Orang Tiongkok datang ke Nusantara sejak puluhan abad lampau. Mereka yang datang umumnya para pedagang. Hal ini diketahui dari catatan Fa Hsien dari abad ke-4 dan I-Tsing pada abad ke-7. Gelombang kedatangan mereka kian banyak memasuki era kebangkitan Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) pada abad ke-17. Gelombang ini berbeda dari gelombang sebelumnya. Orang-orang dari Tiongkok kali ini datang sebagai kuli atau pedagang. Hubungan mereka dengan VOC cukup baik. Tapi hubungan itu berubah jadi saling curiga sejak peristiwa pembantaian orang Tionghoa di Batavia pada 1740. Pembantaian dipicu isu bahwa mereka akan memberontak terhadap VOC.
Setelah peristiwa itu, VOC membatasi gerak orang Tionghoa melalui aturan Wijkenstelsel. Sebuah aturan yang melarang Orang Tionghoa bermukim di sembarang tempat. Mereka harus dilokalisasi. Aturan untuk tinggal bersama sesama etnis Tionghoa inilah yang akhirnya menjadi cikal-bakal Pecinan atau Kampung Cina. Meski sudah dilokalisasi, interaksi orang-orang Tionghoa dengan penduduk lainnya tak terbendung. Dari sinilah tradisi dan kebudayaan orang Tionghoa bercampur-baur dengan tradisi dan kebudayaan milik orang lain. Salah satunya adalah tradisi merayakan Imlek. Perayaan Imlek jatuh pada tanggal yang berbeda dalam kalender masehi. Ini karena Imlek mengikuti Kalender Tionghoa yang penghitungannya berbeda dari kalender masehi.
Tahun ini perayaan Imlek berlangsung pada masa pandemi covid-19 yang belum tuntas di Indonesia. Klenteng yang sebelumnya ramai menjelang Imlek, kini sepi. Pengunjung yang ingin berdoa pun dibatasi jumlah. Waktu kunjungan juga dipangkas demi menekan penyebaran covid-19. Para pengurus berbagai klenteng di Bekasi, Glodok, Ancol, dan Tangerang pun terus memberi penganut Kong Hu Chu peringatan untuk merayakan Imlek secara virtual demi keamanan bersama.
Namun ditengah kegamangan itu, ternyata bangsa Indonesia tetap memiliki jiwa toleransi antar umat beragama yang tinggi. Di Klenteng Hok Lay Kiong Bekasi, misalnya, ternyata banyak pekerja Klenteng di luar penganut Kong Hu Chu. Salah satunya Pak Osin (46) yang seorang Muslim. Pria yang sudah bekerja sejak 1993 tersebut mengatakan, tidak pernah kesulitan melaksanakan sholat meski berkerja di Klenteng yang sudah berumur sekitar 300 tahun tersebut. “Saya sejak awal disini selalu menjalanin kewajiban saya bekerja di tempat ibadah seperti ini, waktunya saya solat ya solat tidak ada larangan.” ujarnya.
Pak Osin menambahkan, baginya bekerja di tempat ibadah agama dan etnis apapun sama saja. Semua merujuk pada kuasa Tuhan. “Yang penting tergantung niat. Kita Muslim. Waktunya ibadah, ya ibadah, waktunya bekerja, ya kerja. Yang penting kita mencari nafkah untuk keluarga dirumah. Saya juga berharap kita bangsa Indonesia selalu menjunjung keberagaman,” katanya.
Ada pula cerita Pak Parto (51) yang bekerja di Klenteng Da Bo Gong, Ancol, Jakarta. Klenteng yang sekarang bernama Vihara Bahtera Bhakti berdiri dari kisah cinta seorang juru masak kapal Laksamana Cheng Ho. Juru masak ini beragama Islam. Namanya Sampo Soei Soe. Dia jatuh cinta kepada Siti Wati, putri dari ulama terkenal bernama Mbah Areli Dato Kembang dan Ibu Eneng.
Pak Parto selain menjaga vihara juga mempunyai tugas khusus yaitu menjaga makam serta ruangan untuk mendoakan Mbah Said Areli Dato Kembang dan Ibu Eneng. Letaknya ada dibelakang vihara. Menurut pria yang sudah bekerja selama 28 tahun disana itu toleransi antar umat beragama sangat dijunjung tinggi di lingkungan klenteng. “Pengunjung disini membaur ya, bukan hanya orang Konghucu ya, bukan orang Muslim saja. Bahkan orang Katolik pun juga ada. Jadi ya keberagamannya sangat terasa,” ujarnya.
Pak Parto juga mengatakan, tidak ada kendala bagi umat lain yang ingin berkunjung ke Vihara ini. Ada mushola di lingkungan vihara bagi Muslim yang ingin mendirikan salat. “Supir-supir yang mengantar majikannya berdoa ke klenteng kan biasanya muslim ya, jadi bila waktunya salat mereka bisa salat di klenteng,” tutupnya.
Pesona serta keberagaman klenteng dan imlek memang tak pernah akan habis dibahas. Bukan hanya di lingkup klenteng, keberagaman imlek juga meliputi para pedagang yang menjual pernak-pernik Imlek serta dupa. Banyak dari mereka yang bukan berasal dari etnis Tionghoa namun ikut menyemarakan suasana Imlek. Selain itu klenteng-klenteng tua kini menjadi magnet wisata sejarah.
Deasy Malessy (32), salah satu pengunjung klenteng Hok Lay Kiong, mengatakan bahwa berkunjung ke klenteng merupakan salah satu upaya untuk menambah pengetahuan sejarah bangsa. “Karena tempat ini menarik. Saya dengar sudah 300 tahun berdiri. Saya ingin lebih tahu tentang budaya Tionghoa seperti apa. tempat ini juga terbuka untuk umat beragama lain yang mau berwisata sejarah ke sini.”
Mendengar berbagai pengalaman dari mereka semua, tentu saja akan membawa kita semakin yakin walaupun ditengah gempuran pandemi dan hambatan lainya makna keberagaman antar umat beragama dalam Imlek tetap akan terus mengalir di Indonesia.