (Wikimedia Commons).

Dalam surat edaran tertanggal 23 Januari 2019 yang belakangan viral, Forum Muslim Bogor menyeru agar “seluruh Umat Islam ... tidak menghadiri dan mengikuti” serangkaian perayaan tahun baru Imlek “yang dimulai di hari pertama bulan pertama di penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh di tanggal kelima belas [di bulan yang sama].”

Forum Muslim Bogor juga melarang muslim “menggunakan pernak-pernik [tahun baru] Imlek dan Cap Go Meh seperti lampion, angpao, petasan, barongsai, serta pernak-pernik lainnya.” Bahkan, “mengucapkan selamat Tahun Baru Imlek Gong Xi Fa Cai” pun diharamkan pula.

Pasalnya, menurut Forum Muslim Bogor yang mengaku “telah melakukan diskusi dengan segenap pemuka dan tokoh Muslim di kota dan Kabupaten Bogor”, dengan berbuat sebaliknya, “berarti setuju dengan agama mereka, dan ini merupakan pintu kekafiran yang harus dijauhi.”

Advertising
Advertising

Agama yang dimaksud Forum Muslim Bogor yakni agama Khonghucu –yang awalnya sempat didukung namun kemudian, setelah kekuasaannya solid, sejak akhir tahun 1978 tidak diakui oleh rezim Orde Baru Soeharto.

Baca juga: Muslim keturunan Konghucu

Dilansir majalah Gentrika (Genta Tripusaka Suara Agama Khonghucu) No. 24/25 Tahun IV 1978, Presiden Soeharto menyempatkan diri mengirim pesan tertulis berisi ucapan selamat dan sukses atas diselenggarakannya kongres keenam Khong Kauw Hwee –yang saat itu disahkan penggantian namanya menjadi Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia alias Matakin sebagaimana kita kenal sekarang– pada Agustus 1967 di Solo.

Forum Muslim Bogor menegaskan, “Tahun Baru Imlek merupakan perayaan terpenting penganut agama Khonghucu.” Sebab, “Perintah merayakan [tahun baru] Imlek datang dari Kongzi dan tertuang dalam kitab agama Khonghucu.”

Kita tahu, Kongzi atau Kongfuzi yang dalam dialek Hokkian sebut sebagai Khongcu atau Khonghucu, adalah sapaan hormat terhadap filsuf agung Cina bernama asli Kong Qiu. Akan halnya “zi” atau “fuzi” atau “fusius” yang biasa disematkan di belakang namanya, artinya adalah mahaguru.

Ya, selain (pernah) menjadi pejabat, profesi utama Khonghucu ialah pengajar. Dicatat Sejarawan Dinasti Han Barat Sima Qian dalam karya monumentalnya, Shiji (Catatan Sejarah Agung), Khonghucu “mempunyai tiga ribu murid” (dizi gai san qian yan) selama sekitar 72 tahun hidupnya dari 551 SM sampai 479 SM.

Kitab-kitab yang disucikan agama Khonghucu

Kelak, dialog-dialog Khonghucu dengan anak-anak didiknya, wejangan-wejangannya, dan kanon-kanon yang konon disunting olehnya, dihimpun menjadi Empat Kitab dan Lima Klasika (Si Shu Wu Jing).

Empat Kitab (Si Shu atau yang oleh Matakin sebut Su Si) dimaksud, terdiri dari Da Xue (Ajaran Besar), Zhong Yong (Tengah Sempurna), Lun Yu (Petuah Hikmah), dan Mengzi.

Kitab yang disebut terakhir itu, dinamai berdasar nama penyusunnya: Mengzi alias Meng Ke. Sekalipun tidak menimba ilmu langsung kepada Khonghucu, sanad keilmuan Mengzi sampai kepada Khonghucu melaluinya cucunya, Kong Ji alias Zisi, yang dipercaya banyak kalangan mengajari Mengzi Konfusianisme.

Sementara Kong Ji, diyakini sebagai orang yang mengompilasi kitab Zhong Yong. Dalam litetatur-literatur berbahasa Arab, kitab Zhong Yong acap diterjemahkan sama dengan judul kitab sohornya Ibnu Taimiyah, Al-‘Aqīdah al-Wāsiṭiyyah.

Sedangkan berlaku zhong yong, merupakan salah satu inti dari ajaran Khonghucu di samping ren (welas asih). Jauh sebelum Rasulullah menganggap khairu al-’umūr awsaṭuhā (sebaik-baiknya perkara adalah pertengahan), Khonghucu dalam Lun Yu sudah menyatakan bahwa zhong yong zhi wei de ye, qi zhi yi hu (semulia-mulianya budi pekerti adalah bersikap tengah-tengah).

Baca juga: Islam Nusantara dan Islam Konghucu

Boleh dikata, bila dalam khazanah keislaman, Lun Yu ialah kitab hadis. Makanya, oleh Matakin yang mengangkat Khonghucu sebagai nabinya, Lun Yu dialihbahasakan menjadi Sabda Suci.

Bukan tanpa alasan. Memang, Lun Yu utamanya berisi pernyataan-pernyataan langsung Khonghucu dan atau yang diriwayatkan oleh murid-muridnya dalam bentuk tanya-jawab seputar pendidikan, sosial, ekonomi, politik, militer, dan persoalan lainnya.

Nah, untuk memahami ketiga kitab di atas, Zhu Xi dalam Da Xue Zhang Ju (Tafsir Da Xue) mewanti-wanti agar “terlebih dahulu memulainya dari mempelajari Da Xue” (bi you shi er xue yan) susunan Zengzi, gurunya Kong Ji yang notabene salah seorang dari 72 murid Khonghucu yang paling brilian.

Sekadar informasi, Zhu Xi merupakan pakar konfusianisme zaman Dinasti Song yang menyeparasikan Da Xue dan Zhong Yong dari Li Ji –sehingga menjadi kitab tersendiri yang bersanding dengan Lun Yu dan Mengzi sebagai ‘Empat Kitab’ Konfusianisme.

Adapun Li Ji (Catatan Kesusilaan), Shi Jing (Kitab Sanjak), Shang Shu (Kitab Dokumentasi Sejarah), Yi Jing (Kitab Perubahan), dan Chun Qiu (Kitab Musim Semi dan Gugur), ialah Lima Klasika (Wu Jing) yang beberapa di antaranya diyakini merupakan suntingan Khonghucu sendiri.

Empat Kitab dan Lima Klasika itulah yang didapuk Matakin sebagai kitab suci agama Khonghucu.

Lantas, pertanyaannya, dari sembilan kitab tersebut, di dalam kitab manakah perintah merayakan tahun baru Imlek yang ditegaskan Forum Muslim Bogor berasal dari Khonghucu itu berada? Saya sudah mencoba menelusuri semuanya, tapi sampai sekarang belum menemukan adanya kalimat imperatif dari Khonghucu untuk menggelar perayaan tahun baru Imlek seperti dimaksud Forum Muslim Bogor.

Sekilas asal muasal perayaan tahun baru Imlek

Kendati sulit mematok secara pasti mulai kapan tahun baru Imlek dirayakan pertama kali, tetapi mayoritas sejarawan Cina sepakat bahwa apa yang ditulis dalam kitab Shang Shu berikut, bisa dijadikan patokan cikal bakal perayaan tahun baru Imlek di Cina:

“Pada hari pertama bulan pertama, Kaisar Shun [yang berkuasa pada sekitar 2184 SM] menyekar ke makam leluhurnya, melakukan blusukan ke daerah-daerah ... Dia berkata: ‘Untuk menyelesaikan permasalahan pangan, harus benar-benar diperhatikan kapan waktu yang tepat untuk bercocok tanam. Ayomilah rakyat pinggiran sebagaimana engkau mengayomi orang-orang di dekatmu. Angkatlah pejabat yang berbudi luhur. Singkirkanlah pejabat yang licik” (Yue zheng yuan ri, Shun ge yu fen zu, xun yu si yue ... Yue: ‘Shi zai, wei shi. Rou yuan neng er. Dun de yun yuan. Er nan ren ren).

Baca juga: Imlek, kala musim semi tiba

Kitab Li Ji juga mencatat hajatan serupa: “Pada awal musim semi, kaisar membawa serta menteri-menterinya menyambut kedatangan awal musim semi ... Pada bulan itu, di hari pertamanya, kaisar berdoa kepada Tuhan agar negerinya diberi keberlimpahan pangan” (Li chun zhi ri, tianzi qin shuai san gong, jiu qin, zhu hou, da fu, yi ying chun ... Shi yue ye, tianzi nai yi yuan ri qi gu yu Shangdi).

Artinya, perayaan tahun baru Imlek yang bisa dikata merupakan hari rayanya kaum tani –mengingat Cina adalah negeri agraris kala itu– sudah biasa digelar sejak ribuan warsa sebelum kelahiran Khonghucu ke dunia. Dengan demikian barangkali bisa dibilang, hari raya Imlek bukanlah monopoli pemeluk agama Khonghucu semata, melainkan seluruh masyarakat Cina, terlepas apa pun agama yang kini diimani atau tidak diimani mereka.

Penulis adalah kontributor Historia di Cina, sedang studi doktoral di Sun Yat-sen University, Cina.

TAG

Tionghoa

ARTIKEL TERKAIT

Filantropi Tjong A Fie Kado Manis dari Tionghoa untuk Tenis Indonesia Tionghoa Nasionalis di Gelanggang Bulutangkis Jalan Sunyi Asvi Warman Adam Meluruskan Sejarah Diaspora Resep Naga Kiprah Tionghoa dalam Tinju dan Wushu Sejarah Gambang Kromong dan Wayang Potehi Sastra Melayu Tionghoa, Pelopor Sastra yang Merana Tentang Dua Kelenteng yang Bersejarah Pengaruh Tionghoa pada Masjid Demak dan Masjid Angke