Masuk Daftar
My Getplus

Santiago Bernabéu "Bapak Real Madrid"

“Bapak Real Madrid” yang menyusun kejayaan dari reruntuhan. Mencintai dan dicintai Manchester United.

Oleh: Randy Wirayudha | 01 Jun 2022
Don Santiago Bernabéu de Yeste lebih dari sekadar legenda dan presiden Real Madrid (realmadrid.com)

KONON katanya 13 angka sial. Tetapi Real Madrid mampu melaluinya dengan bawa pulang titel Liga Champions ke-14 usai puasa gelar prestisius itu selama empat tahun. Sebutir gol Vinícius Jr. sudah cukup mengunci kemenangan 1-0 raksasa Spanyol tersebut atas Liverpool di Stade de France di pinggiran utara Paris, Prancis, 28 Mei 2022.

Sebagaimana tradisi klub, trofi bergengsi itupun diarak keliling ibukota Spanyol, Madrid, sehari setelahnya. Melewati Plaza de Cibeles yang jadi ikon kota Madrid, iring-iringan berakhir di stadion kebanggaan mereka yang mengabadikan nama tokoh yang jadi “Bapak Real Madrid”: Santiago Bernabéu de Yeste.

Di luar kompetisi domestik yang acap dijuarainya, Los Blancos –julukan Real Madrid jadi momok di kompetisi Eropa. Pada 1930-an, El Real mulai jadi klub yang ditakuti. Namun satu dekade berikutnya hancur lebur akibat Perang Saudara Spanyol. Lantas pada awal 1980-an, prestasinya kembali menukik. Adalah Lorenzo Sanz, presiden klub ke-14, yang melecut kebangkitannya dengan menggagas akademi muda La Fábrica. Maka ketika Florentino Pérez memimpin di awal 2000-an, ia punya barisan Los Galacticos yang amat memukau dunia.

Advertising
Advertising

Reputasi Real Madrid jelas takkan dihormati seperti saat ini tanpa peran “Bapak Real Madrid” Bernabéu. Dialah yang meletakkan fondasi kejayaan Real Madrid dari puing-puing kehancuran gegara perang.

Baca juga: Adiós Lorenzo Sanz!

Perayaan trofi Liga Champions di Plaza de Cibeles (atas) & Estadio Santiago Bernabéu (realmadrid.com)

Hidup Mati untuk Real Madrid

Lahir di Almansa, kota kecil di Provinsi Albacete, Spanyol pada 8 Juni 1895, Bernabéu merupakan satu dari lima anak pasangan José Bernabéu Ibáñez dan Antonia Yeste Núñez. Keluarganya merupakan keluarga kaya karena ayahnya tuan tanah sekaligus pengacara. Sementara, Antonia berdarah Kuba.

Mata Bernabéu kecil berbinar-binar begitu melihat si kulit bundar. Itu mulai dialaminya sejak keluarganya pindah ke kota Madrid dan dia sering diajak ayahnya menonton langsung pertandingan Madrid FC (sebutan Real Madrid sebelum 1920). Saat itu Madrid FC berbasis di sebuah lapangan sederhana di Calle de O’Donnell.

Tak ayal di usia dini sepakbola sudah menjangkiti Bernabéu meski ia harus membagi waktu dengan pendidikan dasarnya di Agustinos de El Escorial dan kemudian berlanjut ke tingkat menengah atas di Cardenal Cisneros Institute. Namun di saat ia membuka jalan bagi karier di lapangan hijau, cobaan berat menghinggapinya.

“Kematian ibunya saat ia masih kecil membekaskan kepedihan. Ayahnya juga meninggal saat ia masih sangat muda. Tetapi pada 1910 ia sudah bisa masuk tim yunior Madrid FC dan bahkan pada 1912 sudah menembus tim utama. Meski saat itu ia dan rekan-rekannya mesti lebih dulu merapikan rumput, membersihkan bebatuan, memasang pagar, dan mengecat sendiri tiang gawangnya,” tulis jurnalis cum sejarawan Félix Martialay dalam Una Historia de la Selección Española de Fútbol (1977-1978).

Baca juga: Stadion Metropolitano dan Warisan Masa Lalu

Lantaran sepakbola belum bisa dijadikan mata pencaharian dan Bernabéu sudah jadi yatim-piatu, ia mesti “patungan” dengan empat saudaranya untuk bisa menyambung hidup dan melanjutkan pendidikan.

“Dia melanjutkan studi hukum pada 1915. Ia juga terpaksa absen dari Madrid (FC) karena harus bekerja di Oviedo. Sebelum kembali ke Madrid (FC), ia bekerja di pabrik peralatan makan perak,” lanjutnya.

Don Santiago semasa bermain untuk Real Madrid (realmadrid.com)

Setelah itu Bernabéu comeback untuk bermain hingga 1926. Pada musim 1920-1921, Bernabéu sempat “membelot” ke klub sekota, Athletic Madrid (kini Atlético Madrid). Menukil laman resmi klub, Bernabéu –yang bermain di posisi gelandang dan penyerang– punya keunggulan pada fisiknya dan komitmennya sebagai team player. Dari 80 partai resmi bersama Real Madrid sebelum gantung sepatu, Bernabéu punya catatan impresif, yakni 70 gol.

“Antara 1927 dan 1935 dia tetap di Real Madrid dan bahkan memegang rangkap jabatan di klub, seperti asisten pelatih, pelatih kepala, manajer, sekretaris, hingga direktur delegasi tim,” tulis harian ABC dalam kolom obituarinya edisi 3 Juni 1978.

Baca juga: Piala Super Spanyol Sarat Drama

Semasa mengurus klub, Bernabéu tak terpengaruh suasana politik yang memanas pada 1930-an akibat perseteruan kalangan nasionalis dan republik. Relasinya dengan sejumlah kolega dari dua kutub politik tetap ia pertahankan dan itu pula yang menyelamatkan nyawanya kala Perang Saudara Spanyol meletus pada 1936.

“Bernabéu selalu jadi oposan presiden (klub) Rafael Sanchez Guerra menyoal perang. Ia pernah bilang: ‘saya tak pernah sekalipun menjadi kader partai politik, baik itu merah maupun facha (fasis).’ Terlepas sebenarnya Bernabéu pernah datang ke rapat yang dipimpin José María Gil Robles dari partai sayap kanan CEDA. Saudaranya, Antonio merupakan wakil parlemen (fraksi) CEDA,” ungkap jurnalis Sid Lowe dalam Fear and Loathing in La Liga: Barcelona, Real Madrid, and the World’s Greatest Sports Rivalry.

Sempat apatis terhadap politik, Bernabéu pada akhirnya menggabungkan diri ke militer sayap kanan (/Dokumenter Bernabéu/Fundación Nacional Francisco Franco)

Situasi perang kemudian mengubah segalanya. Saat perang berkobar hebat, Bernabéu terpaksa bersembunyi gegara semua fasilitas klub direbut para kombatan sayap kiri. Bermodalkan identitas palsu sebagai perawat, ia mencari suaka ke kedutaan Prancis.

“Saat itu kota Madrid sempat terkepung. Bernabéu diselamatkan Alonso, seorang sekretaris klub pro-komunis. Dia selamat dari penangkapan dan eksekusi berkat intervensi duta besar golongan republik untuk Prancis yang merupakan pendukung klub. Bernabéu pun bersembunyi di Kedutaan Prancis dan diselundupkan ke wilayah Prancis. Dua pemain bintang, (Ricardo) Zamora dan (Josep) Samitier juga diselamatkan dari anarkisme milisi republik,” tulis Mihir Bose dalam The Spirit of the Game: How Sport Made the Modern World.

Baca juga: Politik Dua Kaki Francisco Franco

Tak lama setelah berlindung di Prancis, Bernabéu kembali ke negerinya dengan menyandang senjata. Ia menggabungkan diri ke pasukan Cuenca pimpinan Jenderal Muñoz Grandes. Ia turut dalam kampanye pasukan yang merebut Basque dan kota Barcelona pada Maret 1939.

“Saya memilih satu pihak di perang saudara dan di kemudian hari saya menyesalinya. Saya tak begitu suka membicarakannya, terutama setelah sekian lama dan tak lagi mengetahui mana pihak yang baik dan mana yang buruk. Kesimpulannya, saya memilih pihak yang salah,” sambung Bernabéu dikutip Lowe.

Don Santiago (kanan) bersama Generalísimo Francisco Franco Bahamonde (Fundación Nacional Francisco Franco)

Usai perang dengan tiga keping medali penghargaan: Cruz de Mérito Militar, Cruz de Guerra, dan Cruz de Campaña, Bernabéu balik kandang dengan harapan bisa membangkitkan klub yang mati suri. Kepengurusan lama sudah lenyap lantaran banyak pengurusnya tewas maupun hilang dalam perang.

Fasilitas klub setali tiga uang. Estadio Chamartín yang jadi kandang Real Madrid sejak 1924 porak-poranda. Sejumlah trofi klub hilang entah ke mana.

Baca juga: Memori Stadion San Siro

Bernabéu mesti pontang-panting merestrukturisasi klub. Tantangan terbesarnya adalah memanggil kembali para pemain, direktur, dan anggota klub yang masih hidup usai perang.

Kendati berada di belakang barisan Franco semasa perang, Bernabéu tak serta-merta mendapat dukungan fulus dari pemerintahan. Justru Atlético Aviación (nama lama Atlético Madrid) yang lebih mendapat perhatian.

“Setidaknya kemudian ia bisa menarik dukungan dan kemudian mengangkat Letjen Eduardo Saénz de Buruaga, salah satu kolega terdekat Franco, untuk menjadi presiden kehormatan. Tak heran kemudian dewan direksi klub banyak ditempati perwira militer,” tambah Lowe.

Pembangunan Estadio Nuevo Chamartín (kiri) dan pemain bintang Alfredo Stéfano Di Stéfano Laulhé (realmadrid.com)

Presiden resmi klub hingga 1940 pun ditempati militer, yakni Adolfo Meléndez, dan kemudian disambung Antonio Santos Peralba hingga 1943. Kondisi itu perlahan oleh Bernabéu dimanfaatkan untuk memakai koneksi di lingkaran Franco guna membangun stadion anyar di samping yang utama membangun tim. Terlebih setelah ia memegang tampuk kepresidenan klub mulai 11 September 1943.

Bernabéu menduduki jabatan presiden setelah Peralba dipaksa melepas jabatannya. Penurunan paksa itu berawal dari terjadinya kerusuhan antar-pendukung pada sebuah laga el clásico kontra Barcelona –yang notabene musuh dalam perang– pada 1943. Pemerintahan Franco yang masih dipusingkan oleh pembangunan pasca-perang, mengambil jalan pintas: memaksa kedua presiden klub mengundurkan diri.

“Di awal rezim Bernabéu, Real langsung kembali menjuarai gelar pada 1943; yang lebih penting adalah kejeniusan Bernabéu dan koneksinya dengan rezim baru dalam membangun stadion baru (Nuevo Chamartín). Dibantu (Jenderal José) Moscardo, Real Madrid bangkit di rezim Franco dengan membelokkan aturan, di mana pemain asing diperbolehkan, merekrut pemain jenius asal Argentina, Alfredo Di Stéfano. Real Madrid pun meretas kejayaannya pada 1950-an,” imbuh Bose.

Baca juga: Mula Turnamen Para Juara

Saat itu pula Bernabéu menakhodai Real Madrid ke arah profesional dalam pengelolaan. Ia membangun sejumlah sektor baru dengan masing-masing tim teknis independen, serta membuka diri bagi orang-orang yang punya visi baru untuk mengembangkan klub.

Begitu neraca keuangan mulai stabil dan bahkan menggemuk, Bernabéu mulai belanja pemain berkelas, asing maupun lokal, selain Di Stefano. Mulai dari Luis Molowny, Paco Gento, Emilio Santamaría, Raymond Kopa, Ferenc Puskás, José Pirri, hingga Carlos Santillana. Hasilnya, 16 titel La Liga, tujuh Copa del Rey, dan enam trofi European Cup (kini Liga Champions) sukses diraih semasa 35 tahun rezim Bernabéu.

Guna menghormati jasanya, rapat umum klub pada 1955 menetapkan penggantian nama stadion Nueva Chamartín dengan Estadio Santiago Bernabéu.

Markas Real Madrid, Estadio Santiago Bernabéu (realmadrid.com)

Simpati untuk Manchester United

Bernabéu memegang jabatannya hingga hembusan nafas terakhirnya pada 2 Juni 1978. FIFA yang saat itu tengah menggelar Piala Dunia di Argentina, menetapkan tiga hari berkabung. Pun dengan sejumlah klub rival domestik maupun Eropa, termasuk Manchester United (MU).

Meski rival di lapangan, Bernabéu mengaku respek dan kagum pada MU. Utamanya terhadap prestasi dan peran Matt Busby, pelatih yang pernah coba dibajak Bernabéu untuk pindah ke Madrid.

“Pada 1956, tepat setelah United memenangkan gelar liga ke sekian, dia (Busby) ditawari melatih di Real Madrid. Presiden Madrid Santiago Bernabéu bilang padanya banyak melatih klubnya seperti mengelola surga. Matt merespons dengan penolakan dan menggambarkan Manchester sudah seperti surga pribadinya,” ungkap John Maguire dalam Busby’s United.

Baca juga: Berkabung untuk Setan Merah

Alih-alih tersinggung, Bernabéu justru makin respek pada Busby dan MU.

Sebaliknya, MU takkan pernah melupakan simpati, perhatian, dan bantuan Bernabéu kala tim itu goyah pasca-Tragedi Munich 1958. Bernabéu sampai menawarkan beberapa pemain Real Madrid, salah satunya Di Stéfano, untuk dipinjam MU yang kehilangan banyak pilar utamanya.

“Setelah tragedi itu, Bernabéu menemui Di Steféno. Dia berkenan pergi (ke Manchester) sampai akhir musim, Manchester dan Madrid sama-sama membayar setengah gajinya. Akan tetapi FA (induk sepakbola Inggris) melarangnya karena mengancan potensi pemain Inggris. Akhirnya Madrid membantu dengan cara-cara lain,” ungkap John Ludden dalam bukunya, A Tale of Two Cities: Manchester and Madrid 1957-1968.

Di antara bantuan Real Madrid adalah membuat umbul-umbul dan bendera penghormatan bertuliskan “Champions of Honour”. Nama-nama korban Tragedi Munich diterakan di sana. Umbul-umbul dan bendera dijual dan hasilnya disumbangkan kepada MU.

Ilustrasi laga persahabatan Manchester United vs Real Madrid (manutd.com)

Bantuan lain berupa tawaran paket liburan cuma-cuma ke fasilitas mewah di Spanyol. Tujuannya untuk pemulihan jiwa para korban luka yang terguncang. Last but not least, dua laga persahabatan untuk menggalang dana.

“Usai tragedi itu United bahkan tak pernah membayangkan prestasi Eropa, lebih kepada bagaimana bisa bertahan di First Division. Jadi, harapan Busby (di duel persahabatan) itu adalah untuk menghidupkan kembali mimpi Eropa ke depannya. Pertandingan melawan para pemain sekelas Puskás dan Di Stéfano bisa melecutkan mimpi Eropa fans dan para pemain,” lanjut Ludden.

Laga perdananya digelar di Old Trafford pada Oktober 1959 dan dipadati 80 ribu suporter. Real Madrid dengan mudah menggasak tuan rumah, 6-1. Di laga kedua di Madrid sebulan kemudian, MU mampu mengimbangi kendati tetap kalah, 5-6.

Pendapatan dari tiket di dua laga itu disumbangkan kepada MU. Sementara, fee buat Real Madrid lain soal.

“Biasanya Real Madrid mematok tarif 12 ribu poundsterling untuk pertandingan persahabatan. Tetapi Bernabéu mengatakan kepada (manajemen) United: ‘bayar saja semampunya,’” tandasnya.

Baca juga: Kiper Manchester Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

TAG

sepakbola madrid spanyol

ARTIKEL TERKAIT

Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian II – Habis) Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian I) Pengungsi Basque yang Memetik Bintang di Negeri Tirai Besi Riwayat NEC Nijmegen yang Menembus Imej Semenjana Geliat Tim Naga di Panggung Sepakbola Mula Bahrain Mengenal Sepakbola Enam Momen Pemain jadi Kiper Dadakan Memori Manis Johan Neeskens Kenapa Australia Menyebutnya Soccer ketimbang Football? Kakak dan Adik Beda Timnas di Sepakbola Dunia