Masuk Daftar
My Getplus

Kala Musim Semi Tiba

Tradisi lama untuk menyambut musim semi agar mendapatkan kemakmuran dan rezeki di tahun baru.

Oleh: Darma Ismayanto | 24 Jan 2012
Warga Tionghoa sedang bersembahyang di kelenteng. (Fernando Randy/Historia).

ALKISAH, di negeri Tiongkok, hiduplah seekor raksasa Nian. Ia muncul dari pegunungan –ada juga yang menyebutkan dari dasar laut– setiap kali musim dingin berakhir dan melahap apa saja yang djumpainya. Hasil panen, hewan ternak, hingga manusia ludes. Agar selamat, setiap kali musim semi tiba, penduduk menaruh sesaji di depan pintu rumah untuk Nian.

Prosesi itu tak berlanjut setelah penduduk menjumpai Nian lari ketakutan saat bertemu seorang bocah berpakaian merah. Penduduk berkesimpulan, Nian takut warna merah. Maka, menjelang musim semi, mulailah mereka menghias rumah dengan pernak-pernik berwarna merah, dari lentera hingga gulungan kertas. Mereka juga mengenakan Cheongsam –pakaian tradisional bernuansa merah.

Mitos lain menyebutkan Nian mucul saat ladang bulu (bambu) milik penduduk terbakar dan menimbulkan bunyi letusan keras. Nian sang raksasa ketakutan, lari tunggang-langgang dan tak pernah kembali lagi. Setiap awal musim semi tiba, penduduk pun menyulutkan mercon.

Advertising
Advertising

Petualangan Nian berakhir setelah ditaklukan seorang pendeta Tao bernama Honjun Laozu. Laozu kemudian menjadikan Nian sebagai kendaraan tunggangannya.

Hingga kini, tradisi menghias rumah hingga menyalakan mercon mewarnai perayaan tahun baru, atau dikenal dengan sebutan Guo Nian yang berarti “menyambut tahun baru” atau secara harfiah “mengusir Nian”.

Tahun Baru Cina, atau juga dikenal dengan sebutan Imlek, di negeri asalnya pada dasarnya merupakan perayaan menyambut musim semi. Tradisi ini lekat dengan sistem penanggalan kalender Tionghoa yang berpatokan pada peredaran bulan berpadu peredaran matahari. Sistem penghitungan tersebut juga dikenal dengan sebutan kalender Lunisolar, di mana awal tahun bertepatan dengan masuknya musim semi. Karenanya, di Tiongkok, Tahun Baru Imlek lebih dikenal dengan sebutan Chunjie (perayaan musim semi).

Imlek di Indonesia

Masyarakat Tionghoa memiliki sejarah persentuhan yang panjang dengan Nusantara. Ribuan tahun lalu orang dari Tiongkok daratan mengunjungi dan mendiami kepulauan Nusantara. Perayaan Imlek pun menapaki jejaknya di sini.

Sempat dilarang pada masa penjajahan Belanda, Imlek kembali dirayakan pada masa Jepang. Pemerintah pendudukan Jepang bahkan menjadikannya hari libur resmi berdasarkan keputusan Osamu Seiri No. 26 tanggal 1 Agustus 1942. Itulah kali pertama dalam sejarah Tionghoa di Indonesia Imlek menjadi hari libur. Jepang meleluasakan kegiatan etnis Tionghoa dengan tujuan “membersihkan” masyarakat Tionghoa dari pengaruh budaya Barat. Karena alasan itu pula pemerintah Jepang menutup sekolah-sekolah Belanda dan mengaktifkan sekolah-sekolah Tionghoa dengan memberi tambahan mata pelajaran bahasa Jepang.

Perayaan Imlek tetap dirayakan ketika Sukarno berkuasa. Namun, lewat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 tahun 1967, Presiden Soeharto melarang segala hal yang berbau Tionghoa, keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat, termasuk perayaan Imlek. Masyarakat Tionghoa memilih merayakan Imlek secara diam-diam.

“Kalau sembahyang kami tetap jalankan, biasanya ya di rumah masing-masing. Perayaan Imlek saat itu kami lakukan dengan sangat sederhana. Yang pasti tidak ada mercon dan barongsai,” kata Oey Tjing Eng, salah seorang sesepuh masyarakat Tionghoa Tangerang dalam satu wawancara.

Larangan itu berakhir ketika Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjadi presiden, yang segera mencabut Inpres Nomor 14 tahun 1967. Penerusnya, Megawati Soekarnoputri, melanjutkannya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19 tahun 2002 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional.

Sejak itu di sejumlah pertokoan seperti di daerah Pancoran Raya, Glodok, ramai dengan penjual pernak-pernik Imlek. Kelenteng-kelenteng kembali bersih-bersih dan menghias diri setiap kali menjelang Imlek. Barongsai pun kembali meliuk-liuk.

Penuh Makna

Imlek mulai dirayakan di hari pertama bulan pertama kalender Tionghoa, dan berakhir dengan Cap Gomeh di tanggal kelimabelas. Namun, sebelumnya masyarakat Tionghoa membersihkan rumah, mendekor ulang rumah, serta melunasi atau mengurangi hutang. Membersihkan rumah, misalnya, mengandung makna rumah akan bersih dari keburukan dan siap menerima keberuntungan di tahun baru.

Pada hari pertama Sin Nien atau tahun baru, mereka melakukan sembahyang pada leluhur, dan tak lupa menyajikan makanan, minuman, dan buah di altar. Yang tak punya altar di rumah pergi ke kelenteng terdekat untuk sembahyang, mengucapkan terima kasih atas lindungan Thien (Tuhan) sepanjang tahun. Setelah itu mereka memberikan hormat kepada orangtua, saling mengunjungi sanak keluarga dan kerabat dekat.

Banyak pantangan yang tak boleh dilakukan pada hari tersebut. Menyapu dan membuang sampah konon akan mengusir rezeki ke luar dari rumah. Mereka juga tak boleh memecahkan piring. Jika tak sengaja memecahkannya, mereka harus cepat-cepat mengucapkan Sue sue Phing an, yang artinya setiap tahun tetap selamat. Pantangan lainnya: tak boleh bertengkar atau mengeluarkan kata-kata fitnah.

Hari kedua adalah saat hue niang cia atau pulang ke rumah ibu. Perempuan yang sudah menikah membawa Teng Lu yang merupakan bingkisan atau angpao (kantong merah kecil yang berisi uang) untuk ibu dan adik-adiknya. Secara tradisi, angpao atau hung pau juga diberikan kepada anak-anak dan orangtua. Pada hari ketiga, mereka lebih banyak tinggal di rumah, tanpa melakukan banyak perjalanan dan aktivitas.

Layaknya tradisi Lebaran, masyarakat Tionghoa mengenakan pakaian baru; biasanya berwarna merah atau warna terang lainnya. Warga Tionghoa percaya pentingnya penampilan dan sikap baru yang optimis menghadapi masa depan.

Segala tradisi dalam perayaan Imlek sarat makna. Hidangan yang disajikan pada perayaan Imlek biasanya terdiri atas 12 macam masakan dan 12 macam kue. Ini melambangkan 12 macam Shio.

Mie menjadi makanan wajib karena simbol panjang umur. Selain itu, lapis legit dan ikan bandeng yang melambangkan rezeki. Ada juga beragam kue, dari lapis hingga kue keranjang, dengan rasa yang lebih manis dari biasanya; berharap kehidupan yang lebih manis di tahun mendatang. Sementara bubur pantang dimakan saat Imlek karena melambangkan kemiskinan. Makanan berasa pahit seperti pare juga dihindari karena melambangkan kepahitan hidup.

Buah-buahan wajib selama Imlek adalah pisang raja atau pisang mas, jeruk kuning, delima hingga tebu yang melambangkan kemakmuran dan rezeki berlimpah. Buah berduri seperti salak atau durian harus dihindari. Nanas menjadi perkecualian karena namanya Wang Li dengan pengucapan mirip dengan kata Wang yang artinya berjaya –nanas juga dilambangkan sebagai mahkota raja.

Dianjurkan makan manisan seperti kolang-kaling agar pikiran menjadi jernih. Agar-agar juga dianjurkan, yang sebaiknya disajikan dalam bentuk bintang agar kehidupan maupun jabatan di masa datang bisa terang dan bersinar.

Semua hal yang mewarnai Imlek pada dasarnya bermakna satu: membuang segala keburukan di tahun lalu dan berharap tahun baru yang lebih baik. Sama seperti musim semi, saat bunga-bunga mulai bermekaran, tunas-tunas tanaman mulai tumbuh, dan matahari muncul dengan kehangatan sinarnya. Musim semi adalah musim harapan, di mana segala sesuatu yang lama digantikan yang baru.

Selamat Tahun Baru Imlek. Gong xi fa cai.

TAG

imlek

ARTIKEL TERKAIT

Jejak Tionghoa di Pondok Cina John Rabe, Nazi Anomali dalam Prahara Nanking Klenteng Hok Lay Kiong, Buah Pemberontakan Buruh Tionghoa Terhadap VOC Tionghoa di Tengah Arus Penyebaran Islam di Nusantara Phoa Beng Gan, Jago Pengairan Tionghoa di Batavia Merayakan Keberagaman Imlek Kala Pandemi Tionghoa Priangan dalam Pusaran Revolusi Cara Shinse Melawan Flu Spanyol Orang Tionghoa Indonesia di Tengah Pandemi Flu Spanyol Lika-liku Perayaan Imlek di Indonesia.