Masuk Daftar
My Getplus

Main Bola Bukan untuk Pamer Paha

Mulai populer di era 1980-an, sepakbola putri terus menuai penentangan. Alhasil, kini mengalami kemunduran.

Oleh: Randy Wirayudha | 21 Apr 2018
Buana Putri, salah satu klub terbesar dalam sepakbola putri era 1980-an. Foto: Majalah Kartini, No. 267 11-24 Februari 1985.

SIANG itu tribun Stadion Tamansari, Jakarta Barat, sesak penonton. Mayoritas kaum Adam. Mereka bersemangat memelototi jalannya pertandingan. Maklum, pertandingan yang dimainkan bukan melibatkan klub UMS 80, Warna Agung, atau Arseto, tapi pertandingan Parkit vs Buana Putri alias pertandingan sepakbola putri.

Alhasil, saban para “Kartini” berkostum dengan paha terbuka itu menggiring atau menendang bola, sorakan penonton membahana. Rasa gemas meluap di benak mereka tatkala mendapati pemain terjatuh karena tekel lawan.

Meski itu hanyalah scene dalam film Warkop DKI Maju Kena Mundur Kena (1983), bisa jadi susasana itu merupakan gambaran umum publik terhadap sepakbola putri di negeri ini. Pertandingan dianggap tak lebih dari tontonan menghibur belaka karena sarat aksi “pamer paha” dan goyang payudara. Padahal, bukan itu yang menjadi tujuan perempuan ketika main sepakbola.

Advertising
Advertising

Melawan Budaya Ketimuran

Sejak akhir 1960-an, ketika perempuan Indonesia mulai antusias bermain bola, para pesepakbola putri hanya punya dua tujuan: penyaluran hobi dan meraih prestasi. Namun, hal itu tak mampu menghindarkan mereka dari kritik. Akibatnya, perkembangan sepakbola putri dalam negeri terhalang tembok tinggi.

Ketika sepakbola putri mulai makin marak digemari pada 1980-an, cibiran dan kritikan bahwa perempuan di Indonesia tak pantas bermain bola terus mengiringi. Bukan semata soal pakaian yang dianggap terlalu seksi jadi sorotan, tapi juga soal kesehatan bahkan budaya. Dalam budaya Timur, perempuan main sepakbola dianggap bertentangan dengan kodrat.

Tak hanya dari masyarakat, komentar miring bahkan datang dari Menteri Muda Urusan Peranan Wanita Lasiyah Soetanto. “Masih banyak olahraga yang lebih pantas dilakukan wanita timur dan pantas dilihat mata,” katanya sebagaimana dimuat Majalah Femina, 11 Agustus 1981.

Majalah yang sama juga memuat komentar miring pengurus DPP Wanita Katolik Martha Hadi Mulyanto. “Kasihan kalau wanita-wanita itu hanya jadi bahan tertawaan. Apalagi sepakbola itu permainan yang keras. Biarlah kaum pria saja yang melakukannya,” kata Martha.

Akibatnya, beberapa pesepakbola putri mesti membela diri. Muthia Datau, kiper Buana Putri dan timnas putri era 1980-an mengatakan, dia main bola karena hobi dan untuk menyehatkan tubuh.

“Pasti ada pro dan kontranya. Kita kan di Timur. Padahal, seragam enggak ketat juga sebenarnya. Hanya celana pendek kok. Namanya juga main bola. Memang sepakbola itu konotasinya olahraga laki-laki. Tapi seiring perkembangan zaman, laki-laki dan perempuan disetarakan. Tinggal bagaimana orang mau mengartikannya. Saya sih tidak peduli orang mau bilang apa. Memang kenapa? Apa salahnya?” ujarnya kepada Historia.

Hal senada diutarakan Papat Yunisal, eks pemain Putri Priangan dan timnas putri era 1980-an. “Jadi salah kaprahnya dulu, kesannya wanita tidak boleh aktivitas berat. Banyak yang bicara ini-itu. Tapi ya kita harus tunjukkan (kemampuan),” ujarnya kepada Historia.

Ketua Asosiasi Sepak Bola Wanita Indonesia (ASBWI) itu justru mempertanyakan kenapa hanya sepakbola putri yang dipermasalahkan pakaiannya, sementara cabang olahraga lain tidak. “Gini deh, ambil contoh cabang renang. Bagaimana itu? Pakaiannya apa enggak (umbar) aurat? Lalu untuk yang lain-lain, tinju, gulat, angkat besi, itu jelas merusak tubuh,” sambung Papat.

Toh, penjelasan-penjelasan itu tetap tak mampu menghapus pandangan miring masyarakat terhadap sepakbola putri. Akibatnya, sepakbola putri dalam negeri mundur jauh dari era ketika Muthia dan Papat masih merumput.

“Jangankan tahun 1980-an, sekarang saja masih begitu kok. Wajar ada yang menentang. Jangankan main bola, keluar rumah saja lewat jam 6 sore, itu enggak boleh. Dulu juga banyak yang berpendapat keperawanan bisa hilang kalau main bola. Padahal tidak begitu. Keperawanan ya harus dijaga masing-masing sampai punya suami,” kata Papat menutup pembicaraan.

Baca juga: 

Sepakbola Tanpa Batas Gender
Sepakbola Kaum Hawa Merentang Masa
Ikon Sepakbola Putri Indonesia
Totalitas Srikandi Lapangan Hijau

TAG

Sepakbola perempuan

ARTIKEL TERKAIT

Rossoblù Jawara dari Masa Lalu Lima Jersey Sepakbola Kontroversial Philippe Troussier si Dukun Putih Momentum Bayer Leverkusen Peringatan Hari Perempuan Sedunia di Indonesia Era Masa Lalu Dua Kaki Andreas Brehme Nasib Tragis Sophie Scholl di Bawah Pisau Guillotine Petualangan Tim Kanguru Mr. Laili Rusad, Duta Besar Wanita Indonesia Pertama Piala Asia Tanpa Israel