Masuk Daftar
My Getplus

Muslim Keturunan Konghucu

Terdapat ribuan Konghuihui atau muslim keturunan Konghucu di Cina. Mereka berasal dari pernikahan anak bungsu keturunan Konghucu ke-58 dengan perempuan muslim.

Oleh: Novi Basuki | 06 Des 2017
Kong Lingzhen, seorang muslim keturunan Konghucu yang kini menjabat sebagai anggota Komite Pengurus Masjid Besar Dongguan, Kota Xining, Provinsi Qinghai. Putranya, Kong Dejun, adalah cendekiawan Islam terkenal di Cina. Foto: muslimwww.com.

ADANYA keturunan filsuf Kongzi alias Konghucu (551 SM–479 SM) yang menganut agama Islam masih jarang menjadi bahasan sejarawan sampai sekarang. Minimnya literatur terkait barangkali menjadi penyebab utamanya. Atau, bagi orang-orang tertentu, boleh jadi karena hal itu dipandang sebagai “hil yang mustahal”.

Walakin, para pemikir muslim masyhur di masa kedinastian Cina, seperti Wang Daiyu (1570–1660) dan Liu Zhi (1660–1739) yang menulis bejibun magnum opus, beranggapan terdapat banyak titik temu antara ajaran Islam (Hui) dengan falsafah Konghucu (Ru). Mereka, laiknya Wali Songo yang merangkul kepercayaan lokal di Jawa, gigih menyelaraskan keduanya demi diterimanya Islam secara lebih luas di Cina. Dalam kerangka penyerbukan Islam-Konghucu (Huiru) inilah, termasuk keturunan Konghucu sendiri akhirnya turut menjadi pemeluk Islam.

Kini, muslim keturunan Konghucu itu banyak tinggal di Yongjing, kabupaten paling utara di Prefektur Otonomi Hui Linxia (Linxia Huizu Zizhi Zhou), Provinsi Gansu. Jumlahnya, menurut taksiran Yang Deliang dalam “Muslim Marga Kong: Ingatan dan Sejarah” (Kong Shi Musilin: Jiyi yu Lishi, 2015), sekitar 1000 orang. Masyarakat setempat mengenal mereka sebagai “Kong Huihui”. “Kong” merujuk kepada Konghucu; “Huihui” atau “Hui” saja, meski sebenarnya adalah sebutan untuk suku tertentu, namun biasa dipakai untuk menyebut muslim di Cina secara kesuluruhan. Peneliti dari North Minzu University tersebut memperkirakan, ada 5000 lebih “Konghuihui” di seluruh Cina.

Advertising
Advertising

Baca juga: Kapan Islam Disebarkan Pertama Kali ke Cina?

Leluhur “Kong Huihui”, menurut Kong Deshuang dalam buku “Sejarah dan Kondisi Terkini Keturunan Konghucu yang Bermigrasi ke Yongjing” (Yiju Yongjing zhi Kongzi Houyi de Lishi yu Xianzhuang, 2008), berasal dari keturunan Konghucu di Lingnan (Lingnan pai). Kita tahu, keturunan Konghucu terbagi menjadi beberapa kelompok sesuai daerah yang mereka tinggali. Lingnan pai adalah sebutan untuk mereka yang berdomisili di Kanton dan Cina bagian selatan lainnya.

Silsilah Keluarga Konghucu (Kongzi Shijiapu) merunut, sekira pada masa Dinasti Song pemerintahan Kaisar Lizong (1225–1264), Kong Qin beserta empat keturunan Konghucu ke-53 yang lain, melakukan hijrah dari Kanton ke Gaolan, salah satu kabupaten di Kota Lanzhou, Gansu. Namun, dokumen tulisan tangan Silsilah Keluarga Konghucu di Lanzhou (Jincheng Kong Shi Jiapu) yang kini disimpan di Gedung Arsip Kabupaten Yongjing menyebut, hijrah keturunan Konghucu dari Kanton ke Gansu sudah diawali oleh keturunan ke-52, Kong Jiaxing. Dari Gaolan, anak-pinak mereka kemudian berpindah ke Yongjing. Di Yongjing inilah, tepatnya di Desa Dachuan, Kecamatan Taiji, cikal bakal “Konghuihui” dimulai.

Baca juga: Keturunan Rasulullah di Cina

Sayangnya, hingga kini belum ditemukan bukti sejarah yang mencatat secara pasti bagaimana proses terbentuknya “Konghuihui” di masa silam. Sebagian besar tulisan tentangnya yang ada saat ini ditulis berdasarkan ingatan kolektif sesepuh “Konghuihui” yang diwawancarai oleh sedikit sejarawan Cina yang tertarik dengan kehidupan mereka.

Tulisan Yang Deliang yang disebut di atas, misalnya, mengutip beberapa pernyataan informan di Yongjing yang menyebut “Konghuihui” terbentuk setelah Kong Yanrong, anak bungsu Kong Gongyou (keturunan Konghucu ke-58 yang menetap di Dachuan setelah sebelumnya tinggal di Gaolan), menikah dengan wanita muslim bernama Ma Jiaga alias Maryam dari kampung sebelah.

Baca juga: Islam Nusantara dan Islam Konghucu

Masalahnya, ada perbedaan memori antara informan yang satu dengan informan yang lain untuk peristiwa yang sama. Satu informan menyatakan, Ma menikah dengan Yanrong setelah dirinya dan ibunya yang ditodong perampok dalam suatu perjalanan, diselamatkan Yanrong yang kebetulan sedang berburu di situ. Sebagai bentuk terimakasih, ibu Ma menghadiahkan Ma untuk diperistri Yanrong sebab Yanrong ogah menerima imbalan uang.

Informan lain malah menyatakan Yanrong sendirilah yang menghadang mereka karena terpikat oleh kecantikan Ma. Bagi ibu Ma, tak ada jalan lain selain mematuhi permintaan Yanrong untuk mempersunting Ma, lantaran Yanrong adalah “orang kuat” di daerah itu. Ada relasi kuasa (power relations) yang, nampaknya, sedang bekerja.

Entah versi mana yang benar. Kata kuncinya: Yanrong menikah dengan Ma.

Lantas, apakah Yanrong menjadi mualaf terlebih dahulu untuk menikahi Ma? Belum ada penjelasan untuk pertanyaan itu. Dalam tulisannya, Yang Deliang hanya menjabarkan ingatan narasumbernya bahwa Ma tetap makan penganan halal dan menjalankan kehidupan sebagaimana muslim biasanya setelah menikah dengan Yanrong. Sedangkan mengenai keagamaan Yanrong, Kong Lingzhen, seorang “Konghuihui” yang menjadi anggota Komite Pengurus Masjid Besar Dongguan, Kota Xining, Provinsi Qinghai, ketika diwawancarai majalah Sastra Hui (Huizu Wenxue, 2013) cuma menjawab secara implisit, “[...] bagaimanapun terbukanya keluarga suku Hui, tidak akan serta merta menikahkan putrinya dengan suku Han [yang nonmuslim]. Sekalipun mau menikahkan, syaratnya adalah [...] harus mengikuti agama [Islam].”

Baca juga: Riwayat ulama Wahabi nasionalis di Cina

Kalaupun Yanrong tidak pindah agama, makanan selama serumah dengan Ma semestinya tidak menjadi problem besar. Sebab, Konghucu dalam Kitab Kesusilaan (Liji) pernah bersabda, “junzi bu shi hun yu”: susilawan tidak akan makan babi. Tentu, asalkan Yanrong tak usah terlalu kritis menelaah asbabul wurud, etimologi, maupun interpretasi kontekstualnya. Dia cukup mengejawantahkan secara dogmatis laiknya muslim yang menaati begitu saja perintah larangan memakan babi di al-Qur’an. Atau, mungkin Yanrong bertindak seperti orang yang diceritakan Shahab Ahmed dalam What is Islam? The Importance of Being Islamic (2015) yang dengan gagah bilang, “you see, we are Muslim wine-drinkers.” Hanya saja, kalimatnya mesti diganti dengan “you see, I am Muslim pork-eater.”

Ringkas cerita, dari pernikahan yang diperkirakan berlangsung pada era Dinasti Ming pemerintahan Kaisar Chenghua (1465–1487) itu, Yanrong dan Ma dikaruniai tiga orang anak. Cuma anak ketiga mereka yang menganut Islam. Genealogi “Konghuihui” berakar pada anak bungsu Yanrong dan Ma yang tak lagi diketahui siapa namanya ini.

Penulis adalah kontributor Historia di Cina, sedang studi doktoral di Sun Yat-sen University, Cina.

TAG

Dunia Cina Islam

ARTIKEL TERKAIT

Ada Rolls-Royce di Medan Laga Kisah Mata Hari Merah yang Bikin Repot Amerika Dulu Para Sersan Berserikat Kisah Putri Bangsawan India Jadi Mata-mata Inggris (Bagian I) Setelah Gerard van Daatselaar Ditawan Warrior, Prahara di Pecinan Rasa Bruce Lee Masa Kecil Sesepuh Potlot Kombatan Minahasa dalam Serangan Umum Persahabatan Sersan KNIL Boenjamin dan dr. Soemarno Cerita Tak Biasa Mata-mata Nazi