PUASA Ramadhan tahun ini sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Buat para penggila bola, puasa kali ini “kering” sajian sepakbola karena pandemi virus corona masih berjangkit di mana-mana. Padahal sebelumnya, sepakbola acap jadi teman makan sahur.
Tetapi, belum lama ini sejumlah liga top Eropa musim 2019/2020 dikabarkan bakal dilanjutkan. Sementara, Eredivisie (Liga Belanda) diakhiri tanpa juara dan Ligue 1 (Prancis) dihentikan total dengan “menghadiahi” Paris Saint-Germain (PSG) sebagai juaranya. Adapun Liga Champions belum dirilis keputusannya oleh UEFA.
Kalaupun bakal dilanjutkan lagi, empat liga top Eropa bakal menerapkan prosedur kesehatan luar biasa ketat. Yang paling signifikan, laga-laga bakal dilakoni tanpa penonton. Lantas, bagaimana dengan Liga 1 Indonesia?
“Kalau pertandingan tidak boleh ada penonton, seperti ada yang hilang dari sepakbola. Karena dalam sepakbola tidak hanya ada permainan dan taktik. Ada juga antusiasme suporter berupa nyanyian penambah motivasi, dan itu yang bikin sepakbola itu menarik,” ujar Yeyen Tumena, eks bek timnas Indonesia, dalam obrolan live “Bolatoria” bersama jurnalis olahraga Kukuh Wahyudi dan dipandu host Ari Putra Prima, Jumat (15/5/2020).
Baca juga: Wabah Virus Corona yang Mengacaukan Sepakbola
Dalam live di Youtube dan Facebook yang dihelat Historia bersama Bolalob.com itu Yeyen menambahkan, “Kalau kompetisi di Indonesia, menurut saya, kita harus menghitung ulang plus-minusnya. Mungkin klub banyak berpikir, ya sudah stop untuk fokus kesehatan dll. Kalau memang belum ada izin keramaian, misalnya dari pemerintah karena PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) masih berjalan, sulit kita lanjutkan. Tapi harus ada solusi terhadap para pelaku sepakbola yang hidup dari sepakbolanya juga,” imbuh jebolan timnas Primavera I (1993) yang kini menjabat Ketua Asosiasi Pelatih Sepakbola Seluruh Indonesia (APSSI) itu.
Dilema Ibadah Puasa Pesepakbola Muslim
Terlepas dari perkara pandemi corona, masih ada dilema lain yang dihadapi para pemain mengingat saat ini bulan suci Ramadan. Bagi para pemain Muslim di liga-liga top Eropa, mereka dihadapkan pada persoalan apakah mengutamakan profesionalitas atau keimanannya sebagai umat Islam yang wajib berpuasa.
“Iya mungkin di negara-negara mayoritas Islam kompetisinya bisa gampang dikompromikan. Semisal pertandingannya dimundurkan jamnya setelah berbuka puasa. Tapi enggak begitu di Eropa. Nah perkara dilema ini banyak dialami pemain-pemain bintang yang Muslim, antara merelakan diri untuk tidak puasa atas nama profesionalitas atau tetap teguh berpuasa,” timpal Kukuh.
Persoalan itu tentu pernah dialami Zinedine Zidane, Nicolas Anelka, Thierry Henry, Frédéric Kanouté, Kolo Touré, Éric Abidal, Karim Benzema, Mesut Özil, Paul Pogba, Mohamed Salah, dan sederet pesepakbola Muslim lain. Penyelesaian dilema tersebut lazimnya bervariatif, bergantung pada pihak klub maupun pelatih, mau memaklumi atau tetap menuntut profesionalitas si pemain. Dengan kondisi tersebut, lanjut Kukuh, semua kembali bergantung pada pribadi si pemain, apakah tetap mau berpuasa di tengah padatnya jadwal latihan dan pertandingan atau memilih tak puasa dan membayar utang puasa ketika kompetisi tengah libur.
“Ada juga kasusnya Anelka yang mualaf sejak 2004. Di musim berikutya, 2005, dia memilih pindah ke Fenerbahçe di Turki dari Manchester City. Karena di Turki yang mayoritas Muslim, dia bisa lebih disiplin menjalani ibadahnya,” tutur Kukuh.
Baca juga: Özil dan Perkara Peranakan Muslim Turki
Sebelum dekade 2000-an, operator liga-liga Eropa belum menjadikan bulan puasa sebagai isu penting. Sebab, kecuali kompetisi di Prancis yang banyak imigran Afrika Utara dan negara-negara Eropa Timur, di era itu belum banyak pemain Muslim yang berkiprah terutama di liga-liga top Eropa Barat.
Di Jerman, misalnya, pemain Muslim baru ada seorang pada 1967, yakni Özcan Arkoç, kiper asal Turki yang membela Hamburg SV. Sedangkan di Inggris kala kompetisi profesional Premier League memasuki debutnya pada 1992, baru ada Mohamed Alí ‘Nayim’ Amar, gelandang kelahiran Spanyol yang direkrut Tottenham Hotspur, sebagai pemain Muslim.
Seiring makin banyak pemain Muslim di liga-liga top Eropa pada akhir 1990-an, menurut Arief Natakusumah dalam Drama Itu Bernama Sepakbola: Gambaran Silang Sengkarut Olahraga, Politik, dan Budaya, persoalan Ramadan mulai jadi perhatian FA (Inggris) mulai 2004.
“Kepedulian FA sebagai tindak lanjut insiden terbesar atara Ramadan versus sepakbola yang terjadi di Manchester, 2003. Saat itu sebuah tim lokal remaja, Abram Moss Warrior, kena hukuman 250 pound dan reduksi nilai sebanyak sembilan poin akibat tak mau bertanding seperti biasa dengan alasan para pemainnya tengah berpuasa,” tulis Arief.
Baca juga: Lima Atlet Muslim Turki Pengabdi Jerman
Kasus Abram Moss itu jadi perhatian Dewan kota Manchester dan sempat viral di seantero negeri. Kasusnya menjadi pertanyaan, mengapa FA memberi sanksi lebih berat ketimbang kasus-kasus yang lebih parah di level Premier League semisal kasus tawuran 22 pemain Arsenal kontra Manchester United di Old Trafford pada 1990. Middlesbrough yang pernah absen dalam liga pada 1996, juga sekadar dihukum pengurangan tiga poin.
“Setelah (kasus) itu FA bertindak bijak. Untuk menghormati datangnya 1 Ramadan 1427 H atau 5 Oktober 2005, tiada duel Premier League pada midweek. Ketika hari raya Idul Fitri jatuh pada 3-4 November 2005, di Inggris pun tak ada jadwal kompetisi,” tambahnya.
Adaptasi Tubuh
Penyesuaian jadwal acap dijadikan solusi negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim untuk menyiasati kompetisi di bulan puasa. Sementara bagi pemain yang teguh berpuasa meski tanpa dimaklumi klub maupun pelatih, mesti berupaya dua kali lebih berat. Sebab, mereka harus memikirkan cara adaptasi tubuh agar tak begitu banyak mempengaruhi performa di lapangan.
“Peneliti Aljazair Dr. Zerguini yang juga anggota komisi kesehatan medis FIFA sejak 1980-an menjalani studi kasus ini bersama pusat riset dan medis FIFA, F-Marc. Kesimpulan laporannya, salah besar kalau ada anggapan Ramadan membahayakan kesehatan (pesepakbola),” sambung Arief.
“Dari perspektif medis, aktivitas sepakbola selama puasa memunculkan banyak hal bagi tubuh kecuali traumatology dan cardio-respiratory. Kendalanya persiapan fisik, kondisi psikis, nutrisi, metabolis, pengaturan cairan tubuh dan elektrolit serta jam biologis termasuk juga hydroelectrolytic, hypoglycaemia, dan dehidrasi. Semua fenomena ini dikenal sebagai over-compensation yang terjadi drastis sampai satu pekan pertama bulan puasa,” tambahnya.
Baca juga: Wasit Indonesia Berlisensi FIFA Pertama yang Terlupa
Pada pekan kedua, tubuh sudah mulai terbiasa menyimpan cadangan tenaga hasil kombinasi puasa, latihan, dan diet karbohidrat tinggi. Di sisi lain, tubuh juga akan terasa lebih enteng lantaran sudah melewati proses detoksifikasi. Hal itu diamini Yeyen yang mengalami puasa di Italia (tim Primavera) pada 1993-1994, selain di negeri sendiri sepanjang berkarier bersama PSM Makassar, Persebaya Surabaya, Persija Jakarta, dan Persma Manado kurun 1995-2007.
“Di Primavera malah pertandingannya siang, jam 2 atau jam 3 siang. Sulit untuk kita bisa bilang bahwa boleh tidak puasa karena sebagai musafir dan segala macam. Kawan-kawan sebagian besar tetap berpuasa dan itu berdampak pada penampilan langsung. Sampai manajemen, pelatih, memberi wejangan supaya anak-anak jangan puasa deh, kalau memang tidak mampu,” kata Yeyen mengenang.
“Kalau pengalaman di Liga Indonesia ya harus bermain malam. Memang kita bermain tidak kekurangan cairan karena sudah masuk makanan saat berbuka, dan minimal harus yang masuk karbohidrat. Secara prosedur kesehatan, minimal karbohidrat yang masuk ke badan itu tiga jam sebelum pertandingan. Kalau yang masuk protein atau lemak, itu butuh waktu lebih lagi untuk tubuh kita mencerna,” tambahnya.
Baca juga: Kelincahan Kaki Yaris Riyadi
Tetapi yang jadi PR kalau di negeri sendiri, sambung Yeyen, justru soal pola istirahat. Sebab, pertandingan dimainkan lebih malam, yakni jam 21.30 atau satu jam lebih awal daripada liga di Malaysia.
“Dampaknya berubah cara hidup. Biasanya malam sudah harus istirahat, nah ini berubah jadi ke pagi. Kalau main malam biasanya selesainya 23.30, artinya kita enggak bisa langsung makan, enggak bisa langsung istirahat karena ada asam laktat dalam tubuh yang membuat kita pegal, enggak bisa tidur, enggak bisa makan, maunya minum aja,” papar Yeyen.
“Kalau tidak diatasi, si pemain baru bisa tidur setelah sahur. Itu kembali pada masing-masing pemain untuk bisa menjaga fisik secara profesional. Tapi ini kan kalau menurut medis tidur malam dengan tidur pagi-siang kan berbeda. Nah, di situ yang besar pengaruhnya bagi pemain ketika ada pertandingan di bulan puasa,” sambung bek kelahiran Padang, 16 Mei 1976 itu.
Tetapi jika lingkungan mendukung, otoritas juga mendukung, fisik dijaga betul-betul, dan pola makan serta istirahat diperhatikan benar, bukan tidak mungkin si pemain atau sebuah tim bisa tetap berjaya di lapangan meski tengah puasa. Selain disiplin diri, faktornya adalah keteguhan iman. Hal itu bukan hanya slogan, tapi memang ada faktanya.
“Contoh kasusnya juga yang menarik. Pertama, soal final sepakbola putra Asian Games 1998 di Bangkok. Yang ketemu itu Kuwait dan Iran. Sementara Kuwait memilih bersantai dan tak melakukan aktivitas fisik jelang final, tim Iran tetap giat latihan. Dua tim saat final sama-sama berpuasa, tapi akhirnya tetap Iran yang menang 2-0,” ujar Kukuh.
“Pernah juga ada kasus semifinal leg kedua CAF Champions League, November 2003. Tuan rumah ES Tunis tahu para pemain tim tamu, Ismaily FC, tetap puasa dan dengan culas mengubah jadwal dari jam 21.30 ke jam dua siang. Pelatih Ismaily (Theo Bucker) sampai mengutuk siasat tuan rumah. Jadilah itu pertandingan tim yang puasa dan tidak. Hasilnya mengejutkan, Ismaily menang 3-1,” tandasnya.
Baca juga: Main Bola Bukan untuk Pamer Paha