Masuk Daftar
My Getplus

Sesaat Setelah Bung Karno Wafat

Kepergiannya menjadi hari berkabung nasional. Lautan manusia yang berduka hingga insiden kecil antara Dewi dan Haryatie sempat mewarnai suasana perkabungan.

Oleh: Martin Sitompul | 21 Jun 2024
Suasana upacara pemakaman Bung Karno di Blitar, Jawa Timur. Sumber: Betman/Corbis.

Langit Jakarta terbuka cerah pada pagi tanggal 21 Juni 1970. Paling tidak, cukup cerah bagi Jenderal Maraden Panggabean untuk mengayunkan stik golfnya di lapangan Senayan. Ketika hendak memukul bola, Maraden tetiba mendapat pesan penting melalui walky talky-nya. Bung Karno, presiden RI pertama, telah wafat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD). Buru-buru Maraden meninggalkan lapangan golf untuk melayat.

“Sewaktu saya tiba di RS Gatot Subroto, Pak Harto telah berada di sana, demikian pula Ibu Dewi Sukarno dan almarhum Brigadir Jenderal G. Dwipayana lengkap dengan kamera dan alat-alat perekamnya. Saya memegang dahi dan tangan Bung Karno, tubuhnya masih lemas, belum kaku,” kenang Maraden dalam otobiografinya Berjuang dan Mengabdi.

Bung Karno dikabarkan sudah mulai tak sadarkan diri sejak pukul 03.50. Menjelang nafasnya yang penghabisan, Bung Karno didampingi oleh anak-anaknya: Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh. Turut pula kedua menantu, Ommy Marzuki dan Dedy Soeharto, serta seluruh tim dokter yang merawatnya. Sebelum meninggal, Bung Karno sempat bertemu Kartika, putrinya dari Ratnasari Dewi yang masih berusia tiga tahun.  

Advertising
Advertising

Baca juga: Detik-detik Terakhir Sukarno

Keterangan resmi menyatakan Bung Karno meninggal dunia pukul 07.00. Upacara pemandian jenazah dimulai oleh keluarga Bung Karno. Di luar keluarga, Ibu Tien Soeharto diperkenankan jadi orang pertama yang membasuh kaki Bung Karno dengan kapas yang diberi air.

Di ruang tunggu kamar VIP RSPAD yang berukuran 8 x 4 meter, terletak sebuah peti mati di tengah ruangan. Dalam peti mati yang terbuat dari kayu jati serta pelituran perak di sana-sini itu terbujur jenazah Bung Karno. Seluruh tubuhnya dibaluti kain kafan, hanya mukanya yang masih dibuka.

“Diantara sedu sedan tertahan di ruangan sempit itu, wajah almarhum Bung Karno kelihatan tenang sekali, sementara kain putih berbau bunga-bungaan dengan sebuah bendera Merah Putih dipinggir peti. Sebuah dupa pembakaran terletak dibawah peti mati itu, menimbulkan suasana keharuan diantara kurang lebih 50 hadirin yang memenuhi ruangan tersebut,” demikian diwartakan Harian Kami, 22 Juni 1970.

Baca juga: Sukarno Meninggal Dunia

Dari RSPAD, memasuki tengah hari jenazah Bung Karno dibawa ke kediamannya di Wisma Yaso untuk disemayamkan. Massa yang berdiri sejak pagi di halaman RSPAD memberikan penghormatan terakhir pada iring-iringan pengantar jenazah Bung Karno. Di Wisma Yaso, suasana perkabungan begitu terasa. Banyak orang datang melayat, termasuk mantan istri Bung Karno Haryatie.

Menurut berita Kompas, 21 Juni 1970, setelah Haryatie datang ke Wisma Yaso, dia segera duduk bersila. Tak lama kemudian, Haryatie menjabat tangan Rachmawati yang duduk disebelah Dewi untuk menyatakan rasa belasungkawa. Tapi, ketika hendak menyalami Dewi, Haryati justu mendapat hardikan.

I heard you speak bad about Bapak. Why did you speak about him? You Should not be here (Saya dengar, kamu cerita sesuatu jang tidak baik tentang Bapak. Mengapa kamu lakukan itu. Kamu tidak boleh berada disini.),” kata Dewi ketus seraya menolak berjabat tangan dengan Haryatie, demikian dikutip Kompas.

Baca juga: Hartini, First Lady yang Tak Diakui

Haryatie yang tertegun malu melanjutkan jabatan tangannya kepada Sukmawati dan Ibu Hartini. Sejurus kemudian, dia meninggalkan tempat perkabungan. Selain itu, tampak pula seekor anjing kecil berbulu di antara keluarga Bung Karno. Anjung itu bernama Sitti, merupakan anjing betina kesayangan Bung Karno. Dewi kemudian terlibat insiden lagi, ketika para wartawan memotret jenazah Bung dari jarak dekat.

“Camera-man jangan terlalu dekat,” kata Dewi, “Jangan kurang ajar. Hormati Bapak.”

Sementara itu, Nyonya Wardoyo, kakak Bung Karno, tak kuasa membendung rasa sedihnya ketika mantan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo memasuki ruangan. Keduanya berpeluk-pelukan secara mengharukan. Ali Sastroamidjojo pun larut dalam isak. Ali Sastro dan Bung Karno adalah kawan seperjuangan di masa pergerakan dalam Partai Nasional Indonesia (PNI).

Baca juga: Kisah Sunyi Ali Sastroamidjojo

Setelah disemayamkan, jenazah Bung Karno dibawa ke Bilitar, Jawa Timur keesokan harinya untuk dimakamkan dekat makam ibunya. Pemakaman Bung Karno di Blitar diputuskan oleh Presiden Soeharto setelah melalui rapat dengan para menteri dan pemuka partai politik. Presiden Soeharto kemudian menunjuk Maraden Panggabean yang waktu itu menjabat sebagai wakil panglima ABRI merangkap panglima Kopkamtib sebagai inspektur upacara pemakaman.

Sepanjang jalan ke Lapangan Udara Halim Perdanakusuma, Maraden menyaksikan rakyat berjejal di pinggir jalan. Pemandangan itu sempat bikin ciut nyali Maraden. Apakah berita meninggalnya Bung Karno bakal menimbulkan emosi bagi para loyalis dan pengikutnya yang punya keyakinan “hidup atau mati ikut Bung Karno”.

“Saya heran sekali melihat begitu banyaknya rakyat berjajar sepanjang jalan dalam sikap memberi hormat kepada mantan pemimpinnya. Banyak yang mencucurkan air matanya dan ada yang berlari terus mau mengikuti iringan kendaraan kami. Sempat saya dengan penuh kewaspadaan melihat lautan manusia yang berdukacita itu,” demikian tutur Maraden.

Baca juga: Perintah Receh Jenderal Panggabean

Pemerintah kemudian menetapkan hari berkabungan nasional. Selama tujuh hari, masyararakat dan instansi pemerintah mengibarkan bendera setengah tiang. Simbol penghormatan kepada Bung Karno atas jasa dan perjuangannya selama hidupnya.  

TAG

sukarno blitar

ARTIKEL TERKAIT

Bowo Kecil Ditimang Bung Karno Evolusi Angkatan Perang Indonesia Bung Karno dan Jenderal S. Parman Penggila Wayang Pergeseran Kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto Melalui TAP MPRS 33/1967 Nawaksara Ditolak, Terbit TAP MPRS XXXIII/1967 Pertemuan Presiden Sukarno dan Paus Yohanes XXIII di Vatikan Bung Karno dan Takhta Suci Vatikan Rumah Proklamasi Pak Azis, Tukang Cukur Bung Karno Gambir Berdarah dan Kudatuli sebagai Tonggak Awal Reformasi