Sepi, sunyi, dan terasing. Perasaan itulah yang dialami Sukarno, presiden pertama Republik Indonesia menjelang akhir hayatnya. Prahara politik menjatuhkannya dari gelanggang kekuasaan.
Setelah dilengserkan, Bung Karno memasuki masa karantina politik alias jadi tahanan rumah. Pada Mei 1967, pihak berwenang memutuskan bahwa Sukarno tidak lagi diperkenankan menetap di Jakarta. Sukarno hanya diizinkan tinggal di salah satu paviliun Istana Bogor. Namun, semuanya tidak lagi sama. Anak-anak Sukarno mengenang periode ini sebagai masa kepahitan dalam keluarga mereka.
“Bapak sangat kesepian. Padahal Bapak seorang pribadi yang suka keramaian, suka dikelilingi kawan dan sahabat untuk berbicara tentang banyak hal. Pengasingan atas diri Bapak merupakan beban mental dalam dirinya,” tutur Rachmawati Sukarnaputri, putri ketiga Sukarno dalam Bapakku Ibuku: Dua Manusia yang Kucinta dan Kukagumi.
Sakit Luar Dalam
Beberapa bulan tinggal di paviliun, Sukarno menerima surat yang menyatakan haknya untuk tinggal di lingkungan istana kepresidenan dicabut. Setelah terusir dengan cara demikian, Sukarno pindah ke rumah peristirahatan “Hing Puri Bima Sakti” di Batutulis, Bogor. Suhu kota Bogor yang dingin rupanya turut mempengaruhi kesehatan Sukarno. Penyakit rematik, selain penyakit lain yang diidap Sukarno kerap kali kambuh. Anak-anak Sukarno minta izin kepada pemerintah agar ayah mereka boleh tinggal lagi di Jakarta. Permintaan itu dikabulkan langsung oleh Presiden Soeharto.
Sejak 1969, Bung Karno pindah dari Bogor ke Wisma Yaso, Jakarta Selatan. Wisma Yaso adalah rumah kediaman Sukarno dengan istrinya yang lain, Ratna Sari Dewi. Kendati demikian, tempat itu tidak lagi menjadi tempat yang hangat bagi Sukarno. Dewi –atas perintah Sukarno– telah angkat kaki dari sana dan menetap di Prancis. Kesunyian lagi-lagi mewarnai hari-hari Sukarno di Wisma Yaso.
Baca juga:
Menurut Peter Kasenda dalam Hari-hari Terakhir Sukarno, hidup Sukarno di Wisma Yaso ternyata sebuah siksaan bagi dirinya. Ketika tubuhnya yang semakin renta digerogoti oleh berbagai macam penyakit, Sukarno makin tertekan dengan kehadiran tentara yang datang menginterogasi. Pemeriksaan dari Kopkamtib itu mencoba mengorek keterangan untuk mengetahui sejauh mana keterlibatan Sukarno dalam Gerakan 30 September 1965. Ada upaya untuk menyeret Sukarno ke pengadilan.
Selain itu, waktu untuk mengunjungi Sukarno di Wisma Yaso dibatasi. Jam bertamu ditetapkan pukul 10.00—13.00. Sukarno mengisi waktunya dengan membaca atau kadang-kadang menonton film. Kalau kondisinya tidak terlalu lemah, Sukarno suka mengajak siapa saja untuk menemaninya bermain kartu remi. Taruhannya batang-batang korek api. Hiburan yang cukup mengasyikan bagi Sukarno yang dirundung sepi tidak terperi. Namun, main remi tidak banyak membantu pemulihan kesehatan fisik Sukarno. Begitu pula kondisi mentalnya.
Sekalipun di Wisma Yaso ada tim dokter yang merawatnya, kekalutan yang dialami Sukarno tidak dapat terobati. Ada kalanya raut muka Sukarno kelihatan sedih sebagaimana pernah disaksikan oleh dr. Mahar Mardjono, ketua tim dokter yang merawat Sukarno. Seperti dikisahkan dalam biografi Mahar: Pejuang, Pendidik, dan Pendidik Pejuang, Bung Karno kadang-kadang mengeluh, “Apa salah saya, kok saya diperlakukan begini?”. Dokter Mahar dan para dokter lainnya hanya dapat mendengarkan keluhan Sukarno semacam itu.
Dokter Mahar termasuk yang paling sering diminta datang pada malam hari untuk memeriksa Sukarno. Pernah pula Mahar harus membesuk ke Wisma Yaso menjelang pukul 12 malam karena Sukarno mengeluhkan nyeri kepala. Sukarno ternyata stres berat lantaran keinginannya sekedar jalan-jalan keliling kota diacuhkan. Sukarno menangis tersedu-sedu di pundak sang dokter.
Baca juga:
Tahun 1970, kesehatan Sukarno kian merosot. Menurut Mahar, Bung Karno menderita penyakit batu ginjal, gangguan peredaran darah otak, gangguan peredaran darah pada jantung, dan tekanan darah tinggi. Pada 16 Juni, Sukarno mengalami kritis dan dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat. Hari demi hari kesadarannya berangsur-angsur menurun. Setelah bergumul dengan penyakit, Bapak Proklamator itu akhirnya menyelesaikan perjuangannya untuk selamanya. Pada 21 Juni, pukul 07.00 pagi, Bung Karno dinyatakan meninggal dunia.
Dimana Rekamannya?
Beberapa cerita kecil tersisip dalam peristiwa seputar wafatnya Bung Karno. Berita Kompas 22 Juni yang dikutip penulis biografi terkemuka Nurinwa Ki S. Hendrowinoto dalam Pieta: Senandung Indonesia Raya menguak kisah mengenai proses pemandian jenazah Bung Karno. Dalam artikel bertajuk “Saat2 Sebelum Djenasah Diberangkatkan” itu, diwartakan upacara pemandian jenazah dimulai oleh keluarga Bung Karno. Menariknya, Ibu Tien Soeharto mendapat kesempatan sebagai orang pertama yang membasuh kaki Bung Karno dengan kapas yang diberi air.
Setelah dimandikan sesuai ajaran Islam, Buya Hamka menjadi imam shalat jenazah Sukarno. Hamka adalah kawan lama Sukarno semasa pengasingan di Bengkulu. Perbedaan haluan politik menyebabkan keduanya berseteru pada awal 1960-an. Hamka bahkan sempat dipenjara dan karya-karyanya dilarang beredar ketika Sukarno berkuasa. Tapi, begitulah wasiat Bung Karno sebelum wafat yang kemudian digenapi secara tulus oleh Hamka.
Sebagaimana dicatat oleh James R. Rush dalam Adicerita Hamka, sewaktu menyalatkan jenazah Sukarno, Hamka berujar, “Dengan ikhlas saya berkata di dekat peti matinya, ‘aku maafkan engkau, saudaraku’”. Sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan, Sukarno, kata Hamka adalah orang besar yang membangun nasionalisme bangsa Indonesia.
Baca juga:
Selain itu, pada hari Sukarno wafat, menurut Guruh Sukarnaputra – putra bungsu Bung Karno–, terdapat tim Angkatan Darat yang merekamnya. Namun, hingga kini rekaman itu tidak kunjung ditemukan atau diserahkan. Padahal, rekaman itu sangat penting dalam mendokumentasikan suasana akhir hayat Bung Karno.
“Keberadaan arsip rekaman tersebut pasti ada dan tersimpan sampai sekarang oleh mereka (Angkatan Darat),” kata Guruh.