SETAPAK demi setapak, Kosasih Kartadiredja melangkahkan kaki dengan bantuan kruk dari sebuah pangkalan ojek ke rumahnya yang berjarak sekira 200 meter. Di pangkalan ojek itulah sehari-hari wasit legendaris itu menghabiskan waktu masa senjanya dengan bercengkerama bersama tukang ojek.
Siang itu, 12 Februari 2019, Kosasih menerima Historia di teras rumahnya di Cikole, Sukabumi. Setelah sang istri rampung menata cangkir-cangkir kopi di meja teras, Kosasih bersemangat membicarakan sepakbola Indonesia “zaman now”, yang amat berbeda dari masa ketika dia masih memimpin sejumlah pertandingan, baik di dalam maupun luar negeri di era 1970-an. Pun soal perwasitannya.
“Wasit sekarang saya lihat kadang takut mengeluarkan kartu kuning atau merah. Takut mungkin tekanan tuan rumah atau penonton. Enggak boleh begitu! Wasit itu director of the game, pemimpin pertandingan,” ujarnya saat memulai perbincangan.
Dari Pemain Jadi Wasit
Bagi publik sepakbola sekarang, nama Kosasih Kartadiredja termasuk asing. Namun pada 1970-an, nama Kosasih jadi momok buat setiap tim, pemain, maupun sesama wasit. Ia selalu berusaha berada sedekat mungkin dengan bola untuk menetapkan keputusan-keputusan tepat nan tegas.
Persentuhan awal pria kelahiran Sukabumi, 13 Agustus 1934 itu dengan sepakbola terjadi saat dia menjadi pemain Perssi Sukabumi pada 1950-an. Tapi karena kariernya mandek, dia memilih beralih jadi wasit pada 1955.
“Ayah saya, Mohammad Saleh Kartadiredja, awalnya juga keberatan saya main bola. Apalagi karena saya tidak tamat SMA. Hanya lulusan SR (Sekolah Rakyat) dulu tahun 1950. Tapi tetap saya main sampai sempat di tim Perssi Yunior sampai 1955. Tahun berikutnya saya dinasihati pelatih saya bahwa kalau tetap jadi pemain, tidak akan jadi pemain bagus. Lebih baik jadi wasit. Makanya kemudian saya belajar jadi wasit,” kenangnya.
Mulai 1955 itulah Kosasih kursus bahasa Inggris, kemudian ikut pendidikan wasit tingkat kabupaten hingga mendapat Lisensi C3 PSSI. “Lalu meningkat lagi, ikut ujian pendidikan Lisensi C2 tingkat provinsi (Jawa Barat) dan setelah itu dapat Lisensi C1 nasional setelah pendidikan satu bulan di Jakarta pada 1965,” ujar ayah dari 12 anak itu.
Dalam setiap laga kompetisi Perserikatan yang dipimpinnya, Kosasih senantiasa berusaha bertindak adil dalam mengambil setiap keputusan. Jadilah Kosasih wasit PSSI pertama berlisensi FIFA pada 1972. “Sampai awal 1972, PSSI mengajukan nama saya ke FIFA. Dalam beberapa waktu saya diteliti (dipantau, red.) oleh Mister (Peter) Velappan dari AFC. Akhirnya, di tahun yang sama saya lulus Lisensi FIFA,” sambungnya.
Badge FIFA yang didapatnya membuat Kosasih makin disegani di lapangan. Sekalipun ada yang menantang, Kosasih pantang ciut nyali. “Jadi wasit mah jangan takut,” katanya. Ucapan itu bukan pemanis bibir belaka, Kosasih membuktikannya ketika memimpin laga-laga Perserikatan. Ketika memimpin laga antara Persija vs Persebaya di Stadion Utama Senayan (kini Stadion Utama Gelora Bung Karno), 11 Desember 1973, Kosasih tak segan mengusir dua pemain bintang, Rusdy Bahalwan dan Simson Rumahpasal.
Baca juga: Persija dan PSMS Berbagi Trofi Juara
“Dulu, dua pemain terbaik Indonesia yang banyak wasit segan sama mereka, Rusdy dan Simson, saya kasih kartu merah. Tek…tek, udah saya usir,” ujarnya seraya memeragakan pengacungan kartu merah. “Ya karena terjadi pelanggaran, keduanya beradu begitu, sampai bertengkar. Manajer timnya Pak (Maulwi) Saelan juga mau marah, tapi tidak saya perhatikan.”
Di lain waktu, seorang pemain bahkan menantang Kosasih karena tak terima diusir dari lapangan. “Pernah pertandingan di Makassar, si Andi Lala tidak terima keputusan saya. Dia bilang, ‘Awas nanti di luar ya!’. Tunggu saja di luar, saya jawab begitu,” kata Kosasih yang lupa kapan persisnya momen itu terjadi.
“Dia memang dikenal galak, sangat berani mengeluarkan kartu merah sehingga dijuluki budak leutik paling berani. Sementara di Asia, dia dijuluki wasit King Cobra,” tulis Irman Firmansyah dalam Kota Sukabumi: Menelusuri Jejak Masa Lalu.
Raja Kobra Asia di Pentas Dunia
King Cobra jadi julukan yang melekat pada Kosasih lantaran ketegasannya bikin kagum publik sepakbola Asia. “Ya itu julukan awalnya dari media Singapura (Strait Times). Karena katanya saya lincah bergerak mendekati bola saat pemainan berlangsung. Ya namanya wasit harus begitu, maksimal 10 meter dari bola,” sambungnya.
Sejak mengantongi Lisensi FIFA pada 1972, Kosasih kerap diminta jadi pengadil di sejumlah ajang sepakbola. Antara lain, King’s Cup 1972 dan 1972 di Thailand, Quoc Khanh Cup 1973 di Vietnam, dan President’s Cup 1975 di Korea Selatan.
Baca juga: Persipura Mengalah di Vietnam
Dari Asia, nama Kosasih lalu mulai dikenal dunia. Dia dipercaya menjadi salah satu wasit di Piala Dunia Yunior 1979 di Tokyo. Tapi Kosasih tak sempat memimpin laga-laga yang dimainkan Diego Maradona, bintang sepakbola asal Argentina yang sinarnya mulai benderang di ajang ini. Pasalnya, Argentina tergabung di Grup B bersama Indonesia.
Menurut catatan FIFA dalam Technical Study Report: FIFA World Youth Tournament 1979, Kosasih tiga kali tampil di lapangan. Sekali sebagai wasit utama dalam laga antara Spanyol vs Aljazair (Grup A), dua lainnya sebagai asisten wasit (hakim garis) di partai Uni Soviet vs Hungaria (Grup D) dan Spanyol vs Meksiko (Grup A).
“Tentu bangga mewakili Indonesia, selain timnas PSSI-nya juga ikut tampil. Saya satu dari tiga wasit Asia yang ikut. Saya modalnya hafal peraturan dan berusaha kuat mental menghadapi pemain. Dalam perwasitan FIFA kan kita harus ingat 5F: Faithfull (yakin), Fearless (tak gentar), Fair (adil), Firm (tegas), Fitness (kuat jasmani dan rohani),” papar Kosasih.
Momen-momen lain yang tak terlupakan bagi Kosasih adalah saat ikut memimpin laga-laga eksebisi klub-klub Eropa yang bertandang ke Indonesia. “Dulu ada pertandingan MU (Manchester United) dan Ajax Amsterdam tahun 1975. Juga Liverpool dan Cosmos, itu yang ada Pelé-nya ikut main (1976),” kenangnya.
Upah Tak Seberapa
Prestasi tak selalu berbanding lurus dengan materi. Kosasih tahu betul itu karena dia mengalaminya. Upahnya sebagai wasit tak seberapa. Seingatnya, saat mewasiti laga-laga di Indonesia dia hanya diupah sekira Rp20 ribu per laga. Sementara kalau laga-laga yang dinaungi FIFA, Kosasih mendapat Rp100 ribu per laga.
Keadaan itulah yang membuat posisi wasit rentan sogokan. Kosasih tak sekali-dua kali ditawari “uang haram” untuk mengatur skor. Tapi, tak sekali pun dia mau terima. Untuk menafkahi istri dan ketujuh anaknya, Kosasih memilih hidup pas-pasan ketimbang terima duit panas macam begitu. “Sampai pernah saya harus jual medali emas penghargaan Kejuaraan Dunia (Piala Dunia Yunior) 1979 itu buat kebutuhan sehari-hari,” ujar Kosasih lirih.
Lepas Peluit
Setelah malang-melintang di dunia perwasitan hingga tingkat dunia, Kosasih lepas peluit alias pensiun pada 1986. Namun, hidupnya tetap tak jauh dari perwasitan Indonesia. Sedari 1986, Kosasih masuk ke Komisi Wasit PSSI dan menduduki jabatan wakil ketua setahun setelahnya sampai 1995. Dalam kurun itu, Kosasih makin sibuk sehingga memilih pensiun dini dari kedinasan di Pemerintah Daerah (Pemda) II Kabupaten Sukabumi.
“Dari 1980-an kan saya sudah diangkat PNS Pemda Kabupaten Sukabumi. Tapi 1993 saya pilih pensiun dini. Ya karena jarang masuk juga, kan. Karena saya sering ke luar negeri untuk (mewasiti) pertandingan atau ikut mengajar penataran wasit,” sambungnya.
Setelah tak lagi di Komisi Wasit, Kosasih tetap diminta menjadi tenaga pengajar penataran wasit C-III hingga C-I dalam beberapa penataran yang digelar PSSI. Kerjaan itu dia lakoni sampai 2007. Setelah itu, Kosasih hanya menghidupi keluarganya dengan bermodal uang pensiunan PNS Golongan III-C dan gaji kecil istrinya, Dede Rokayah, yang berprofesi sebagai guru SD.
Kosasih tak pernah mengeluh apalagi menuntut. Hal itu menjadi pembuka pintu rezeki baginya. Pada 2007, Kemenpora menganugerahinya medali Adi Manggalya Krida dalam rangka Hari Olahraga Nasional, 9 September. “Awalnya saya enggak tahu. Tapi bantuan Menpora Adhyaksa Dault itu datang setelah ada pengurus RW sini yang prihatin. Dia tulis surat ke Kemenpora bahwa ada seorang wasit dunia yang keadaannya serba susah. Ternyata dikasih penghargaan dan santunan Rp10 juta,” ujarnya.
Kosasih amat mensyukurinya kendati kehidupan keluarganya masih pas-pasan. Kehidupannya bertambah berat setelah Kosasih terserang stroke pada 2012 hingga membuatnya tak bisa berjalan lagi. “Saya kena (stroke) itu lagi di jalan di trotoar dekat UMMI (Universitas Muhammadiyah Sukabumi). Ditolong teman saya yang polisi ke rumah sakit. Ini kaki saya yang kiri istilahnya sudah ngaplek begini. Tapi saya tidak bisa operasi karena mahal. Tidak ada bantuan dari mana-mana. Lupa begitu saja. Ya PSSI, ya Pemda,” kata pria berusia 85 tahun itu.
Baca juga: Ketua Umum PSSI Mundur karena Malu
Sejak itu, perekonomian keluarganya tergolong susah karena harus membagi pendapatan pensiunannya untuk pengobatan. Pengobatannya pun sekadar pijat/urut seminggu sekali. Kosasih sempat lumpuh dalam waktu lama. Tapi sejak tahun lalu, perlahan Kosasih sudah mulai bisa belajar jalan dengan bantuan kruk. “Kaki kiri saya masih sering terasa sakit. Tapi ya mau bagaimana lagi? Buat saya, Alhamdulillah masih bisa gerakan salat,” tutupnya.